Warga
Kelola Transportasi Publik
Nathalia Diana Pitaloka ; Alumni Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, ITB
|
KORAN
JAKARTA, 22 April 2014
Beberapa
tahun terakhir ini, masalah kemacetan di kota-kota besar Indonesia terasa
semakin memprihatinkan. Sebagai contoh, jika sebelumnya kemacetan di Kota
Bandung hanya terjadi pada akhir pekan dan di ruas-ruas jalan tertentu saja,
kini terjadi kapan dan di mana saja.
Ini
melelahkan dan merugikan. Kemacetan, pada dasarnya, karena pertumbuhan
(penggunaan) kendaraan pribadi terus meningkat. Dinas Perhubungan Kota
Bandung menyebutkan pada tahun 2010, jumlah kendaraan pribadi 1,2 juta unit.
Perinciannya
: sepeda motor 800 ribu dan mobil 400 ribu. Pada tahun 2012, jumlah tersebut
meningkat menjadi 2,2 juta unit (1,3 juta dan 900 ribu).
Ditambah
lagi, ada 15 ribu sampai 20 ribu unit kendaraan yang masuk Bandung setiap
akhir pekan, sementarajalan tidak pernah bertambah.
Banyak
yang melatarbelakangi peningkatan jumlah kendaraan pribadi, di antaranya alih
fungsi guna lahan yang tidak terkendali dan tidak memperhatikan pergerakan
yang diakibatkan. Kemudian, kualitas transportasi publik tidak memadai. Ini
membuat masyarakat beralih ke kendaraan pribadi.
Belum
lagi kebijakan pemerintah akan kemudahan para produsen kendaraan sehingga
kendaraan pribadi semakin terjangkau. Namun, semenjak Ridwan Kamil menjabat
sebagai Wali Kota Bandung, muncul sebuah harapan baru.
Berbagai
program diluncurkan untuk mengembalikan Bandung sebagai kota nyaman, termasuk
mengatasi kemacetan. Program jangka pendek yang saat ini sudah berjalan, di
antaranya setiap Senin dan Kamis, siswa SD, SMP, serta SMA menikmati bus
sekolah gratis.
Kemudian,
setiap Jumat diharapkan masyarakat bersepeda ke kantor ataupun sekolah. Untuk
jangka menengah dan panjang dibangun monorel dan cable car daerah berbukit.
Yang
paling krusial, pelayanan angkutan umum tidak dapat diandalkan, ngetem,
ugal-ugalan, dan menentukan tarif sesukanya sehingga menyebabkan masyarakat
mulai meninggalkan angkutan umum. Dampaknya, pendapatan para sopirangkutan umum
semakin berkurang.
Masyarakat
Riset
Indie (sebuah kelompok penelitian independen) mencoba untuk memotong
lingkaran tersebut. Setelah mengundang beberapa ahli untuk memetakan
kemacetan di Kota Bandung bersama komunitas kreatif lainnya, Riset Indie juga
menginisiasi kegiatan Angkot Day.
Pada
hari itu, masyarakat dapat menikmati pelayanan angkutan umum rute Kebon
Kelapa-Dago dengan nyaman (gratis, tidak ngetem, dan tidak ugal-ugalan).
Begitu juga dengan para sopir angkutan umum, dapat memberi pelayanan terbaik
tanpa perlu merisaukan pendapatan.
Ya, hari
itu, Riset Indie menyewa 200 angkutan umum yang dananya berasal dari anggota
komunitas dan para donatur. Sebagai tindak lanjut kegiatan tersebut, kini
Riset Indie bekerja sama Organda dan Pemerintah Kota sedang mencoba
mengembangkan konsep integrasi angkutan umum.
Dengan
terintegrasinya angkutan umum, akan ada standar pelayanan. Pengelolaan dan
pengawasannya pun akan lebih mudah. Selain itu, agar program ini dapat
terjaga keberlanjutannya, Riset Indie juga sedang berusaha membentuk sebuah
forum yang anggotanya merupakan kelompok masyarakat pengguna angkutan umum.
Forum
inilah yang akan mengelola angkutan umum di Kota Bandung secara mandiri.
Forum tersebut berkaca pada keberhasilan Central
Park Conservancy, sebuah organisasi privat nonprofi t yang mengelola
Central Park di New York. Organisasi yang dibentuk pada tahun 1980 itu
merupakan kelompok masyarakat yang peduli pada perbaikan dan peningkatan
Central Park.
Walaupun
begitu, organisasi tersebut masih berada di bawah tanggung jawab Pemerintah
Kota New York. Meskipun belum dapat dipastikan keberhasilannya, seperti
gebrakan yang diberikan Ridwan Kamil, konsep yang disusun Riset Indie juga
memberi suatu harapan baru bagi pelayanan transportasi publik yang lebih baik
di Kota Bandung.
Apabila
masyarakat mengelola sendiri angkutan umumnya, seharusnya hasilnya akan lebih
efi sien. Sebab andil besar dalam pengelolaan angkutan umum tersebut dimiliki
masyarakat sebagai stakeholder utama, yaitu pengguna angkutan umum. Hasilnya
pun akan lebih tepat sasaran, sesuai dengan kebutuhan dan keinginan
masyarakat.
Warga
paling memahami pelayanan yang diharapkan sehingga tidak ada lagi alasan
untuk meninggalkan angkutan umum. Dalam prosesnya, masyarakat akan terpicu
menghasilkan ide-ide yang kreatif demi terciptanya pelayanan angkutan umum
sesuai dengan harapan baik dalam pengumpulan dana maupun pengelolaannya
karena hasilnya akan mereka nikmati sendiri.
Keterlibatan
secara langsung membuat warga merasa memiliki dan bertanggung jawab besar
terhadap keberlanjutan angkutan. Secara logika, ini seharusnya membuat
penumpang turut serta memanfaatkannya. Pengelolaan angkutan umum oleh forum
masyarakat akan lebih terorganisasi daripada dilakukan pengusaha secara
sendiri-sendiri.
Pengelolaan
angkutan umum oleh kelompok tersebut tidak akan terpengaruh pergantian
kepemimpinan, meskipun pada pelaksanaannya tetap bertanggung jawab pada
pemerintah kota.
Secara
teori, pelayanan angkutan umum yang lebih baik seharusnya bisa membuat rakyat
beralih dari kendaraan pribadi. Namun, apakah pada pelaksanaannya benar-benar
berhasil? Untuk menjawab harus dicoba, maka harus ada yang memulai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar