Selasa, 08 April 2014

Manifesto Politik Islam

Manifesto Politik Islam

Ibnu Burdah  ;   Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
REPUBLIKA, 07 April 2014
                                     
                                                                                         
                                                             
Apatisme  masyarakat terhadap proses politik di Tanah Air terasa semakin tinggi, padahal pemilu legeslatif digelar beberapa hari lagi. Itu antara lain disebabkan praktik politik, terutama di kalangan elite, dirasa sangat jauh dari idealisme berpolitik yang diharapkan para pemilih. Para elite politik, baik yang kental dengan baju agama mau pun tidak, hampir tak ada bedanya. Kebanyakan mereka sangat mengecewakan para pemilihnya.

Sejarah mencatat, praktik politik sering kali sangat kotor, "kumuh secara moral", bahkan tidak jarang melibatkan kekerasan, perusakan, dan pembunuhan akibat ambisi dan perebutan kekuasaan. Praktik politik juga sering diwarnai permusuhan, kebencian, dan lingkaran dendam yang tiada berkesudahan. Praktik politik umat Islam sepanjang sejarahnya ternyata juga tidak terlepas dari nuansa semacam itu.

Hubungan konfliktual antara keluarga Muawiyah, Abbasiyah, dan Syiah menjelma menjadi tragedi yang memilukan dan panjang dalam sejarah umat Islam klasik (Najeebadi, 2000: 257-516). Permusuhan itu berlangsung lintas generasi yang diwarnai dengan tumpahnya darah sesama, kekerasan, dan dendam mendalam.

Politik umat Islam pada masa modern juga demikian. Kendati mereka jelas-jelas menghadapi musuh bersama berupa kolonialisme dan imperialisme Barat sejak abad ke-16 hingga abad ke-20, mereka masih sangat sulit untuk bergandengan tangan. Yang terjadi justru sebaliknya, sebagian dari kekuatan umat Islam mengambil kesempatan itu untuk mengambil keuntungan kelompoknya dengan menghancurkan kelompok Mus lim lain yang dipandang sebagai musuhnya.

Runtuhnya imperium Turki Utsmani, imperium Islam terakhir, tidak lepas dari "pengkhinatan" yang dilakukan oleh penguasa-penguasa Muslim lokal di Arab masyriq. Mereka membantu sekutu untuk mengalahkan Turki Utsmani. (Bicker ton, 1990: 49). Tentu mereka mengklaim memiliki argumen tersendiri untuk melakukan perlawanan itu. Dan peristiwa itulah sebenarnya yang menjadi latar historis lahirnya negara-negara di subkawasan tersebut seperti Yordania, Suriah, Irak, dan Lebanon saat ini.

Di Indonesia pascareformasi, hampir seluruh kelompok Muslim arus utama memiliki tokoh-tokoh yang duduk di lembaga eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif, partai, dan birokrasi. Namun, apa yang terjadi dalam praktik politik kita? Pembusukan dan pengakaran praktik-praktik kolusif dan koruptif tetap saja masif. Tindak korupsi sangat memalukan sebab tindakan itu merampok harta negara yang dikumpulkan dari uang rakyat.

Pertanyaan yang perlu diajukan kemudian adalah apakah idealnya umat Islam sekarang tidak lagi terlibat dalam praktik politik agar kemurnian agama dan spiritualnya terpelihara? Apakah umat Islam harus benar-benar membuang politik ke dalam `comberan' sejarah agar agama dan spiritualitas yang suci tidak ternodai hal duniawi?

Prinsip membuang politik untuk memurnikan dan menjaga kesucian agama dan agar politik tidak direcoki hal-hal yang tidak masuk akal dan sempit se sungguhnya adalah prinsip dasar sekularisme Barat. Barat, terutama dari kalangan spiritualis "sejati" dan elite politik, pada mulanya memandang dengan optimistis dan penuh antusias terhadap proses sekularisasi yang mereka jalankan (Armstrong, 2002). Sementara umat Islam cenderung memandang penuh curiga terhadap sekularisasi yang terjadi di negeri-negeri mereka.

Itulah barangkali salah satu karakter agama Islam dan sejarah pemeluknya yang membedakannya dari pengalaman beberapa pemeluk agama yang lain. Dalam Islam, politik adalah bagian inti dari agama, Al-Islam al-din wa al-dawlah. Islam secara tegas berprinsip tidak membelakangi kehidupan dunia, baik itu politik, sosial, ekonomi, pertahanan keamanan, maupun peradaban (QS 28:77 dan 62:10). "Pembangunan" dan penyucian semua bidang itu adalah visi yang diemban agama Islam.
Politik dalam Islam, dengan demikian, adalah politik yang berdasarkan atas nilai-nilai spiritualitas mendalam di samping atas kepentingan bersama. Politik dimaksudkan untuk mengatur dan mewujudkan cita-cita agung kehidupan bersama yang acap kali saling bertentangan antarkelompok dan golongan.  

Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, politik umat Islam haruslah politik kebangsaan, yaitu memperjuangkan kepentingan bangsa secara keseluruhan. Sikap menang sendiri atau melakukan peminggiran terhadap minoritas karena merasa sebagai mayoritas adalah politik yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Islam bukan hanya mengajarkan prinsip dasar demokrasi bahwa setiap orang berhak turut serta dan menentukan nasibnya sendiri, namun juga mengajarkan prinsip syura (musyawarah) yang sejalan dengan salah satu butir dasar negara kita. Prinsip syura melampaui demokrasi, sebab ia tidak hanya mempertimbangkan kuantitas, namun juga mencari kualitas.

Yang terbaik untuk kepentingan bersama itulah yang seharusnya menjadi pilihan bersama. Politik kebangsaan umat Islam Indonesia dengan demikian juga harus berkomitmen secara sungguh-sungguh untuk berjuang memelihara khazanah keberagaman.

Politik umat Islam seharusnya menjadi perluasan dari iman dan spiritualitasnya. Iman menuntut tindakan nyata yang bermanfaat bagi diri sendiri, sesama, dan kelangsungan kehidupan. Umat Islam memiliki tanggung jawab historis dan spiritual untuk memakmurkan kehidupan, meningkatkan kualitas kemanusiaan, dan menjaga kelestarian alam sebagai "pancaran" dari imannya.

Hal sebaliknya seharusnya juga berlaku. Keterlibatan umat Islam untuk memperbaiki sejarah kehidupan di sekitarnya dapat membantu mereka untuk memperdalam kualitas keberagamaan dan spiritualitasnya. "Umat Islam mencari Tuhan dalam peristiwa-peristiwa sejarah", kata Karen Armstrong (2002).

Hubungan timbal balik antara karya historis dan spiritualitas keagamaan inilah yang terputus dalam sejarah politik umat Islam saat ini, baik di Indonesia mau pun di negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim yang lain. Akibatnya, politik menjadi sangat profan, miskin nilai dan cita-cita, bahkan menjadi lahan subur bagi keserakahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar