Emansipasi
dan Pengentasan Buta Aksara
Siti Fathimatuz Zahroh ; Ibu Rumah Tangga,
Penerima
Penghargaan Keaksaraan Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2011
|
SUARA
MERDEKA, 22 April 2014
Bulan ini,
kita memperingati Hari Lahir Raden Ajeng (RA) Kartini. Momentum peringatan
ini, mestinya senantiasa dikaitkan dengan upaya perbaikan dan peningkatan
kualitas kaum perempuan.
Pemberontakan
Kartini atas telikung dan hegemon i patriarkat zamannya, tidak saja
menginspirasi tetapi juga menjadi gerakan pejuang kesetaraan geder pada era
selanjutnya.
Perjuangan
gender Kartini, masih merupakan model terbaik bagi bangsa ini. Itu karena
Kartini telah mencontohkan bagaimana hakikat kesetaraan gender
diletakkan dalam bingkai budaya ketimuran.
Kini,
perjuangan Kartini sudah banyak dirasakan hasilnya. Kaum perempuan sudah
menduduki posisi penting. Tidak hanya di bidang pendidikan, tetapi juga di
bidang politik, hukum, pemerintahan dan sebagainya. Kini ada profesor, hakim,
bupati, kepala dinas, polisi, tentara, sopir dan kernet perempuan. Jatah 30
persen bagi perempuan di lembaga legislatif, di Komisi Pemilihan Umum (KPU),
KPI dan sebagainya menjadi bukti buah perjuangan Kartini. Singkatnya, emansipasi
sudah mendapat tempat layak di negeri ini.
Rendahkan Martabat
Sayangnya,
di tengah euforia keberhasilan gerakan gender, masih ada problem pelik yang
belum terselesaikan. Itu karena sebagian besar perempuan di negeri ini
menderita buta aksara. Data Badan Pusat Statistik setahun lalu menyebut
jumlah perempuan penderita buta aksara masih sekitar 12,3 persen.
Buta aksara,
tulis Agus Wibowo (2009), merupakan keadaan di mana penderitanya tidak mampu
membaca dan menulis. Padahal, sebagian besar informasi, ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek), hanya bisa diakses melalui kegiatan
baca-tulis. Singkatnya, ketika seseorang tidak bisa baca-tulis, maka ia akan
ketinggalan perkembangan berbagai macam pengetahuan dan aneka ragam
informasi, yang mengakibatkan kebodohan atau keterbelakangan.
Adalah
sangat menyedihkan jika perempuan yang merupakan ''saka guru'' atau pilar
utama penyangga bangsa ini bodoh dan terbelakang lantaran buta aksara. Selain
mempersempit akses pengetahuan, buta aksara juga merendahkan martabat, tidak
hanya si penderita, tetapi juga bangsa ini pada umumnya.
Kemiskinan
ditengarai Bambang Sudibyo (2008), sebagai pemicu utama buta aksara bagi kaum
hawa. Memang, kemiskinan ini tidak hanya menyebabkan buta aksara pada kaum
perempuan saja, melainkan juga pada kaum laki-laki. Itu karena kemiskinan
menghambat orang untuk mengembangkan bakat dan potensinya. Logika sederhana,
orang miskin setiap hari tak lepas dari persoalan makan dan bertahan hidup,
sehingga jangankan untuk belajar baca-tulis, untuk makan saja mereka
kesulitan.
Benar ada
sebagian perempuan miskin yang sukses. Tetapi itu jumlahnya amat sedikit.
Mereka merupakan perempuan dengan tekad, kemauan, cita-cita dan semangat
besar untuk maju. Tidak heran kaum perempuan seperti inilah yang sukses;
entah menjadi pengusaha, intelektual, pengajar, politikus, dan sebagainya.
Maka, strategi pemberantasan buta aksara dengan target perempuan miskin
sebagaimana diuraikan, lebih ditekankan pada upaya-upaya penyadaran
eksistensi, pemupukan motivasi, dan disertai dengan pemberdayaan potensi.
Diskriminasi
pendidikan merupakan sebab kedua tingginya angka perempuan buta aksara. Benar
saat ini akses pendidikan dibuka selebar-lebarnya. Banyak beasiswa disediakan
pemerintah tanpa pandang gender. Meski demikian, kesempatan perempuan
mengakses pendidikan masih tetap terbatas. Sejak dahulu, masyarakat kita
menganggap tabu jika perempuan mengenyam pendidikan. Itu karena tugas utama
perempuan hanya di dapur, kasur dan sumur. Itulah sebabnya, perempuan sering
mendapat pendidikan lebih rendah ketimbang laki-laki.
Akibatnya,
perempuan menjadi kurang mahir baca-tulis dan mengoptimalkan potensi yang
mereka miliki. Padahal, baca-tulis merupakan jendela melihat dunia. Perempuan
yang buta aksara akan melihat dunia dengan sempit, karena informasi yang
diterimanya sangat sedikit.
Bebaskan Perempuan
Karena buta
aksara, akses mendapat pengetahuan terbatas, maka kaum perempuan tidak banyak
memiliki keahlian yang bisa dijadikan nilai tawar memasuki dunia kerja. Maka,
perempuan buta aksara harus rela menjadi tenaga kerja wanita (TKW), pembantu
rumah tangga, buruh pabrik, penjaga toko dan pekerjaan rendah lainnya. Ketika
di negeri jiran, TKW yang buta aksara itu akan sering mendapatkan perlakuan
kurang manusiawi tanpa bisa berbuat apa-apa. Sutinah adalah contoh
kasus dari nasib TKW yang menyedihkan.
Gerakan
gender tidak akan efektif jika masih banyak kaum perempuan terbelenggu
kebodohan akibat buta aksara. Maka bidang garap emansipasi perempuan, selain
pada bidang-bidang penting, perlu mengutamakan pemberantasan buta aksara.
Berbagai pihak perlu dilibatkan, baik masyarakat maupun stakeholders di
tingkat pusat hingga daerah.
Sejak tahun
2010 lalu, pemerintah telah menerapkan satu skema bersama UNESCO yang disebut
life literacy initiative for empowerment (LLIFE). Program LLIFE itu bukan
sekadar memelekhurufkan saja, melainkan juga akan memberdayakan perempuan
penderita buta aksara baik secara ekonomi, sosio-kultural, maupun lingkungan
hidup. Artinya, penderita tidak belajar aksara dulu, tetapi belajar kecakapan
hidup baru kemudian diperkenalkan aksara. Program itu perlu didukung secara
kritis, agar bisa berdampak positif bagi kaum perempuan yang membutuhkan.
Gerakan
gender dengan program utama pemberantasan buta aksara, menjadi agenda penting
dan mendesak. Kaum perempuan yang duduk di lembaga eksekutif dan lembaga
legislatif perlu memperjuangkan lahirnya kebijakan-kebijakan yang mengarah
pada hal tersebut. Jangan sampai janji-janji di musim kampanye belum lama
ini dilupakan begitu saja.
Organisasi
sosial keagamaan dan LSM yang menaruh minat di bidang gender perlu merumuskan
langkah strategis. Sementara pemerintah mendatang harus merealisasikan tugas
konstitusi mencerdaskan kehidupan bangsa, termasuk kaum perempuan di
dalamnya. Akhirnya, kita akan menjadi bangsa yang tidak bermartabat jika
angka perempuan buta aksara masih terus meningkat di era modern ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar