Selasa, 08 April 2014

Ekonomi-Politik Pemilu

Ekonomi-Politik Pemilu

Ridwan Budiman  ;   Peneliti Muda Centre for Information and Development Studies (CIDES-The Habibie Centre)
REPUBLIKA, 07 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Menjelang pemilu, muncul beberapa berita yang mengaitkan antara persoalan ekonomi dan politik. Karena berangkat dari berita yang berkaitan dengan pemilu, maka wacana tersebut pun umumnya berkaitan dengan intervensi politik terhadap aktivitas ekonomi yang terjadi pada kuartal pertama ini. Dalam ranah ekonomi makro, misalnya, muncul beberapa pandangan mengenai pengaruh pemilu terhadap pertumbuhan ekonomi. Atau dalam ranah perdagangan saham dan moneter, muncul dampak dari pen capresan Jokowi terhadap perubahan IHSG dan penguatan rupiah terhadap dolar.

Tentu, persoalan ekonomi politik di atas bukan sekadar pada perdebatan sudut pandang yang digunakan dalam menilai suatu hal sehingga berpengaruh terhadap perbedaan analisis yang dikemukakan. Jauh lebih paradigmatik daripada itu, berita atau isu mengenai ekonomi-politik tersebut setidaknya menjelaskan bahwa politik dan ekonomi adalah dua entitas yang tidak dapat terpisah dalam logika biner.

Sejak kotak pandora reformasi telah terbuka (Lay, 2006), pemilu menjadi titik kritis pada soal regenerasi politik pengelolaan kekuasaan negeri ini. Pemilu hadir sebagai sebuah harapan tentang kehidupan yang lebih baik disebabkan karena perebutan kekuasaan menjadi lebih fairdan transparan. Namun demikian, hadirnya pemilu pun berpotensi mereduksi makna politik dalam pemilu itu sendiri. Oleh karena, pemilu dianggap sebagai bagian dari cara bernegara modern dan karenanya hanya dikelola untuk kepentingan segelintir elite politik dan berbiaya tinggi.

Nah, implikasi dari sesat pikir tentang apa yang dinilai modern dalam mengelola negara itulah yang mengakibatkan politik dianggap sebagai hal terpisah dari daily-life masyarakat (Santoso, 2013). Buruknya, kerancuan berpikir ini turut dibajak oleh elite politik dan pengusaha yang saling berkongsi dalam ritual lima tahunan tersebut dengan nalar ekonomi.

Oleh karena nalar bekerjanya adalah ekonomi, maka publik didudukkan sebagai konsumen bukan warga negara. Sehingga, relasi antara seorang partai serta kandidat yang diusungnya dengan masyarakat, bekerja dalam mekanisme pasar: ditentukan berdasarkan hukum permintaan-penawaran (Mallarangeng, 2013).

Berangkat dari kebimbangan nalar dalam mendudukkan pemilu itulah, dalam konteks praksis, pemilu hadir sekadar sebagai ritual politik yang sejatinya tidak memiliki signifikansi apa pun terhadap perbaikan ekonomi. Asumsi yang menjelaskan bahwa hadirnya demokrasi di bidang politik (pemilu) akan berimplikasi terhadap demokrasi di bidang ekonomi (pemerataan kesejahteraan) menjadi tidak terbukti adanya.

Beberapa contoh pengalaman Indonesia dan beberapa negara, membuktikan dua hal. Pertama, pemilu gagal untuk menjadi alat untuk mengalirkan kue pembangunan lebih terserap ke bawah (trickle down effect)--sebagaimana kesejahteraan selalu dikampanyekan di setiap bergulirnya pemilu. Kedua, pemilu tidak memiliki signifikansi apa pun saat masyarakat sudah maju secara ekonomi dan pendidikan.

Setidaknya, terdapat tiga indikator yang menjelaskan hal tersebut (BPS, 2013). Pertama, koefisien Gini Indonesia berada pada posisi yang kian parah dibandingkan era Orde Baru, yaitu mencapai angka 0,4. Kedua, perbandingan antara angkatan kerja dan jumlah tingkat pengangguran terbuka (TPT) antara pra-Orde Baru dan pasca-Orde Baru (reformasi).

Jika pada tahun 80-an angkatan kerja berada di angka rata-rata 70 juta orang dengan angka pengangguran berada sekitar tiga persen, maka pada pasca-Orde Baru, jumlah angkatan kerja sekitar 110 juta orang dengan angka persentase 10 persen. Artinya, laju angka pengangguran pasca-Orde Baru tiga kali lebih cepat tumbuh daripada laju angkatan kerja produktif yang mampu menunjang pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, dalam contoh beberapa negara maju yang lebih lama menerapkan demokrasi, justru tingginya tingkat pendidikan dan ekonomi berbanding terbalik dengan menurunnya partisipasi mereka terhadap pemilu (Lipset, 1960). Negara di Eropa, misalnya Jerman dan Prancis, adalah negara dengan tingkat pendidikan dan ekonomi terbaik di Eropa, namun fakta tersebut tidak berbanding lurus dengan stabilitas demokrasi di negara masing-masing.

Bahkan, di Amerika yang jamak men jadi rujukan negara berkembang dalam praktik demokrasi harus mengalami fakta bahwa angka partisipasi di tiap kali pemilu selalu mengalami penurunan. Dalam 30 tahun terakhir, tingkat par tisipasi pemilu di Amerika dalam pemilihan presiden menurun hingga menyentuh angka partisipasi 50 persen. Sedangkan, pada pemilihan kongres, tingkat partisipasi hanya ada 30 persen (Saffel, 2004).

Dengan demikian, kembali kita perlu bertanya secara kritis: apakah kehadiran pemilu bermanfaat besar untuk perbaikan ekonomi Indonesia secara luas, atau jangan-jangan pemilu hanyalah sekadar sarana pertarungan dari koalisi elit politik dan ekonomi dan kita sebagai rakyat kecil hanya sekadar menjadi sekrup- sekrup ilusi dari sebuah demokrasi? Tampaknya, yang kedualah yang tepat menjadi jawaban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar