Menjadi
Kandidat Berintegritas
Ibrahim Fahmy Badoh ; Program Director
Transparency International Indonesia
|
KOMPAS,
07 April 2014
Riuh
gempita pemilu masih menyisakan tanda tanya besar terutama bagi pemilih, juga
sebagian kandidat. Betulkah sistem proporsional daftar terbuka lebih
memberikan kesempatan membuat perubahan? Lantas bagaimana menjadi kandidat
yang dipercaya dan berintegritas di tengah citra partai politik yang terpuruk?
Sistem
pemilihan proporsional daftar terbuka membuka ruang persaingan terbuka para
kandidat mendulang suara dan merebut kursi. Di sisi pemilih, meskipun lebih
rumit, cukup antusias karena meningkatnya derajat kebebasan memilih. Jika
semula hanya memilih lambang partai politik, sistem terbuka memberikan
harapan untuk menitipkan mandat politik juga kepada perorangan para kandidat.
Realitas
lembaga politik seharusnya mengantar pemilih pada kandidat berintegritas.
Sayangnya, sistem perekrutan di partai politik telah menjadi halangan utama.
Nama-nama
politisi lama yang identik dengan kandidat padat modal, juga sederet nama
artis yang sudah terkenal, menjadi prioritas elite partai politik.
Sementara
itu, sejumlah nama tokoh baru, dengan basis kompetensi dan rekam jejak yang
baik di mata masyarakat, seakan tersingkir. Menang sebagai kandidat
berintegritas dengan modal dan popularitas minim menjadi tantangan suksesnya
sistem pemilihan daftar terbuka.
Menjadi
kandidat berintegritas sebenarnya mudah meski berat dalam pelaksanaannya.
Kuncinya adalah memenuhi nilai-nilai dasar integritas.
Secara
teori, kata integritas sebenarnya kumpulan dari perilaku yang mengikat tiga
nilai dasar sekaligus, yaitu akuntabilitas (accountability), kompetensi (competency),
dan etika (ethics). Memelihara
ketiga nilai dasar ini dilakukan dengan upaya kontrol terhadap korupsi.
Secara sederhana dimuat dalam persamaan; Integrity
= (ACE)–C (Galtung, Pope, 2010).
Penerapan
dari nilai-nilai dasar integritas, bagi para kandidat, diwujudkan dengan
kampanye dengan branding yang
menunjukkan kompetensi. Di samping itu kandidat harus mampu membangun
akuntabilitas dan penghargaan yang tinggi terhadap nilai-nilai etika pejabat
publik terutama anggota parlemen. Berlaku transparan terhadap hal-hal yang
dapat mendukung akuntabilitas akan sangat membantu pencitraan integritas sang
kandidat.
”Branding”
Branding
dalam periklanan adalah nama yang diberikan kepada tipe atau versi produk
tertentu (Larson, 2010 hal 379).
Hal sangat penting dalam branding adalah membuat kemasan (packaging). Dengan branding yang baik,
kandidat dapat muncul dengan program unggulan, misalkan, jika kandidat adalah
seorang petani atau dokter, cukup muncul dengan program ”pupuk murah” atau
”kesehatan ibu hamil”.
Saat berkampanye,
kandidat perlu fokus pada isu branding
yang telah dipilihnya. Dikemas dalam slogan dan metode kampanye yang menarik.
Dengan branding dan pengemasan yang
baik, kandidat dapat tampil unik, lebih memiliki daya saing, dan mencerdaskan
dengan biaya kampanye yang tentu lebih murah.
Untuk
dapat melakukan branding, para kandidat harus peka dengan isu sensitif yang
laten dirasakan pemilih. Persoalan kemiskinan, hilangnya pemimpin dan teladan
baik di masyarakat, buruknya pelayanan publik, dan korupsi adalah contoh
permasalahan laten pemilih. Dari rentang masalah yang ada, harus dibuat skala
prioritas dan kemudian rencana program aktual kandidat. Program kandidat
sebaiknya terukur dan tidak muluk. Cukup membatasi diri pada kewenangan
seorang anggota parlemen terkait daerah pemilihannya.
Kepercayaan
Kandidat
harus menyadari bahwa yang dikejarnya untuk memenangi hati pemilih adalah
kepercayaan (trust). Dengan kepercayaan, bukan hanya rasa terpikat yang akan
didapat, tetapi juga loyalitas pemilih. Ibarat kesetiaan konsumen terhadap
citra dan kualitas suatu produk makanan atau baju. Jika telah muncul trust,
maka sulit berpindah ke produk lain. Begitu juga seharusnya dengan para
kandidat. Kesetiaan dengan dasar kepercayaan dapat digunakan untuk menjadikan
pemilih sebagai promotor dan tim kampanye kandidat di lingkungannya secara
sukarela.
Kepercayaan
sebenarnya muncul dan terbangun karena terujinya kualitas dan kapasitas
seseorang dari pengalaman interaksi sosial. Faktor ini biasanya dimiliki oleh
kandidat incumbent (petahana) terutama yang mampu membangun citra baik selama
menjabat sebagai wakil rakyat. Akan tetapi, kepercayaan juga dapat dibangun
oleh kandidat baru dengan tampil berintegritas dan menunjukkan kapasitas dan
kualitasnya.
Praktik
membangun kepercayaan dilakukan oleh beberapa nama politisi yang awalnya
tidak memiliki branding publik, tetapi kemudian menjadi populer dengan
menunjukkan kerja-kerja konkret untuk publik. Menunjukkan praktik hidup
bersahaja, sederhana, dan mendahulukan kepentingan publik adalah karakter
yang mampu membangun kepercayaan. Praktik kampanye dengan memamerkan
kemewahan justru lebih mudah menimbulkan kecurigaan publik.
Tampil
terbuka apa adanya juga dapat dilakukan kandidat dengan membangun
transparansi dan akuntabilitas terhadap pemilih. Kandidat harus mau terbuka
apa adanya termasuk hal-hal yang dipandang sensitif, seperti kemampuan
ekonomi, juga kemungkinan konflik kepentingan, atau terikat dengan sumber
pendanaan kampanye.
Terbuka
soal aset, kepatuhan membayar pajak, juga akan menunjukkan bahwa kandidat
taat hukum dan menghormati kepentingan publik. Jika kandidat telah dipercaya,
embrio akuntabilitas dapat terbentuk untuk jangka panjang dalam bentuk tali
mandat. Kepercayaan dan tali mandat yang kuat adalah akar tunjang representasi
politik di masa mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar