Ekonomi-Politik
Pemilu
Ridwan Budiman ; Peneliti Muda Centre
for Information and Development Studies (CIDES-The Habibie Centre)
|
REPUBLIKA,
07 April 2014
Menjelang pemilu, muncul beberapa berita yang
mengaitkan antara persoalan ekonomi dan politik. Karena berangkat dari berita
yang berkaitan dengan pemilu, maka wacana tersebut pun umumnya berkaitan
dengan intervensi politik terhadap aktivitas ekonomi yang terjadi pada kuartal
pertama ini. Dalam ranah ekonomi makro, misalnya, muncul beberapa pandangan mengenai
pengaruh pemilu terhadap pertumbuhan ekonomi. Atau dalam ranah perdagangan
saham dan moneter, muncul dampak dari pen capresan Jokowi terhadap perubahan
IHSG dan penguatan rupiah terhadap dolar.
Tentu, persoalan ekonomi politik di atas bukan
sekadar pada perdebatan sudut pandang yang digunakan dalam menilai suatu hal
sehingga berpengaruh terhadap perbedaan analisis yang dikemukakan. Jauh lebih
paradigmatik daripada itu, berita atau isu mengenai ekonomi-politik tersebut
setidaknya menjelaskan bahwa politik dan ekonomi adalah dua entitas yang
tidak dapat terpisah dalam logika biner.
Sejak kotak pandora reformasi telah terbuka
(Lay, 2006), pemilu menjadi titik kritis pada soal regenerasi politik pengelolaan
kekuasaan negeri ini. Pemilu hadir sebagai sebuah harapan tentang kehidupan yang
lebih baik disebabkan karena perebutan kekuasaan menjadi lebih fairdan
transparan. Namun demikian, hadirnya pemilu pun berpotensi mereduksi makna
politik dalam pemilu itu sendiri. Oleh karena, pemilu dianggap sebagai bagian
dari cara bernegara modern dan karenanya hanya dikelola untuk kepentingan
segelintir elite politik dan berbiaya tinggi.
Nah, implikasi dari sesat pikir tentang apa
yang dinilai modern dalam mengelola negara itulah yang mengakibatkan politik
dianggap sebagai hal terpisah dari daily-life masyarakat (Santoso, 2013).
Buruknya, kerancuan berpikir ini turut dibajak oleh elite politik dan
pengusaha yang saling berkongsi dalam ritual lima tahunan tersebut dengan
nalar ekonomi.
Oleh karena nalar bekerjanya adalah ekonomi,
maka publik didudukkan sebagai konsumen bukan warga negara. Sehingga, relasi
antara seorang partai serta kandidat yang diusungnya dengan masyarakat,
bekerja dalam mekanisme pasar: ditentukan berdasarkan hukum permintaan-penawaran
(Mallarangeng, 2013).
Berangkat dari kebimbangan nalar dalam mendudukkan
pemilu itulah, dalam konteks praksis, pemilu hadir sekadar sebagai ritual
politik yang sejatinya tidak memiliki signifikansi apa pun terhadap perbaikan
ekonomi. Asumsi yang menjelaskan bahwa hadirnya demokrasi di bidang politik
(pemilu) akan berimplikasi terhadap demokrasi di bidang ekonomi (pemerataan
kesejahteraan) menjadi tidak terbukti adanya.
Beberapa contoh pengalaman Indonesia dan
beberapa negara, membuktikan dua hal. Pertama, pemilu gagal untuk menjadi
alat untuk mengalirkan kue pembangunan lebih terserap ke bawah (trickle down effect)--sebagaimana kesejahteraan
selalu dikampanyekan di setiap bergulirnya pemilu. Kedua, pemilu tidak
memiliki signifikansi apa pun saat masyarakat sudah maju secara ekonomi dan
pendidikan.
Setidaknya, terdapat tiga indikator yang
menjelaskan hal tersebut (BPS, 2013). Pertama, koefisien Gini Indonesia
berada pada posisi yang kian parah dibandingkan era Orde Baru, yaitu mencapai
angka 0,4. Kedua, perbandingan antara angkatan kerja dan jumlah tingkat
pengangguran terbuka (TPT) antara pra-Orde Baru dan pasca-Orde Baru (reformasi).
Jika pada tahun 80-an angkatan kerja berada di
angka rata-rata 70 juta orang dengan angka pengangguran berada sekitar tiga
persen, maka pada pasca-Orde Baru, jumlah angkatan kerja sekitar 110 juta
orang dengan angka persentase 10 persen. Artinya, laju angka pengangguran
pasca-Orde Baru tiga kali lebih cepat tumbuh daripada laju angkatan kerja
produktif yang mampu menunjang pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, dalam contoh beberapa negara maju yang
lebih lama menerapkan demokrasi, justru tingginya tingkat pendidikan dan
ekonomi berbanding terbalik dengan menurunnya partisipasi mereka terhadap
pemilu (Lipset, 1960). Negara di Eropa, misalnya Jerman dan Prancis, adalah negara
dengan tingkat pendidikan dan ekonomi terbaik di Eropa, namun fakta tersebut
tidak berbanding lurus dengan stabilitas demokrasi di negara masing-masing.
Bahkan, di Amerika yang jamak men jadi rujukan
negara berkembang dalam praktik demokrasi harus mengalami fakta bahwa angka
partisipasi di tiap kali pemilu selalu mengalami penurunan. Dalam 30 tahun
terakhir, tingkat par tisipasi pemilu di Amerika dalam pemilihan presiden
menurun hingga menyentuh angka partisipasi 50 persen. Sedangkan, pada
pemilihan kongres, tingkat partisipasi hanya ada 30 persen (Saffel, 2004).
Dengan demikian, kembali kita perlu bertanya
secara kritis: apakah kehadiran pemilu bermanfaat besar untuk perbaikan
ekonomi Indonesia secara luas, atau jangan-jangan pemilu hanyalah sekadar
sarana pertarungan dari koalisi elit politik dan ekonomi dan kita sebagai rakyat
kecil hanya sekadar menjadi sekrup- sekrup ilusi dari sebuah demokrasi? Tampaknya,
yang kedualah yang tepat menjadi jawaban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar