Optimisme
Mata Terbuka
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan
dan Kenegaraan
|
KOMPAS,
11 April 2014
Mestinya PDI-P menyambut hasil pemilihan umum legislatif yang
baru berlalu dengan bergairah. Perolehan 19-20 persen, menurut versi hitung
cepat, adalah suatu pencapaian yang berarti.
Publik sering lupa bahwa perolehan suara Partai Demokrat yang
disebut fenomenal dan penuh
”prasangka” pada Pemilu 2009 angkanya
cuma 20,85 persen. Artinya tak terpaut jauh dari perolehan PDI-P pada pemilu
kali ini dengan tambahan bonus bebas prasangka ”kecurangan”.
Yang membuatnya kurang bersemangat adalah optimisme berlebihan
sejumlah prediksi pandit politik dan lembaga survei yang tidak berjejak di
bumi. Sejak pemilu Indonesia menganut sistem proporsional terbuka, nyaris
mustahil sebuah partai politik bisa memperoleh suara pada level tiga digit sejauh jumlah
partai peserta pemilu masih lebih dari lima kontestan.
Tidak linear
Dengan sistem proporsional terbuka, pertarungan yang berlangsung
bukan hanya antarpartai, melainkan juga antarkandidat legislator. Pada pemilu
kali ini, ada sekitar 6.600 kandidat DPR pusat yang bertarung memperebutkan
setiap jengkal wilayah bukan hanya demi panji kebesaran partainya, melainkan
juga bagi harga dirinya sendiri. Dengan demikian, efek ketokohan pada pusat
keagenan citra partai memang ada pengaruhnya, tetapi tidak bersifat linear.
Masih bergantung pada kerapatan identifikasi tokoh dengan partainya serta
pada kemampuan dan persaingan para kandidat legislator sebagai ritel politik
di akar rumput.
Partai Gerindra lebih berhasil mengonversikan ketokohan Prabowo
Subianto menjadi kekuatan pendulang suara pileg karena proses identifikasi
antara Prabowo dan Partai Gerindra telah berlangsung lama. Partai Gerindra
nyaris identik dengan Prabowo. Bahkan, sejak lama, reklame partai ini, yang
tersebar di segala penjuru negeri, menyatakan, ”Gerindra Menang, Prabowo Presiden”. Boleh dibilang proses
konversi ketokohan Prabowo sebagai kekuatan elektoral hampir mencapai titik
optimumnya. Apabila berhasil maju dalam pemilihan presiden, tantangannya
untuk merengkuh pemilih tambahan lebih berat karena tidak banyak lagi
cadangan daya tariknya sendiri yang masih bisa dieksploitasi. Dengan demikian,
faktor pendampingnya sangat krusial untuk bisa memperluas segmen pemilih.
Pencapaian penting Partai Kebangkitan Bangsa juga bisa
dijelaskan hampir sama. Partai ini berhasil merebut kembali konstituennya dan
sedikit meluaskan segmen pemilih karena ”kecerdikan” mengeksploitasi kharisma
sejumlah tokoh (seperti Rhoma Irama, Mahfud MD, dan Jusuf Kalla) menjadi
kekuatan elektoral. Usaha ini dilakukan relatif lama sehingga cukup waktu
untuk memapankan tokoh-tokoh itu sebagai ikon partai. Faktor itu ditambah arus
masuk pengusaha yang membuat gizi partai ini sebagai energi politik lebih
baik daripada pemilu sebelumnya.
Berbeda dengan kedua partai tersebut, faktor ketokohan Joko
Widodo (Jokowi) di PDI-P belum berdampak banyak sebagai kekuatan elektoral.
Alasannya, karena proses identifikasi antara PDI-P dan Jokowi masih relatif
baru. Untuk waktu yang lama, partai ini lebih identik dengan Megawati
Soekarnoputri. Selain itu, pencalonan Jokowi sebagai calon presiden dari
partai ini juga hanya beberapa pekan sebelum kampanye terbuka. Harus diingat pula, sebagai partai yang sudah mapan tentu telah
menancapkan stigmanya tersendiri dalam perspektif publik pemilih.
Dengan kata lain, mengubah citra untuk meraih massa mengambang
bagi partai yang sudah mapan jauh lebih sulit daripada partai baru. Tambahan,
tendensi overestimasi dari komentator politik dan lembaga survei terhadap
kekuatan elektoral Jokowi juga membangunkan partai-partai lain yang merasa
terancam. Hal ini mendorong partai-partai papan tengah lebih gigih bergelut
dan ”menghasut” akar rumput yang
secara kumulatif berhasil menaikkan tingkat partisipasi pemilih.
Meski hasilnya tak seperti diharapkan, dengan optimisme ”mata terbuka”—tidak percaya
berlebihan sehingga menutup mata dari berbagai kelemahan—PDI-P masih menyimpan
cadangan amunisi yang cukup tebal untuk pemilihan umum presiden (pilpres).
Ketokohan Jokowi yang belum dieksploitasi secara optimal pada pileg bisa
dikonversikan menjadi kekuatan elektoral pada pilpres. Caranya dengan
menempatkan Jokowi pada pusat pencitraan partai terbebas dari kesan
bayang-bayang tokoh partai lainnya.
Untuk mencairkan stigma dalam rangka memperluas segmen
pemilih, partai ini juga harus memasukkan warna-aliran lain ke dalam bangunan
kerja sama politik (”koalisi”). Kerangka ”koalisi” dalam mengusung Jokowi
sebagai calon presiden paling tidak harus memasukkan satu partai berbasis
Islam di dalamnya. Dalam kaitan ini, faktor pemilihan calon wakil presiden
menjadi sangat penting.
Di luar persoalan kemenangan, demi kerukunan negeri dan stabilitas politik, kita membayangkan setiap bangunan ”koalisi” dalam mengusung calon presiden dan wakil presiden nanti
akan menyertakan aliran-aliran politik yang berbeda di dalamnya.
Aliran-aliran politik yang berbeda ini tentu saja harus dipilih dalam
kerangka platform dan spirit pembangunan yang relatif sama. Dengan demikian,
pemerintahan yang muncul akan dapat mengawinkan dua sayap tujuan bernegara: memperjuangan negara
kekeluargaan dan negara kesejahteraan.
Pelajaran berharga
Pemilu kali ini memberikan pelajaran banyak bagi perkembangan
demokrasi di Indonesia. Pertama, sejumlah besar pemilih di Indonesia cukup
rasional untuk bisa menghukum partai-partai yang dianggap tidak memenuhi
janjinya. Dengan demikian, salah satu tujuan pemilu telah tercapai.
Kedua, tidak ada partai yang sangat dominan yang bisa memaksakan
kehendak. Dengan demikian, proses negosiasi dan kerja sama sebagai prasyarat
demokrasi menemukan pijakannya.
Ketiga, ada batas rasional dari politik pencitraan. Gencarnya
iklan politik dan terpaan media masih bisa dinetralisasi oleh nalar
kepercayaan publik pada tokoh dan partai. Keempat, ada batas rasional dari
serangan berbasis SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Pengaruhnya
masih ada, tetapi bisa dinetralisasi oleh sikap inklusif aktor politik dan
rekam jejaknya dalam melayani kepentingan umum secara berkeadilan.
Pemilu legislatif kali ini relatif lancar dan damai. Semoga
situasi ini terus terjaga hingga pilpres usai. Betapapun sengitnya
persaingan, kemenangan sejati adalah kemenangan bangsa seluruhnya. Politik
tak menghalalkan segala cara demi kepentingan perorangan dan golongan
tertentu dengan mengorbankan kebaikan dan kebahagiaan hidup bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar