Minggu, 20 April 2014

Paus Fransiskus dan Penyandang Cacat

Paus Fransiskus dan Penyandang Cacat  

Tom Saptaatmaja  ;   Alumnus Seminari St Vincent de Paul
TEMPO.CO, 19 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Agenda Paus Fransiskus pada Kamis Putih (17 April) sudah diberitakan oleh berbagai media di dunia dan langsung menjadi buah bibir. Sebab, pada hari itu, Paus asal Argentina ini membasuh kaki para penyandang cacat (disabilitas), mengikuti teladan Yesus yang membasuh kaki 12 murid-Nya sebelum disalibkan.

Apa yang dilakukan Paus selalu mencengangkan. Pada Kamis Putih tahun lalu, misalnya, dia membasuh kaki para tahanan. Bila tahun ini Paus memilih membasuh kaki para penyandang cacat, Paus jelas mau mengajak dunia untuk lebih menghargai kehadiran mereka.

Sebab, jujur, kaum cacat masih sering terpinggirkan. Bahkan ada kaum difabel yang dipasung seumur hidup. Banyak orang tua yang tahu anaknya cacat, kerap kali berpikir dunia sudah kiamat. Mungkin sebagian orang berpikir lebih baik si anak tidak pernah terlahir saja.

Padahal, jika kita berpikir seperti itu, jelas ada yang mati dalam kehidupan kita, menurut Norman Cousins, wartawan New York Post. Mengapa? Sebab, itu tanda bahwa kita sebenarnya tidak mampu menerima kehadiran dan keberadaan kaum cacat. Padahal kaum cacat adalah penanda betapa beragamnya manusia.

Terlepas dari apa pun respons kita, yang pasti di sekitar kita kini ada cukup banyak orang yang terlahir dalam kondisi cacat. Di negeri kita, ada yang menyebut sekitar 25 juta dari total 250 juta penduduk Indonesia adalah penyandang cacat.

Lalu, siapakah yang bisa dimasukkan ke kategori ini? Menurut UU Nomor 4 Tahun 1997, Pasal 1 (ayat 1), penyandang cacat adalah orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau menghalangi serta dapat menjadi hambatan bagi dirinya untuk melakukan kegiatan yang normal, dan hambatan tersebut dapat meliputi: (a) cacat fisik, (b) cacat mental, dan (c) keduanya, yaitu mental dan fisik.

Melihat batasan itu, jelas bahwa kondisi cacat bukan berarti sudah dimulai sejak lahir ke dunia saja. Siapa pun bisa dan punya peluang menjadi penyandang cacat, meski kita tidak mengharapkan. Di sekitar kita cukup banyak penyandang cacat baru, karena menjadi korban dalam kecelakaan lalu lintas, terkena tanah longsor, kecelakaan kerja, dan sebagainya.

Jangan lupa, UU Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 8 sudah mengamanatkan bahwa pemerintah dan/atau masyarakat berkewajiban mengupayakan terwujudnya hak-hak penyandang cacat. Lebih lanjut dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU Nomor 4 Tahun 1997 tersebut dinyatakan bahwa: "Setiap kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesibilitas." Pasal 10 ayat (2) menyebutkan penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang agar penyandang cacat bisa hidup dalam masyarakat. Salah satu akses yang sangat penting adalah akses pendidikan bagi para penyandang cacat. Pemerintah dan kita semua perlu mewujudkannya.

Paus Fransiskus sudah memberi teladan. Dan kita semua diajak menghargai dan memanusiakan setiap penyandang cacat. Tidak boleh ada lagi kaum difabel yang dibatasi aksesnya. Sebab, selama mereka ditolak, didiskriminasi, atau dilecehkan, itu membuktikan ada yang mati dalam kehidupan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar