Mobil
Mewah, Smartphone, dan Pajak
Chandra Budi ; Bekerja di Ditjen
Pajak, Penulis buku Urus Pajak Itu Sangat Mudah
|
JAWA
POS, 11 April 2014
DALAM
waktu dekat, Presiden SBY menerbitkan peraturan pemerintah (PP) tentang
kenaikan tarif pajak penjualan barang mewah (PPnBM) bagi mobil mewah. Bahkan,
Menteri Keuangan Chatib Basri mengamini bahwa PP tersebut sudah berada di
meja presiden dan tinggal menunggu proses administrasi di Kementerian Hukum
dan HAM sebelum dirilis. Dalam PP tersebut, rencananya tarif mobil mewah
dinaikkan menjadi 125 persen dari sebelumnya 75 persen. Sebelumnya, Menteri
Perindustrian M.S. Hidayat menengarai, ada sekitar 7 ribu mobil mewah impor
berkapasitas 3.000 cc yang akan terkena kenaikan tarif tersebut.
Sementara
itu, polemik rencana Kementerian Keuangan mengenakan PPnBM 20 persen untuk
produk telepon pintar (smartphone)
mulai menemukan titik terang. Setelah rencana tersebut ditolak mantan Menteri
Perdagangan Gita Wirjawan, saat ini Kementerian Perdagangan dan Kementerian
Perindustrian justru mendesak agar semua produk telepon seluler dikenai PPnBM
dengan maksud memberikan kesempatan bagi industri dalam negeri untuk semakin
berkembang. Secara makro, pengenaan pajak atas produk impor bertujuan menekan
impor agar defisit neraca perdagangan bisa dikendalikan.
Mobil Mewah
Selain
berfungsi budgetair, pajak bisa berfungsi reguleren. Karena itu, sah-sah saja
bila kenaikan PPnBM untuk mobil mewah ditujukan menekan impor. Untuk menguji
keefektifan kebijakan tersebut, memang perlu waktu. Tetapi, sinyal itu tentu
akan berdampak terhadap penerimaan pajak. Padahal, saat ini Ditjen Pajak
masih berupaya maksimal untuk menambah potensi penerimaan pajak baru dan
tidak malah menambah potensi kehilangan pajak yang sudah ada (potential loss).
Pertama
perlu dianalisis adalah berapa besar kontribusi PPnBM terhadap penerimaan
pajak saat ini. Dengan melihat pengaruhnya tersebut, ditambah informasi jenis
barang mewah apa saja yang paling dominan berkontribusi terhadap penerimaan
PPnBM, bisa diprediksi efek kebijakan kenaikan tarif PPnBM mobil mewah
tersebut terhadap penerimaan pajak secara keseluruhan.
Selama
empat tahun terakhir, penerimaan PPnBM, termasuk PPnBM dalam negeri dan PPnBM
impor, terus meningkat. Kalau pada 2010 berkisar Rp 12 triliun, pada 2013
naik Rp 7 triliun atau menembus Rp 19 triliun. Demikian juga kontribusi PPnBM
terhadap total penerimaan pajak yang semakin meningkat tiap tahun. Pada 2011,
kontribusinya mencapai 1,8 persen. Kemudian, naik menjadi 2,3 persen dan pada
2013 mencapai 2,9 persen. Artinya, penerimaan PPnBM semakin berperan dalam
penerimaan pajak saat ini.
Ternyata,
kenaikan penerimaan PPnBM cukup signifikan dalam tiga tahun terakhir karena
ditopang pertumbuhan penjualan mobil yang juga tinggi. Sebab, komponen utama
penerimaan PPnBM, sekitar 86 persennya, berasal dari PPnBM mobil mewah. Pada
2012, penjualan kendaraan mobil di Indonesia mampu menembus 1,1 juta unit.
Diperkirakan,
berdasar data Gaikindo (2013), tren penjualan mobil pada 2013 masih cukup
baik, walaupun pertumbuhannya tidak sebesar pada 2012. Dari jumlah tersebut,
sekitar 1 persennya berasal dari penjualan mobil mewah. Dengan kata lain,
penjualan mobil mewah hanya sekitar 10 ribu unit setiap tahun. Atau, kalau
merujuk data Kementerian Perindustrian, ada sekitar tujuh ribu unit untuk
kapasitas 3.000 cc.
Artinya,
sampai saat ini, kontribusi penerimaan PPnBM mobil mewah sangat kecil
terhadap total penerimaan pajak.
Smartphone
Polemik
pengenaan PPnBM untuk produk smartphone sebenarnya bisa diselesaikan bila
semua pihak terkait merujuk definisi barang mewah menurut UU PPN dan PPnBM.
Barang mewah didefiniskan sebagai barang yang bukan barang kebutuhan pokok
dan dikonsumsi masyarakat tertentu, umumnya dikonsumsi masyarakat
berpenghasilan tinggi dan/atau dikonsumsi untuk menunjukkan status seseorang.
Tampaknya,
kriteria yang dimaksud itu sudah pas menempatkan hanya smartphone, bukan
semua telepon seluler, sebagai barang mewah. Sebab, smartphone bukanlah
barang kebutuhan pokok dan hanya dikonsumsi masyarakat tertentu.
Karena
sumbangan penerimaan PPnBM dari smartphone masih kecil terhadap total
penerimaan pajak selama ini, dampaknya tidak akan signifikan terhadap
fluktuasi total penerimaan pajak. Yang justru harus diantisipasi, bila PPnBM
dikenakan untuk seluruh produk telepon seluler -seperti yang diwacanakan
Menteri Perdagangan M. Luthfi-, pengaruhnya akan lebih besar terhadap
penerimaan pajak. Sebab, secara otomatis hal itu akan mengubah perilaku
konsumen, menjadi menunda atau membatalkan pembelian telepon seluler baru.
Akibatnya, pasar menjadi lesu dan berujung menurunnya laba pelaku usaha
sektor tersebut. Selain itu, kebijakan tersebut justru akan mendorong
konsumen resmi beralih menjadi konsumen pasar gelap (black market). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar