Kamis, 24 April 2014

Emansipasi dan Pengentasan Buta Aksara

Emansipasi dan Pengentasan Buta Aksara  

Siti Fathimatuz Zahroh  ;   Ibu Rumah Tangga,
Penerima Penghargaan Keaksaraan Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2011
SUARA MERDEKA, 22 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Bulan ini, kita memperingati Hari Lahir Raden Ajeng (RA) Kartini. Momentum peringatan ini, mestinya senantiasa dikaitkan dengan upaya perbaikan dan peningkatan kualitas kaum perempuan.

Pemberontakan Kartini atas telikung dan hegemon i patriarkat zamannya, tidak saja menginspirasi tetapi juga menjadi gerakan pejuang kesetaraan geder pada era selanjutnya.

Perjuangan gender Kartini, masih merupakan model terbaik bagi bangsa ini. Itu karena Kartini telah mencontohkan bagaimana hakikat  kesetaraan gender diletakkan dalam bingkai budaya ketimuran.

Kini, perjuangan Kartini sudah banyak dirasakan hasilnya. Kaum perempuan sudah menduduki posisi penting. Tidak hanya di bidang pendidikan, tetapi juga di bidang politik, hukum, pemerintahan dan sebagainya. Kini ada profesor, hakim, bupati, kepala dinas, polisi, tentara, sopir dan kernet perempuan. Jatah 30 persen bagi perempuan di lembaga legislatif, di Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPI dan sebagainya menjadi bukti buah perjuangan Kartini. Singkatnya, emansipasi sudah mendapat tempat layak di negeri ini.

Rendahkan Martabat

Sayangnya, di tengah euforia keberhasilan gerakan gender, masih ada problem pelik yang belum terselesaikan. Itu karena sebagian besar perempuan di negeri ini menderita buta aksara. Data Badan Pusat Statistik setahun lalu menyebut jumlah perempuan penderita buta aksara masih sekitar 12,3 persen.

Buta aksara, tulis Agus Wibowo (2009), merupakan keadaan di mana penderitanya tidak mampu membaca dan menulis. Padahal, sebagian besar informasi, ilmu pengetahuan  dan teknologi (iptek), hanya bisa diakses melalui kegiatan baca-tulis. Singkatnya, ketika seseorang tidak bisa baca-tulis, maka ia akan ketinggalan perkembangan berbagai macam pengetahuan dan aneka ragam informasi, yang mengakibatkan kebodohan atau keterbelakangan.

Adalah sangat menyedihkan jika perempuan yang merupakan ''saka guru'' atau pilar utama penyangga bangsa ini bodoh dan terbelakang lantaran buta aksara. Selain mempersempit akses pengetahuan, buta aksara juga merendahkan martabat, tidak hanya si penderita, tetapi juga bangsa ini pada umumnya.

Kemiskinan ditengarai Bambang Sudibyo (2008), sebagai pemicu utama buta aksara bagi kaum hawa. Memang, kemiskinan ini tidak hanya menyebabkan buta aksara pada kaum perempuan saja, melainkan juga pada kaum laki-laki. Itu karena kemiskinan menghambat orang untuk mengembangkan bakat dan potensinya. Logika sederhana, orang miskin setiap hari tak lepas dari persoalan makan dan bertahan hidup, sehingga jangankan untuk belajar baca-tulis, untuk makan saja mereka kesulitan.

Benar ada sebagian perempuan miskin yang sukses. Tetapi itu jumlahnya amat sedikit. Mereka merupakan perempuan dengan tekad, kemauan, cita-cita dan semangat besar untuk maju. Tidak heran kaum perempuan seperti inilah yang sukses; entah menjadi pengusaha, intelektual, pengajar, politikus, dan sebagainya. Maka, strategi pemberantasan buta aksara dengan target perempuan miskin sebagaimana diuraikan, lebih ditekankan pada upaya-upaya penyadaran eksistensi, pemupukan motivasi, dan disertai dengan pemberdayaan potensi.

Diskriminasi pendidikan merupakan sebab kedua tingginya angka perempuan buta aksara. Benar saat ini akses pendidikan dibuka selebar-lebarnya. Banyak beasiswa disediakan pemerintah tanpa pandang gender. Meski demikian, kesempatan perempuan mengakses pendidikan masih tetap terbatas. Sejak dahulu, masyarakat kita menganggap tabu jika perempuan mengenyam pendidikan. Itu karena tugas utama perempuan hanya di dapur, kasur dan sumur. Itulah sebabnya, perempuan sering mendapat pendidikan lebih rendah ketimbang laki-laki.

Akibatnya, perempuan menjadi kurang mahir baca-tulis dan mengoptimalkan potensi yang mereka miliki. Padahal, baca-tulis merupakan jendela melihat dunia. Perempuan yang buta aksara akan melihat dunia dengan sempit, karena informasi yang diterimanya sangat sedikit.

Bebaskan Perempuan

Karena buta aksara, akses mendapat pengetahuan terbatas, maka kaum perempuan tidak banyak memiliki keahlian yang bisa dijadikan nilai tawar memasuki dunia kerja. Maka, perempuan buta aksara harus rela menjadi tenaga kerja wanita (TKW), pembantu rumah tangga, buruh pabrik, penjaga toko dan pekerjaan rendah lainnya. Ke­tika di negeri jiran, TKW yang buta aksa­ra itu akan sering mendapatkan perlaku­an kurang manusiawi  tanpa bisa berbuat apa-apa. Sutinah adalah contoh kasus dari nasib TKW yang menyedihkan.

Gerakan gender tidak akan efektif jika masih banyak kaum perempuan terbelenggu kebodohan akibat buta aksara. Maka bidang garap emansipasi perempuan, selain pada bidang-bidang penting, perlu mengutamakan pemberantasan buta aksara. Berbagai pihak perlu dilibatkan, baik masyarakat maupun stakeholders di tingkat pusat hingga daerah.

Sejak tahun 2010 lalu, pemerintah telah menerapkan satu skema bersama UNESCO yang disebut life literacy initiative for empowerment (LLIFE). Pro­gram LLIFE itu bukan sekadar meme­lekhurufkan saja, melainkan juga akan memberdayakan perempuan penderita buta aksara baik secara ekonomi, sosio-kultural, maupun lingkungan hidup. Artinya, penderita tidak belajar aksara dulu, tetapi belajar kecakapan hidup baru kemudian diperkenalkan aksara. Program itu perlu didukung secara kritis, agar bisa berdampak positif bagi kaum perempuan yang membutuhkan.

Gerakan gender dengan program utama pemberantasan buta aksara, menjadi agenda penting dan mendesak. Kaum perempuan yang duduk di lembaga ek­sekutif dan lembaga legislatif perlu memperjuangkan lahirnya kebijakan-kebija­k­an yang mengarah pada hal tersebut. Ja­ngan sampai janji-janji di musim kampanye belum lama ini dilupakan begitu saja.

Organisasi sosial keagamaan dan LSM yang menaruh minat di bidang gender perlu merumuskan langkah strategis. Sementara pemerintah mendatang harus merealisasikan tugas konstitusi mencerdaskan kehidupan bangsa, termasuk kaum perempuan di dalamnya. Akhirnya, kita akan menjadi bangsa yang tidak bermartabat jika angka perempuan buta aksara masih terus meningkat di era modern ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar