Lapangan
Kerja dan Pertumbuhan
Gustav F Papanek ; Bekerja di Fakultas
Ekonomi Universitas Harvard Selama 21 Tahun dan Universitas Boston Selama 18
Tahun; Mulai Berkiprah di Bidang Ekonomi Indonesia Tahun 1962, Sebagian Besar
sebagai Penasihat Lembaga-lembaga Pemerintah Indonesia
|
KOMPAS,
11 April 2014
Pendapat Ahmad Erani Yustika (Kompas, 21/3/2014) sebenarnya mendukung dan memperluas argumen
kami pada tingkat yang mendasar: kunci untuk perbaikan kesejahteraan sebagian
besar masyarakat Indonesia adalah penciptaan lapangan kerja bermutu. Tetapi,
estimasi kami, bersama beberapa peneliti Indonesia, mengenai jumlah pekerjaan
yang dibutuhkan tidak setinggi perkiraan Profesor Yustika yang mengatakan
bahwa ”Kita butuh sekurangnya 70 juta
lapangan kerja yang bermutu (untuk memindahkan pekerja sektor informal,
penganggur, dan kelompok miskin).”
Dengan angkatan kerja pada 2013 yang berjumlah 118 juta,
penciptaan 70 juta lapangan kerja baru yang bermutu adalah target yang
ambisius. Pada 2013 sudah ada 45 juta lapangan pekerjaan formal di bidang
manufaktur, konstruksi, dan sebagainya (M
Purnagunawan, 2013). Lapangan pekerjaan di bidang-bidang tersebut tentu
saja dapat dianggap sebagai pekerjaan bermutu.
Beberapa pekerjaan yang tergolong informal juga pada umumnya
dapat dianggap bermutu, antara lain ahli komputer, pelukis ternama, dan
konsultan mandiri. Mereka semua termasuk kegiatan ekonomi informal.
Memindahkan 70 juta pekerja sisanya dari sektor tidak formal
bukanlah target yang realistis dalam 5-10 tahun ke depan, sesuai target waktu
yang kami tentukan dalam kertas kerja kami.
Kebutuhan yang mendesak dalam pandangan kami adalah 15 juta
lapangan kerja bermutu dalam lima tahun ke depan bagi pekerja berlebih (surplus worker) yang produktivitas dan
pendapatannya sangat rendah dan yang penghasilannya tidak pasti. Pekerja
berlebih meliputi:
Pertama, 6-8 juta pekerja di pertanian. Dari periode 1989/1991
hingga 1995/1997 jumlah pekerja di sektor pertanian turun sebesar 5 juta
karena mereka menemukan pekerjaan yang lebih baik di bidang manufaktur dan
sektor lainnya. Tetapi, karena krisis moneter 1997, alih-alih mengurangi,
sektor pertanian justru menambah pekerja. Para pekerja ini menjadi pekerja
berlebih bagi pertanian, turut serta dalam ”pembagian kerja dan pendapatan”
karena mereka tidak bisa menemukan pekerjaan yang lebih baik.
Kedua, tambahan pengangguran sejak tahun 1997 sebesar 1-3 juta.
Ketiga, tenaga kerja berlebih dalam pemerintahan, perdagangan,
dan jasa secara kasar dapat diperkirakan berjumlah 2,5 juta. Ada banyak bukti
kasus yang menunjukkan adanya kelebihan tenaga kerja dalam pemerintahan.
Dengan berakhirnya lonjakan harga-harga komoditas (commodity boom) jumlah pekerja jasa informal meningkat sebesar
2,6 juta. Sebagian besar peningkatan tersebut kemungkinan akibat dari
penyerapan tenaga kerja berlebih pada kegiatan-kegiatan yang bisa diramaikan
oleh pekerja tambahan.
Keempat, para pekerja migran diperkirakan telah meningkat sebesar
3-5 juta sejak tahun 1997. Banyak yang mungkin memilih pekerjaan manufaktur
di Indonesia daripada menjadi pekerja rumah tangga atau pekerjaan buruh
konstruksi di luar negeri.
Pertumbuhan dan lapangan kerja
Apakah kita perlu pertumbuhan untuk menciptakan lapangan kerja?
Gagasan Profesor Yustika adalah bahwa ”bukannya meningkatkan kesejahteraan, pertumbuhan justru menciptakan
banyak penyakit sosio-ekonomi kronis”. Dalam pandangannya, penciptaan
lapangan kerja itu baik, tetapi pertumbuhan itu buruk. Memiliki pertumbuhan
ekonomi tanpa penciptaan lapangan kerja di beberapa industri itu dimungkinkan
jika pertumbuhan adalah semata-mata untuk peningkatan harga-harga atau berupa
pertumbuhan padat modal dan sumber daya.
Dari ketiga alasan tersebut, ternyata pertumbuhan selama boom
komoditas hanya menciptakan sedikit lapangan kerja. Jumlah lapangan kerja
yang terbatas selama periode ini disebabkan oleh sumber pertumbuhan, bukan
karena pertumbuhan itu buruk bagi lapangan kerja sebagaimana disiratkan oleh Profesor
Yustika. Pertumbuhan di Tiongkok menghasilkan begitu banyak tambahan lapangan
kerja hingga sejumlah pemberi kerja saat ini tidak dapat mengisi semua
kekosongan pekerjaan.
Tidak mungkin menciptakan 15 juta pekerjaan bermutu dengan
pertumbuhan yang rendah. Perkiraan kami adalah bahwa peningkatan lapangan
kerja di bidang manufaktur sebesar 11,2 juta secara langsung dan tidak
langsung akan meningkatkan pendapatan nasional sebesar 11 persen selama lima
tahun.
Jadi pertumbuhan dan lapangan kerja berjalan beriringan (dan
tidak saling bertolak belakang).
Lapangan kerja, investasi, dan disparitas pendapatan
Penekanan dalam penelitian kami adalah pada pertumbuhan padat
karya. Tujuannya adalah untuk menciptakan permintaan tenaga kerja dan
terutama permintaan untuk tenaga kerja tidak terampil dan semi-terampil,
yaitu permintaan untuk tenaga kerja bagi 40 persen masyarakat termiskin.
Saat ini pemberi kerja di Indonesia membutuhkan 0,8 juta tenaga
kerja per tahun, tetapi jumlah angkatan kerja mencapai 2 juta. Ketika
permintaan meningkat kurang dari pasokan, harga tenaga kerja, yaitu upah,
biasanya turun. Itulah mengapa upah riil pekerja pertanian turun.
Upah untuk pekerja industri, didorong oleh upah minimum dan
tekanan serikat pekerja, meningkat. Namun, dari 1997-2013 peningkatan
rata-rata tersebut hanya 2,4 persen per tahun karena ”pasokan cadangan pengangguran” yang siap untuk mengambil posisi
para pekerja menekan upah turun.
Jadi, tujuan kita adalah mendorong permintaan kerja meningkat
lebih cepat dari pasokan sehingga upah juga meningkat lebih cepat. Dengan
demikian akan lebih banyak anggota keluarga memiliki pekerjaan bermutu dan
daya tawar pekerja pun akan meningkat.
Pertumbuhan yang mendorong penciptaan lapangan kerja adalah
pertumbuhan yang lebih tinggi dan pertumbuhan yang lebih adil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar