Paus
Fransiskus dan Penyandang Cacat
Tom Saptaatmaja ; Alumnus Seminari St Vincent de Paul
|
TEMPO.CO,
19 April 2014
Agenda
Paus Fransiskus pada Kamis Putih (17 April) sudah diberitakan oleh berbagai
media di dunia dan langsung menjadi buah bibir. Sebab, pada hari itu, Paus
asal Argentina ini membasuh kaki para penyandang cacat (disabilitas),
mengikuti teladan Yesus yang membasuh kaki 12 murid-Nya sebelum disalibkan.
Apa yang
dilakukan Paus selalu mencengangkan. Pada Kamis Putih tahun lalu, misalnya,
dia membasuh kaki para tahanan. Bila tahun ini Paus memilih membasuh kaki
para penyandang cacat, Paus jelas mau mengajak dunia untuk lebih menghargai
kehadiran mereka.
Sebab,
jujur, kaum cacat masih sering terpinggirkan. Bahkan ada kaum difabel yang
dipasung seumur hidup. Banyak orang tua yang tahu anaknya cacat, kerap kali
berpikir dunia sudah kiamat. Mungkin sebagian orang berpikir lebih baik si
anak tidak pernah terlahir saja.
Padahal,
jika kita berpikir seperti itu, jelas ada yang mati dalam kehidupan kita,
menurut Norman Cousins, wartawan New York Post. Mengapa? Sebab, itu tanda
bahwa kita sebenarnya tidak mampu menerima kehadiran dan keberadaan kaum
cacat. Padahal kaum cacat adalah penanda betapa beragamnya manusia.
Terlepas
dari apa pun respons kita, yang pasti di sekitar kita kini ada cukup banyak
orang yang terlahir dalam kondisi cacat. Di negeri kita, ada yang menyebut
sekitar 25 juta dari total 250 juta penduduk Indonesia adalah penyandang
cacat.
Lalu,
siapakah yang bisa dimasukkan ke kategori ini? Menurut UU Nomor 4 Tahun 1997,
Pasal 1 (ayat 1), penyandang cacat adalah orang yang mempunyai kelainan fisik
dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau menghalangi serta dapat menjadi
hambatan bagi dirinya untuk melakukan kegiatan yang normal, dan hambatan
tersebut dapat meliputi: (a) cacat fisik, (b) cacat mental, dan (c) keduanya,
yaitu mental dan fisik.
Melihat
batasan itu, jelas bahwa kondisi cacat bukan berarti sudah dimulai sejak
lahir ke dunia saja. Siapa pun bisa dan punya peluang menjadi penyandang
cacat, meski kita tidak mengharapkan. Di sekitar kita cukup banyak penyandang
cacat baru, karena menjadi korban dalam kecelakaan lalu lintas, terkena tanah
longsor, kecelakaan kerja, dan sebagainya.
Jangan
lupa, UU Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 8 sudah mengamanatkan bahwa pemerintah
dan/atau masyarakat berkewajiban mengupayakan terwujudnya hak-hak penyandang
cacat. Lebih lanjut dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU Nomor 4 Tahun 1997
tersebut dinyatakan bahwa: "Setiap
kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan
dilaksanakan melalui penyediaan aksesibilitas." Pasal 10 ayat (2)
menyebutkan penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan
dan lingkungan yang lebih menunjang agar penyandang cacat bisa hidup dalam
masyarakat. Salah satu akses yang sangat penting adalah akses pendidikan bagi
para penyandang cacat. Pemerintah dan kita semua perlu mewujudkannya.
Paus
Fransiskus sudah memberi teladan. Dan kita semua diajak menghargai dan
memanusiakan setiap penyandang cacat. Tidak boleh ada lagi kaum difabel yang
dibatasi aksesnya. Sebab, selama mereka ditolak, didiskriminasi, atau
dilecehkan, itu membuktikan ada yang mati dalam kehidupan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar