Moratorium
Iklan Politik
Danang Sangga Buwana ; Komisioner Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat
|
KOMPAS,
02 April 2014
Kesepakatan Bersama moratorium
iklan politik telah ditandatangani Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas
Pemilu, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Komisi Informasi Pusat pada Jumat, 28
Februari lalu. Poin pertama meminta Lembaga Penyiaran dan partai politik
menghentikan penyiaran iklan politik sebelum masa kampanye 16 Maret hingga 5
April mendatang.
Kesepakatan itu sebagai tindak
lanjut rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR RI menyoal curi start iklan
kampanye dan iklan politik televisi sebelum jadwal berlaku. Namun, kesangsian
mengemuka.
Meski progresif, moratorium
dinilai telat. Moratorium juga dinilai kontradiktif dengan pendidikan politik
dan menghambat sosialisasi parpol kepada konstituen.
Sebelumnya, Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) telah melarang iklan politik televisi melalui Surat Edaran No
101/ 2014 tentang Penyiaran Iklan Politik; dan Surat Keputusan No 45/2014
tentang Petunjuk Pelaksanaan terkait Perlindungan Kepentingan Publik, Siaran
Jurnalistik, Iklan dan Pemilu.
KPI telah memberikan sanksi
program yang terindikasi iklan terafiliasi kepentingan politik pemilik media.
KPI telah menjawab keraguan publik atas stigma ketidaktegasan menindak iklan
politik layar kaca.
Meski KPI telah tegas, iklan
politik masih berseliweran di televisi. Kewenangan KPI yang sebatas pada
”penghentian sementara” program menjadi problem serius ketaatan Lembaga
Penyiaran (LP) terhadap regulasi isi siaran.
Data KPI sejak 1 hingga 22
Februari 2014, iklan politik 11 televisi nasional berjumlah 3.201 buah,
dengan rincian: ANTV (427 iklan), TVOne (447 iklan), RCTI (425 iklan), MNCTV
(340 iklan), Global TV (320 iklan), Indosiar (85 iklan), SCTV (134 iklan),
Trans7 (323 iklan), TransTV (330 iklan), TVRI (92 iklan), dan MetroTV (278
iklan).
Pendidikan politik
Karena disajikan melalui
”realitas kemasan”, iklan politik tak lantas merepresentasi pendidikan
politik. Iklan lebih menonjolkan citra dan bujuk rayu parpol mencari simpati
rakyat.
Mengutip Simons (2000: 81-103),
iklan justru mendistorsi komunikasi politik dan memiskinkan nalar publik.
Iklan politik menciptakan dan membentuk cita rasa lewat serangkaian
representasi visual dan naratif.
Pihak-pihak yang terlibat dalam
panggung politik menjadi agensi periklanan, dari skala kecil hingga skala
besar.
Meminjam Baudrillard (1983),
iklan menciptakan suatu hiperrealitas demokrasi, yakni penghapusan realitas
sesungguhnya dan menciptakan realitas semu dalam kehidupan politik dengan
janji.
Sejatinya pendidikan politik
dapat diwujudkan melalui iklan layanan masyarakat (ILM) tentang pentingnya
partisipasi masyarakat dalam pemilu, cara mencoblos yang benar, dan segala
bentuk teknis menekan angka golongan putih.
Pendidikan politik dapat
diimplementasi melalui tayangan stimulatif atas apresiasi kritis publik
terhadap pemilu dan sistem politik, bukan rayuan iklan politik.
Momentum Pemilu 2014 telah
mempersatukan dua rezim kuasa: televisi dan parpol. Televisi beroperasi di
domain kognisi pemirsa.
Ia menjadi ”mesin reproduksi
makna” melalui kreativitas tayangan, mengarahkan pemirsa membenarkan apa yang
dikatakan, sekaligus menyediakan multimakna dalam merekonstruksi pesan
tersembunyi, yakni peningkatan elektabilitas suara peserta pemilu.
Politik representasi dibutuhkan
parpol, diwadahi oleh televisi, bergerak ke pemirsa secara hegemonik.
Spirit moratorium iklan politik
layak dinilai konstruktif bagi tegaknya demokrasi dan sistem politik
nasional.
Selain sebagai tafsir progresif
terhadap definisi ”iklan kampanye” dan jembatan atas dilema nihilnya ”iklan
politik” dalam regulasi, moratorium wujud keberanian menegakkan etika politik
di arus hegemoni media dan kuasa parpol.
Meskipun hanya sementara,
moratorium beranalogi sebagai jurisprudensi bagi kebijakan pemilu di masa
mendatang. Moratorium kuat secara politik karena legitimasi publik.
Terapi kejut
Moratorium ibarat ”terapi kejut”
bagi LP dan parpol. Terapi menyembuhkan sakit politik. Bahwa untuk mencari
simpati rakyat pada tiap perhelatan pemilu, tak seharusnya mengeksploitasi
frekuensi publik.
Bahwa frekuensi publik
dititipkan kepada LP, tak layak disalahgunakan untuk kepentingan politik para
pemilik media dan kelompoknya.
Bahwa amanat UU Penyiaran No
32/2002 Pasal 3 memandatkan penyiaran harus diselenggarakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui program tayangan cerdas, edukatif,
jernih, jujur, informatif, demi terciptanya masyarakat mandiri, demokratis,
adil, dan sejahtera.
Bahwa perkawinan antara kuasa
media dan kuasa parpol yang tak terkontrol akan mengancam masa depan
demokrasi bangsa ini.
Bawaslu, KPU, KPI, dan Komisi
Informasi Pusat (KIP) menyadari berada di arus kuasa media (mediacracy) dan kuasa politik.
Keduanya berjalan dalam sistem dominasi kepemilikan dan oligarki kekuasaan.
Jika tidak tegas, kedaulatan
demokrasi dan sistem politik akan disetir oleh rezim media, ditunggangi oleh
kepentingan politik dan modal.
Ketiadaan kontrol kepentingan
parpol mengancam kedaulatan demokrasi, ketiadaan netralitas pemilik televisi
mengancam kedaulatan frekuensi.
Lantas, masihkah kita membiarkan
hegemoni media dan oligarki politik mengancam masa depan demokrasi bangsa
ini? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar