Selasa, 08 April 2014

Menjadi Kandidat Berintegritas

Menjadi Kandidat Berintegritas

Ibrahim Fahmy Badoh  ;   Program Director Transparency International Indonesia
KOMPAS, 07 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Riuh gempita pemilu masih menyisakan tanda tanya besar terutama bagi pemilih, juga sebagian kandidat. Betulkah sistem proporsional daftar terbuka lebih memberikan kesempatan membuat perubahan? Lantas bagaimana menjadi kandidat yang dipercaya dan berintegritas di tengah citra partai politik yang terpuruk?

Sistem pemilihan proporsional daftar terbuka membuka ruang persaingan terbuka para kandidat mendulang suara dan merebut kursi. Di sisi pemilih, meskipun lebih rumit, cukup antusias karena meningkatnya derajat kebebasan memilih. Jika semula hanya memilih lambang partai politik, sistem terbuka memberikan harapan untuk menitipkan mandat politik juga kepada perorangan para kandidat.

Realitas lembaga politik seharusnya mengantar pemilih pada kandidat berintegritas. Sayangnya, sistem perekrutan di partai politik telah menjadi halangan utama.

Nama-nama politisi lama yang identik dengan kandidat padat modal, juga sederet nama artis yang sudah terkenal, menjadi prioritas elite partai politik.

Sementara itu, sejumlah nama tokoh baru, dengan basis kompetensi dan rekam jejak yang baik di mata masyarakat, seakan tersingkir. Menang sebagai kandidat berintegritas dengan modal dan popularitas minim menjadi tantangan suksesnya sistem pemilihan daftar terbuka.



Menjadi kandidat berintegritas sebenarnya mudah meski berat dalam pelaksanaannya. Kuncinya adalah memenuhi nilai-nilai dasar integritas.

Secara teori, kata integritas sebenarnya kumpulan dari perilaku yang mengikat tiga nilai dasar sekaligus, yaitu akuntabilitas (accountability), kompetensi (competency), dan etika (ethics). Memelihara ketiga nilai dasar ini dilakukan dengan upaya kontrol terhadap korupsi. Secara sederhana dimuat dalam persamaan; Integrity = (ACE)–C (Galtung, Pope, 2010).

Penerapan dari nilai-nilai dasar integritas, bagi para kandidat, diwujudkan dengan kampanye dengan branding yang menunjukkan kompetensi. Di samping itu kandidat harus mampu membangun akuntabilitas dan penghargaan yang tinggi terhadap nilai-nilai etika pejabat publik terutama anggota parlemen. Berlaku transparan terhadap hal-hal yang dapat mendukung akuntabilitas akan sangat membantu pencitraan integritas sang kandidat.

”Branding”

Branding dalam periklanan adalah nama yang diberikan kepada tipe atau versi produk tertentu (Larson, 2010 hal 379). Hal sangat penting dalam branding adalah membuat kemasan (packaging). Dengan branding yang baik, kandidat dapat muncul dengan program unggulan, misalkan, jika kandidat adalah seorang petani atau dokter, cukup muncul dengan program ”pupuk murah” atau ”kesehatan ibu hamil”.

Saat berkampanye, kandidat perlu fokus pada isu branding yang telah dipilihnya. Dikemas dalam slogan dan metode kampanye yang menarik. Dengan branding dan pengemasan yang baik, kandidat dapat tampil unik, lebih memiliki daya saing, dan mencerdaskan dengan biaya kampanye yang tentu lebih murah.

Untuk dapat melakukan branding, para kandidat harus peka dengan isu sensitif yang laten dirasakan pemilih. Persoalan kemiskinan, hilangnya pemimpin dan teladan baik di masyarakat, buruknya pelayanan publik, dan korupsi adalah contoh permasalahan laten pemilih. Dari rentang masalah yang ada, harus dibuat skala prioritas dan kemudian rencana program aktual kandidat. Program kandidat sebaiknya terukur dan tidak muluk. Cukup membatasi diri pada kewenangan seorang anggota parlemen terkait daerah pemilihannya.

Kepercayaan

Kandidat harus menyadari bahwa yang dikejarnya untuk memenangi hati pemilih adalah kepercayaan (trust). Dengan kepercayaan, bukan hanya rasa terpikat yang akan didapat, tetapi juga loyalitas pemilih. Ibarat kesetiaan konsumen terhadap citra dan kualitas suatu produk makanan atau baju. Jika telah muncul trust, maka sulit berpindah ke produk lain. Begitu juga seharusnya dengan para kandidat. Kesetiaan dengan dasar kepercayaan dapat digunakan untuk menjadikan pemilih sebagai promotor dan tim kampanye kandidat di lingkungannya secara sukarela.

Kepercayaan sebenarnya muncul dan terbangun karena terujinya kualitas dan kapasitas seseorang dari pengalaman interaksi sosial. Faktor ini biasanya dimiliki oleh kandidat incumbent (petahana) terutama yang mampu membangun citra baik selama menjabat sebagai wakil rakyat. Akan tetapi, kepercayaan juga dapat dibangun oleh kandidat baru dengan tampil berintegritas dan menunjukkan kapasitas dan kualitasnya.

Praktik membangun kepercayaan dilakukan oleh beberapa nama politisi yang awalnya tidak memiliki branding publik, tetapi kemudian menjadi populer dengan menunjukkan kerja-kerja konkret untuk publik. Menunjukkan praktik hidup bersahaja, sederhana, dan mendahulukan kepentingan publik adalah karakter yang mampu membangun kepercayaan. Praktik kampanye dengan memamerkan kemewahan justru lebih mudah menimbulkan kecurigaan publik.

Tampil terbuka apa adanya juga dapat dilakukan kandidat dengan membangun transparansi dan akuntabilitas terhadap pemilih. Kandidat harus mau terbuka apa adanya termasuk hal-hal yang dipandang sensitif, seperti kemampuan ekonomi, juga kemungkinan konflik kepentingan, atau terikat dengan sumber pendanaan kampanye.

Terbuka soal aset, kepatuhan membayar pajak, juga akan menunjukkan bahwa kandidat taat hukum dan menghormati kepentingan publik. Jika kandidat telah dipercaya, embrio akuntabilitas dapat terbentuk untuk jangka panjang dalam bentuk tali mandat. Kepercayaan dan tali mandat yang kuat adalah akar tunjang representasi politik di masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar