Politik
(Air) Seni
Asep Salahudin ; Esais, Dekan Fakultas
Syariah IAILM
Pesantren Suryalaya Tasikmalaya
|
MEDIA
INDONESIA, 02 April 2014
“Kenapa
kau pampang-pampangkan wajahmu/Tanpa kau perhitungkan apa kata orang yang
melihatnya/Bahkan Nabi Muhammad yang wajahnya lumayan gantengnya/Memohon
kepada umatnya/Agar tak menggambar wajahnya/ Apakah menurutmu, dengan menatap
wajahmu/Orang menjadi berbunga-bunga hatinya, ataukah ingin muntah mulutnya?”
(Emha Ainun Najib, Penawaran)
TERSEBUTLAH banyak baliho dan
spanduk yang terpasang di ruang publik terkadang secara serampangan, dan
semakin menjamur mengingat 9 April sebagai tanggal pesta demokrasi lima
tahunan kian mendekat. Walaupun sudah ada aturan, tentu para caleg tidak
pernah hilang akal dalam memasarkan diri agar dikenal khalayak.
Bukan saja lambang partai, nomor
urut, dan foto, melainkan juga tema utama yang diniatkan untuk diperjuangkan
kelak seandainya harapan terkabulkan.
Entahlah. Namun, kalau becermin
pada sejarah, selalu demokrasi itu berhenti sebatas hari 'H' pencoblosan.
Setelah itu, semuanya 'dibajak' wakil rakyat untuk kemudian mendekatkan diri
kembali lima tahun yang akan datang. Sebuah siklus penuh drama dengan riwayat
yang acap kali tersampaikan adalah takdir masyarakat yang tidak pernah
beranjak dari maqam-nya yang selalu berada di pihak kalah.
Demokrasi menjadi hanya
berurusan dengan instrumen prosedur, sementara substansinya kian jauh
terpelanting dari fitrah bernegara.
Kekuasaan dimaknai sebagai alat
untuk mengoperasikan 'pengaruh', hegemoni, dan cakar kewenangan, sementara
kaum pemilih tak ubahnya jemaah/ konstituen pasif yang tidak dapat berbuat
apa-apa kecuali kembali merawat harapan dan sisanya sejumlah kekecewaan.
Persis apa yang dibilang filsuf
politik Hannah Arendt, “Kekuasaan
dimandatkan oleh masyarakat, tetapi masyarakat kemudian hanya memiliki
kekuasaan itu pada saat pemilihan umum. Setelah itu, kekuasaan berpindah ke
tangan penguasa yang mereka pilih,“ (Agus Sudibyo, 2013).
Kekuasaan yang diperoleh lewat
pemilu kemudian beralih menjadi mesin politik yang menyemburkan epifani wajah
durjana. Tidak saja rakyat yang berubah aktanya menjadi sekadar atas nama,
bahkan juga sering kali kebenaran, kejujuran, keadilan, dan kebaikan yang
notabene merupakan prasyarat mutlak tegaknya pancang negara roboh. Yang roboh
diam-diam bukan hanya 'surau kami',
melainkan juga 'ibu pertiwi'.
Seni
Tentu kita sepakat bahwa pada
mulanya politik adalah seni. Seni memerintah untuk mengontrol masyarakat
dalam rangka bersama-sama membangun negara (polis-state) yang beradab. David Easton menahbiskan politik
sebagai kewenangan mengalokasikan nilai-nilai (authoritative allocation values).
Keyakinan seperti ini diimani
sejak zaman Yunani kuno sampai abad ke-21. Disebutlah art politica (seni
berpolitik), politike techne (teknik politik), politike episteme (nalar
politik), atau seni menyiasati kemustahilan menjadi kemungkinan (art possible).
Karena politik adalah seni maka
yang berkiprah di dalamnya, seperti ditegaskan al-Farabi dalam Madina
Al-Fadila (Negara Utama) dan Siyasatu'l Madaniyah (Pemerintahan Politik),
kaum politisi itu wajib mewarisi nalar para filsuf dan akhlak para nabi. Agar
kemudian pada gilirannya negara yang hendak dikelolanya itu tidak saja
mendistribusikan rasa keadilan kepada khalayak, tetapi juga menjadi pantulan
kuasa Tuhan yang 'menghajatkan' tangan-tangan manusia untuk membuktikan kuasa
kasih sayang-Nya di dunia.
Jika politisi tidak memiliki
kualifikasi seperti itu, lanjut al-Farabi, pada gilirannya akan berimbas pada
kualitas negara. Negara akan serta menjadi sesat (the erring city), bodoh (ignorant)
dan jahat (the wicked city), dan
indeks mutu manusia kemudian otomatis meluncur ke medan kemerosotan (deliberately change). Negara menempati
halaman belakang dari negara-negara lain yang menjunjung tinggi etos
keadaban.
Negara yang dikelola dengan
sensitivitas politik seni kemudian akan mengantarkan warga bangsanya
menemukan autentitas baik dalam konteks personal, keumatan, maupun
kebangsaan. Negara kemudian menjadi `alat' untuk menyejahterakan warganya.
Negara yang menjunjung tinggi keragaman pilihan warganya baik berkaitan
dengan keyakinan, ekonomi, bahasa, atau afiliasi etnik.
Negara menjadi `payung' dan
bertindak tegas manakala terjadi pembangkangan yang dilakukan warganya,
`menghukum' siapa saja yang melanggar kesepakatan bersama terutama yang
berkaitan dengan falsafah negara.
Di seberang itu, karena politik
itu seni maka mengandaikan tampilnya kebebasan di ruang publik untuk
mengemukakan pendapat dan menjunjung tinggi kesetaraan dan selalu
mendahulukan argumentasi diskursif dan akal sehat.
Air seni
Namun, praksisnya, diakui atau
tidak, politik justru sering tampil dalam panggung tindakan manusia dalam
wajah sesat pikir dan buruk rupa.
Politik menjadi identik dengan
muslihat, transaksi uang, manipu lasi, dan persokongkolan bejat. Dengan nada
peyoratif Nietszche menyebutnya sebagai kerumunan monster yang menakutkan,
yang kerjanya membikin kebenaran menjadi kepalsuan.
Thomas Hobbes dalam Leviathan
mengatakannya sebagai homo homini lupus. Medan politik tak ubahnya belantara
tempat setiap harimau saling menerkam memperebutkan kursi. Mengintip musuh
lengah. Seandainya diperlukan `koalisi' maka koalisi ini tidak lagi diacukan
kepada kesamaan visi dan ideologi, tetapi atas nama kepentingan jangka
pendek.
Mungkin benar apa yang dibilang
Acton bahwa kekuasaan fitrahnya selalu cenderung korup. Orang baik-baik
ketika masuk kekuasaan menjadi jahat.
Bisa jadi ini juga yang menjadi
alasan utama Imam al-Ghazali menulis buku At-Tibrul Masbuk fi Nashitaul Muluk
yang sengaja dipersembahkan kepada kawannya yang menjadi amir di Dinasti
Saljuk.
Kitab al-Ghazali itu berisi
petuah agar jabatan membawa faedah bagi lingkungannya. Petuah yang
dilandaskan pada nilai-nilai ilahiah, moralitas, dan spiritualitas. Petuah
bagaimana kekuasaan pada akhirnya menjadi alat untuk menegakkan kemanusiaan,
menjunjung keadilan, menjelmakan kemakmuran dan mewujudkan semesta yang
bertumpu pada spirit kedamaian. Ketika kekuasaan dan penguasa kian bebal, di
titik ini politik martabatnya jatuh, bukan lagi seni, melainkan `air seni'.
Air seni, walaupun keluar dari
alat penting manusia, dalam perspektif fikih (hukum Islam) hukumnya najis,
biarpun bukan mugaladhah. Air seni hanya berfungsi sebagai pupuk untuk
sebagian tanaman, dan tetap selalu menyemburkan aroma tidak sedap. Pakaian
yang terciprat air seni tidak sah dipakai salat. Politik air seni hanya akan
bikin legitimasi kepemimpinan menjadi batal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar