Manifesto
Politik Islam
Ibnu Burdah ; Dosen Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga
|
REPUBLIKA,
07 April 2014
Apatisme
masyarakat terhadap proses politik di Tanah Air terasa semakin tinggi,
padahal pemilu legeslatif digelar beberapa hari lagi. Itu antara lain
disebabkan praktik politik, terutama di kalangan elite, dirasa sangat jauh
dari idealisme berpolitik yang diharapkan para pemilih. Para elite politik,
baik yang kental dengan baju agama mau pun tidak, hampir tak ada bedanya. Kebanyakan
mereka sangat mengecewakan para pemilihnya.
Sejarah mencatat, praktik politik sering kali
sangat kotor, "kumuh secara moral", bahkan tidak jarang melibatkan
kekerasan, perusakan, dan pembunuhan akibat ambisi dan perebutan kekuasaan. Praktik
politik juga sering diwarnai permusuhan, kebencian, dan lingkaran dendam yang
tiada berkesudahan. Praktik politik umat Islam sepanjang sejarahnya ternyata
juga tidak terlepas dari nuansa semacam itu.
Hubungan konfliktual antara keluarga Muawiyah,
Abbasiyah, dan Syiah menjelma menjadi tragedi yang memilukan dan panjang
dalam sejarah umat Islam klasik (Najeebadi, 2000: 257-516). Permusuhan itu
berlangsung lintas generasi yang diwarnai dengan tumpahnya darah sesama,
kekerasan, dan dendam mendalam.
Politik umat Islam pada masa modern juga
demikian. Kendati mereka jelas-jelas menghadapi musuh bersama berupa kolonialisme
dan imperialisme Barat sejak abad ke-16 hingga abad ke-20, mereka masih
sangat sulit untuk bergandengan tangan. Yang terjadi justru sebaliknya,
sebagian dari kekuatan umat Islam mengambil kesempatan itu untuk mengambil
keuntungan kelompoknya dengan menghancurkan kelompok Mus lim lain yang
dipandang sebagai musuhnya.
Runtuhnya imperium Turki Utsmani, imperium Islam
terakhir, tidak lepas dari "pengkhinatan" yang dilakukan oleh penguasa-penguasa
Muslim lokal di Arab masyriq. Mereka membantu sekutu untuk mengalahkan Turki
Utsmani. (Bicker ton, 1990: 49). Tentu mereka mengklaim memiliki argumen
tersendiri untuk melakukan perlawanan itu. Dan peristiwa itulah sebenarnya
yang menjadi latar historis lahirnya negara-negara di subkawasan tersebut
seperti Yordania, Suriah, Irak, dan Lebanon saat ini.
Di Indonesia pascareformasi, hampir seluruh
kelompok Muslim arus utama memiliki tokoh-tokoh yang duduk di lembaga
eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif, partai, dan birokrasi. Namun, apa
yang terjadi dalam praktik politik kita? Pembusukan dan pengakaran praktik-praktik
kolusif dan koruptif tetap saja masif. Tindak korupsi sangat memalukan sebab
tindakan itu merampok harta negara yang dikumpulkan dari uang rakyat.
Pertanyaan yang perlu diajukan kemudian adalah
apakah idealnya umat Islam sekarang tidak lagi terlibat dalam praktik politik
agar kemurnian agama dan spiritualnya terpelihara? Apakah umat Islam harus
benar-benar membuang politik ke dalam `comberan' sejarah agar agama dan
spiritualitas yang suci tidak ternodai hal duniawi?
Prinsip membuang politik untuk memurnikan dan
menjaga kesucian agama dan agar politik tidak direcoki hal-hal yang tidak
masuk akal dan sempit se sungguhnya adalah prinsip dasar sekularisme Barat.
Barat, terutama dari kalangan spiritualis "sejati" dan elite politik,
pada mulanya memandang dengan optimistis dan penuh antusias terhadap proses
sekularisasi yang mereka jalankan (Armstrong, 2002). Sementara umat Islam
cenderung memandang penuh curiga terhadap sekularisasi yang terjadi di
negeri-negeri mereka.
Itulah barangkali salah satu karakter agama
Islam dan sejarah pemeluknya yang membedakannya dari pengalaman beberapa
pemeluk agama yang lain. Dalam Islam, politik adalah bagian inti dari agama, Al-Islam al-din wa al-dawlah. Islam
secara tegas berprinsip tidak membelakangi kehidupan dunia, baik itu politik,
sosial, ekonomi, pertahanan keamanan, maupun peradaban (QS 28:77 dan 62:10).
"Pembangunan" dan penyucian semua bidang itu adalah visi yang
diemban agama Islam.
Politik dalam Islam, dengan demikian, adalah
politik yang berdasarkan atas nilai-nilai spiritualitas mendalam di samping
atas kepentingan bersama. Politik dimaksudkan untuk mengatur dan mewujudkan
cita-cita agung kehidupan bersama yang acap kali saling bertentangan
antarkelompok dan golongan.
Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, politik
umat Islam haruslah politik kebangsaan, yaitu memperjuangkan kepentingan
bangsa secara keseluruhan. Sikap menang sendiri atau melakukan peminggiran
terhadap minoritas karena merasa sebagai mayoritas adalah politik yang
bertentangan dengan ajaran Islam.
Islam bukan hanya mengajarkan prinsip dasar
demokrasi bahwa setiap orang berhak turut serta dan menentukan nasibnya
sendiri, namun juga mengajarkan prinsip syura (musyawarah) yang sejalan
dengan salah satu butir dasar negara kita. Prinsip syura melampaui demokrasi,
sebab ia tidak hanya mempertimbangkan kuantitas, namun juga mencari kualitas.
Yang terbaik untuk kepentingan bersama itulah
yang seharusnya menjadi pilihan bersama. Politik kebangsaan umat Islam
Indonesia dengan demikian juga harus berkomitmen secara sungguh-sungguh untuk
berjuang memelihara khazanah keberagaman.
Politik umat Islam seharusnya menjadi
perluasan dari iman dan spiritualitasnya. Iman menuntut tindakan nyata yang
bermanfaat bagi diri sendiri, sesama, dan kelangsungan kehidupan. Umat Islam
memiliki tanggung jawab historis dan spiritual untuk memakmurkan kehidupan,
meningkatkan kualitas kemanusiaan, dan menjaga kelestarian alam sebagai
"pancaran" dari imannya.
Hal sebaliknya seharusnya juga berlaku.
Keterlibatan umat Islam untuk memperbaiki sejarah kehidupan di sekitarnya
dapat membantu mereka untuk memperdalam kualitas keberagamaan dan
spiritualitasnya. "Umat Islam
mencari Tuhan dalam peristiwa-peristiwa sejarah", kata Karen
Armstrong (2002).
Hubungan timbal balik antara karya historis
dan spiritualitas keagamaan inilah yang terputus dalam sejarah politik umat
Islam saat ini, baik di Indonesia mau pun di negara-negara dengan penduduk
mayoritas Muslim yang lain. Akibatnya, politik menjadi sangat profan, miskin
nilai dan cita-cita, bahkan menjadi lahan subur bagi keserakahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar