Agenda
Perempuan Atasi Kekerasan
Yulia Kusumaningrum ;
Pemerhati Masalah Sosial dan Praktisi
Produk Kerajinan
|
KORAN
JAKARTA, 21 April 2014
Hari
Kartini yang diperingati setiap 21 April diharapkan menjadi momentum
meningkatkan martabat kaum perempuan. Kondisi wanita Indonesia, hingga kini,
masih memprihatinkan, baik dari segi pendidikan, kehidupan sosial, politik,
maupun dalam kesehatan di tempat kerja.
Perempuan
Indonesia sebaiknya menentukan agenda aksi bersama. Agenda tersebut harus
relevan dengan kondisi aktual wanita yang tengah dirundung berbagai persoalan
krusial. Agenda aksi diharapkan mampu memberi solusi terkait banyaknya
persoalan perempuan yang mengalami tindak kekerasan, pelecehan, dan
diskriminasi. Kondisi yang menyedihkan itu mendorong pentingnya mengaktifkan
gerakan bersama untuk menangani kekerasan terhadap perempuan negeri ini.
Ada sebuah catatan, angka kekerasan terhadap
perempuan di negeri ini menunjukkan tren meningkat. Dalam lima tahun
terakhir, kekerasan naik hampir tujuh kali. Sebagai catatan, kasus-kasus
kekerasan tersebut terjadi di ranah rumah tangga. Angka kekerasan semakin
membengkak ketika jumlah korban terhadap buruh migran perempuan ikut dijumlahkan.
Dari
data yang dihimpun Migran Care, selama tahun 2012, sedikitnya 908 buruh
meninggal dan divonis mati. Khusus di Saudi Arabia, dari 5.500 buruh migran
di sana, mayoritas bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Dari jumlah
tersebut, 20 persen dianiaya, 65 persen sakit karena kondisi kerja, dan 15
persen diperkosa.
Karena
itu, perlu komitmen maksimal dari penyelenggara negara untuk memperbaiki tata
kelola, proses penempatan, dan perlindungan buruh migran. Konkretnya, mereka
harus bisa memperbaiki sistem penempatan dan perlindungan buruh migran, mulai
dari rekrutmen sampai pemulangan.
Selain
itu, perlu mempertajam peran dan kewajiban perusahaan pengerah (PPTKI) yang
selama ini tidak jarang menipu dan mengelabui hak-hak buruh migran. Di masa mendatang,
kasus tersebut harus mudah dipidanakan sebagai perdagangan manusia sehingga
para pengelola PPTKI tidak bisa sewenang-wenang lagi.
Di
antara jenis kekerasan terhadap perempuan, kasus seksual merupakan yang
paling rumit dalam peta derita perempuan. Betapa sulitnya mengurai simpul
akar permasalahan dan memecah kebisuan para perempuan korban kasus kekerasan
seksual. Dalam potret nasional, kekerasan seksual selalu menduduki porsi
terbesar dari bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Kasus
seksual telah menjadi puncak dari berbagai kekerasan lain yang dialami
wanita, yang korbannya juga mengalami tekanan fisik dan psikologis. Dalam
berbagai kasus selalu diikuti trauma. Akibatnya, sebagian besar korban
memilih bungkam. Banyak yang malah mengingkari kasusnya.
Ironisnya,
justru banyak korban mempersalahkan diri sendiri. Korban juga enggan
melaporkan kepada penegak hukum karena tingkat kepercayaan terhadap otoritas
hukum sangat rendah. Selain itu, korban yang mau bersusah payah melaporkan
kasusnya belum tentu memperoleh keadilan.
Sistem
hukum di negeri ini masih bias gender. Sampai-sampai, definisi tindak
kekerasan seksual menjadi sempit. Sebagai contoh, perkosaan sering
dicampuradukkan dengan persoalan moralitas. Ini jelas menyulitkan korban
untuk membuktikan. Kondisinya diperparah lagi sikap penegak hukum yang tidak
mau repot-repot mendengarkan dan mengurai kronologis kasus.
Peringatan
Hari Kartini 2014 sebaiknya menjadi waktu mewujudkan konstruksi hukum yang
mampu menjamin keadilan dan melahirkan perspektif bahwa kekerasan seksual
adalah pelanggaran hak asasi manusia yang serius, bukan sekadar susila.
Target
agenda aksi harus mengarah pada revisi KUHP, KUHAP, dan RUU Kekerasan Seksual
yang pada saat ini telah masuk Program Legislasi Nasional.
Hari
Kartini merupakan saat yang tepat untuk meningkatkan martabat kaum hawa.
Masih banyak yang pantas dijadikan teladan karena jasa dan perjuanganya untuk
meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan bangsa.
Masih
banyak wanita yang berusaha keras menghalau krisis dengan caranya
masing-masing. Ironisnya, kaum yang menggenjot mencari penghidupan ke
mancanegara justru tidak dilindungi secara konkret dari penyelenggara negara
yang nota bene didominasi kaum pria.
Usaha
kaum ibu untuk menyejahterakan keluarga masih menghadapi banyak kendala.
Mereka masih didiskriminasi, peraturan banyak mengekang. Hari Kartini harus
dimaknai dengan mencari solusi berbagai persoalan krusial perempuan
Indonesia.
Kinerja
Kementerian Pemberdayaan Wanita masih jauh dari harapan. Padahal, perempuan
Indonesia tengah dikepung berbagai persoalan, seperti kemiskinan dan derasnya
bujuk rayu konsumerisme.
Berbagai
peraturan membelenggu dan diskriminatif terhadap kaum perempuan. Semestinya,
Kementerian Perberdayaan Wanita berjuang keras mengeliminasi
belenggu-belenggu itu. Mereka juga harus memantau bergesernya nilai-nilai
perempuan agar tidak semakin menimbulkan patologi sosial.
Relevansi
Hari Kartini, saat ini, harus bisa mendorong bangsa menata dan meningkatkan
martabat kaum hawa lewat pendidikan ketenagakerjaan. Pendidikan yang baik
bagi perempuan sama dengan menata masa depan lebih cerah.
Kondisi
perempuan masih terpuruk, baik dari segi pendidikan, kehidupan sosial, maupun
politik. Bangsa harus malu dan introspeksi diri atas laporan United Nation Educational, Scientific, and
Cultural Organization (UNESCO). Organisasi itu membeberkan bahwa
Indonesia baru menduduki peringkat 71 dari 129 negara yang disurvei.
Dalam
laporan berjudul "Education for
All (EFA) Global Monitoring Report" itu, UNESCO pada dasarnya
menyoroti kesempatan bagi perempuan untuk menikmati pendidikan.
Selama
lima tahun terakhir, data menunjukkan bahwa tingkat partisipasi perempuan
Indonesia dalam pendidikan justru menurun, masih banyak yang putus. Laporan
UNESCO bisa dijadikan indikator bahwa kondisi kaum perempuan sungguh masih
memprihatinkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar