Jumat, 11 April 2014

Mobil Mewah, Smartphone, dan Pajak

Mobil Mewah, Smartphone, dan Pajak

Chandra Budi  ;   Bekerja di Ditjen Pajak, Penulis buku Urus Pajak Itu Sangat Mudah
JAWA POS, 11 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
DALAM waktu dekat, Presiden SBY menerbitkan peraturan pemerintah (PP) tentang kenaikan tarif pajak penjualan barang mewah (PPnBM) bagi mobil mewah. Bahkan, Menteri Keuangan Chatib Basri mengamini bahwa PP tersebut sudah berada di meja presiden dan tinggal menunggu proses administrasi di Kementerian Hukum dan HAM sebelum dirilis. Dalam PP tersebut, rencananya tarif mobil mewah dinaikkan menjadi 125 persen dari sebelumnya 75 persen. Sebelumnya, Menteri Perindustrian M.S. Hidayat menengarai, ada sekitar 7 ribu mobil mewah impor berkapasitas 3.000 cc yang akan terkena kenaikan tarif tersebut.

Sementara itu, polemik rencana Kementerian Keuangan mengenakan PPnBM 20 persen untuk produk telepon pintar (smartphone) mulai menemukan titik terang. Setelah rencana tersebut ditolak mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, saat ini Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian justru mendesak agar semua produk telepon seluler dikenai PPnBM dengan maksud memberikan kesempatan bagi industri dalam negeri untuk semakin berkembang. Secara makro, pengenaan pajak atas produk impor bertujuan menekan impor agar defisit neraca perdagangan bisa dikendalikan.

Mobil Mewah

Selain berfungsi budgetair, pajak bisa berfungsi reguleren. Karena itu, sah-sah saja bila kenaikan PPnBM untuk mobil mewah ditujukan menekan impor. Untuk menguji keefektifan kebijakan tersebut, memang perlu waktu. Tetapi, sinyal itu tentu akan ber­dampak terhadap penerimaan pajak. Padahal, saat ini Ditjen Pajak masih berupaya maksimal untuk menambah potensi penerimaan pajak baru dan tidak malah menambah potensi kehilangan pajak yang sudah ada (potential loss).

Pertama perlu dianalisis adalah berapa besar kontribusi PPnBM terhadap penerimaan pajak saat ini. Dengan melihat pengaruhnya tersebut, ditambah informasi jenis barang mewah apa saja yang paling dominan berkontribusi terhadap penerimaan PPnBM, bisa diprediksi efek kebijakan kenaikan tarif PPnBM mobil mewah tersebut terhadap penerimaan pajak secara keseluruhan.

Selama empat tahun terakhir, penerimaan PPnBM, termasuk PPnBM dalam negeri dan PPnBM impor, terus meningkat. Kalau pada 2010 berkisar Rp 12 triliun, pada 2013 naik Rp 7 triliun atau menembus Rp 19 triliun. Demikian juga kontribusi PPnBM terhadap total penerimaan pajak yang semakin meningkat tiap tahun. Pada 2011, kontribusinya mencapai 1,8 persen. Kemudian, naik menjadi 2,3 persen dan pada 2013 mencapai 2,9 persen. Artinya, penerimaan PPnBM semakin berperan dalam penerimaan pajak saat ini.

Ternyata, kenaikan penerimaan PPnBM cukup signifikan dalam tiga tahun terakhir karena ditopang pertumbuhan penjualan mobil yang juga tinggi. Sebab, komponen utama penerimaan PPnBM, sekitar 86 persennya, berasal dari PPnBM mobil mewah. Pada 2012, penjualan kendaraan mobil di Indonesia mampu menembus 1,1 juta unit.

Diperkirakan, berdasar data Gaikindo (2013), tren penjualan mobil pada 2013 masih cukup baik, walaupun pertumbuhannya tidak sebesar pada 2012. Dari jumlah tersebut, sekitar 1 persennya berasal dari penjualan mobil mewah. Dengan kata lain, penjualan mobil mewah hanya sekitar 10 ribu unit setiap tahun. Atau, kalau merujuk data Kementerian Perindustrian, ada sekitar tujuh ribu unit untuk kapasitas 3.000 cc.

Artinya, sampai saat ini, kontribusi penerimaan PPnBM mobil mewah sangat kecil terhadap total penerimaan pajak.

Smartphone

Polemik pengenaan PPnBM untuk produk smartphone sebenarnya bisa diselesaikan bila semua pihak terkait merujuk definisi barang mewah menurut UU PPN dan PPnBM. Barang mewah didefiniskan sebagai barang yang bukan barang kebutuhan pokok dan dikonsumsi masyarakat tertentu, umumnya dikonsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi dan/atau dikonsumsi untuk menunjukkan status seseorang.

Tampaknya, kriteria yang dimaksud itu sudah pas menempatkan hanya smartphone, bukan semua telepon seluler, sebagai barang mewah. Sebab, smartphone bukanlah barang kebutuhan pokok dan hanya dikonsumsi masyarakat tertentu.

Karena sumbangan penerimaan PPnBM dari smartphone masih kecil terhadap total penerimaan pajak selama ini, dampaknya tidak akan signifikan terhadap fluktuasi total penerimaan pajak. Yang justru harus diantisipasi, bila PPnBM dikenakan untuk seluruh produk telepon seluler -seperti yang diwacanakan Menteri Perdagangan M. Luthfi-, pengaruhnya akan lebih besar terhadap penerimaan pajak. Sebab, secara otomatis hal itu akan mengubah perilaku konsumen, menjadi menunda atau membatalkan pembelian telepon seluler baru. Akibatnya, pasar menjadi lesu dan berujung menurunnya laba pelaku usaha sektor tersebut. Selain itu, kebijakan tersebut justru akan mendorong konsumen resmi beralih menjadi konsumen pasar gelap (black market).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar