Kamis, 24 April 2014

Memo Pendidikan Buat DPR

Memo Pendidikan Buat DPR  

Sudaryanto  ;   Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP
Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
HALUAN, 22 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Esai ini ditulis setelah penulis mencermati pelak­sanaan pemilihan umum tingkat le­gis­latif, Rabu (9/4) lalu, yang relatif sukses dan berjalan lancar. Kondisi serupa mudah-mudahan terjadi pula pada kinerja para calon legislatif (caleg) periode 2014-2019. Dalam tulisan ini, saya guratkan memo buat para caleg, baik wajah baru maupun lama, yang akan duduk di Komisi X DPR yang menangani bidang pendidikan. Poin apa saja­kah yang perlu dicatat?

Poin pertama ialah serti­fikasi guru. Sertifikasi guru dinilai belum berdampak signifikan terhadap pening­katan kualitas pendidikan dan hasil belajar siswa. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Bank Dunia, Pemerintah Kerajaan Belan­da, dan Kemdikbud (2013) terhadap hasil sertifikasi pada akhir 2009, 2011, dan 2012 ditemukan fakta bah­wa hasil belajar antara guru bersertifikat dan guru tak bersertifikat tidak menun­jukkan perbedaan.

Artinya, guru yang telah mengikuti program sertifi­kasi dan guru yang belum mengikuti program serti­fikasi tidak memiliki perbe­daan yang signifikan. Hal ini sungguh ironis, mengi­ngat pemerintah telah memberikan tunjangan sertifikasi bagi guru yang telah bersertifikat. Alih-alih pemberian tunjangan ser­tifikasi berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pengembangan diri dan pembelajaran di kelas, yang terjadi justru sebaliknya. Ironis bukan?

Manajemen Guru Semrawut

Poin kedua, manajemen guru yang masih semrawut, baik di pusat maupun di daerah. Dalam penerapan otonomi daerah, posisi guru bukannya bertambah baik malah dipolitisasi. Penulis pernah menjumpai fakta bahwa sebuah sekolah di Yogyakarta menyeleng­garakan sebuah acara yang didukung oleh tim kampanye pasangan tertentu dalam pilkada. Para guru dan siswa di sekolah terse­but “diarahkan” untuk memilih pasangan pilkada tersebut.

Jika seorang guru telah terlibat dalam kampanye pilkada, sesungguhnya dia telah menggadaikan jabatan profesinya. Idealnya, guru, apa­­lagi guru PNS, diper­lakukan sebagai jabatan profesi, bukan sebagai perangkat birokrasi atau bahkan tim kampanye parpol tertentu. Apabila hal itu terjadi, maka in­de­pendensi guru telah te­rancam. Di sinilah korps guru yang bernaung di dalam PGRI dapat me­ngambil peran untuk mena­ta ulang posisi guru sebagai jabatan profesi.

Poin ketiga, distribusi guru yang tidak merata di sejumlah wilayah/daerah. Di Indonesia, khususnya di luar Pulau Jawa, kebutuhan guru, terutama guru SD, tetap tinggi. Sementara itu, banyaknya lulusan sarjana kependidikan dari LPTK hanya mencari-cari peluang pekerjaan di Pulau Jawa. Atas kondisi itu, Kemdikbud pun menggagas program SM-D3T (Sarjana Me­ngajar Daerah Tertinggal, Ter­depan, Terbelakang) yang bisa dibilang cu­kup berhasil.

Namun sa­yang­nya, pro­gram ter­sebut ber­laku hanya setahun pengab­dian di daerah luar Pu­lau Jawa. Pa­dahal, kebu­tuhan guru, ter­lebih lulusan dari LPTK di Pulau Ja­wa, sa­ngat dibu­tuh­kan. Ideal­nya, Kem­dikbud me­nye­diakan sa­ra­na dan prasa­rana yang leng­kap bagi para peser­ta SM-­D3T, se­per­ti ru­mah, pa­sar, warnet, TK hingga SMA, dan ru­mah sakit. Bah­kan, para peserta itu di­dorong untuk menjadi warga tetap daerah tem­­­­­pat ber­tugas dan kelak diang­kat sebagai PNS.

Poin keempat, pela­tihan guru yang belum rutin dan masih sekadar formalitas. Pelaksanaan Program Lati­han dan Pen­didikan Guru (PLPG) selama ini, saya anggap sebagai formalitas belaka. Mengapa? Sebab, pelaksanaan program itu hanya dilaksanakan dalam 10 hari dan sete­lahnya tidak ada tindak lanjut. Dalam PLPG guru dituntut untuk membuat proposal PTK, tapi ironisnya proposal itu tidak dilak­sanakan di kelasnya seusai PLPG.

Dalam PLPG juga guru diberikan materi inovasi pembelajaran, tapi anehnya materi itu hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Usai PLPG, materi inovasi pembelajaran, PTK, dan sebagainya me­nguap entah ke mana. Yang lebih dinanti-nantikan oleh guru hanya selembar kertas pengumuman kelulusan PLPG dan kapan tur­unnya tunjangan serti­fikasi guru, tidak lebih. Inilah yang perlu diko­reksi dalam pelaksanaan PLPG selama ini.

Kur­ikulum 2013

Poin kelima, pelaksanaan Kurikulum 2013 yang ter­kesan terburu-buru. Banyak pihak, teru­tama dari ka­langan guru, mengakui bahwa pelak­sanaan Kuri­kulum 2013 terkesan dipak­sakan. Mes­kipun Kemdik­bud telah melaksanakan sosialisasi dan uji publik, namun pengua­saan para guru terhadap konsep dan isi kurikulum baru itu masih sepotong-sepotong. Walhasil, tak sedikit guru masih mengalami kebi­ngungan dalam melak­sanakan kuri­kulum itu di kelas.

Kebingungan guru terha­dap konsep, isi, dan pelak­sanaan kurikulum baru bersumber pada satu hal, yaitu minimnya keikut­sertaan guru dalam pela­tihan. Sekadar perban­dingan, guru-guru di Singa­pura men­dapatkan pelatihan selama 100 jam setiap tahun, semen­tara guru-guru di Shanghai mendapatkan pelatihan selama 240 jam dalam kurun lima tahun (Driana, 2012: 6). Semen­tara guru-guru kita menda­pat­kan pelatihan kurikulum baru hanya 52 jam. Ironis bukan?

Poin keenam, pem­­be­lajaran tematik-integratif yang belum dipahami oleh para guru. Saya melihat ada relevansi ant­ara ren­dahnya jumlah jam pe­latihan kurikulum baru bagi guru-guru dan ketidak­paha­man me­reka ter­ha­dap konsep pem­belajaran tematik-in­tegra­tif. Di sam­­ping itu, yang tak kalah pen­ting ia­lah bahwa minat guru-guru kita amat rendah dalam membaca dan menulis, pa­­­­da­­hal dua ke­gia­­tan tersebut amat penting da­lam inovasi pem­­bela­jaran di kelas.

Pembe­laja­ran tematik-integratif se­sung­guhnya me­n­dorong siswa lebih aktif, man­diri, dan mam­­pu berpi­kir kritis dengan segala macam teks yang disa­jikan oleh guru. Masal­ah­nya, jika minat mem­baca guru ren­dah, lantas teks macam apa yang dapat disajikan kepada siswanya di kelas? Sering­kali dan banyak terjadi, para guru hanya mengan­dalkan LKS sebagai satu-satunya sumber belajar. Padahal, sumber belajar yang ada saat ini amatlah beragam jenisnya.

Akhirnya, benar apa yang disampaikan oleh Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina, bahwa hampir separuh lebih persoa­lan pendidikan berpusat pada guru. Jika pemerintah dapat segera menyelesaikan per­soalan guru, kelak kualitas pen­didikan nasional akan membaik, begitu pun seba­liknya. Hal ini tentu amat bergantung pada seberapa besar komitmen dan kiner­ja pemerintah dan masya­rakat terhadap bidang pendidikan. Mari kita peduli akan hal tersebut!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar