Selasa, 22 April 2014

Agenda Perempuan Atasi Kekerasan

Agenda Perempuan Atasi Kekerasan

Yulia Kusumaningrum  ;   Pemerhati Masalah Sosial dan Praktisi Produk Kerajinan
KORAN JAKARTA, 21 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Hari Kartini yang diperingati setiap 21 April diharapkan menjadi momentum meningkatkan martabat kaum perempuan. Kondisi wanita Indonesia, hingga kini, masih memprihatinkan, baik dari segi pendidikan, kehidupan sosial, politik, maupun dalam kesehatan di tempat kerja.

Perempuan Indonesia sebaiknya menentukan agenda aksi bersama. Agenda tersebut harus relevan dengan kondisi aktual wanita yang tengah dirundung berbagai persoalan krusial. Agenda aksi diharapkan mampu memberi solusi terkait banyaknya persoalan perempuan yang mengalami tindak kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi. Kondisi yang menyedihkan itu mendorong pentingnya mengaktifkan gerakan bersama untuk menangani kekerasan terhadap perempuan negeri ini.

 Ada sebuah catatan, angka kekerasan terhadap perempuan di negeri ini menunjukkan tren meningkat. Dalam lima tahun terakhir, kekerasan naik hampir tujuh kali. Sebagai catatan, kasus-kasus kekerasan tersebut terjadi di ranah rumah tangga. Angka kekerasan semakin membengkak ketika jumlah korban terhadap buruh migran perempuan ikut dijumlahkan.

Dari data yang dihimpun Migran Care, selama tahun 2012, sedikitnya 908 buruh meninggal dan divonis mati. Khusus di Saudi Arabia, dari 5.500 buruh migran di sana, mayoritas bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Dari jumlah tersebut, 20 persen dianiaya, 65 persen sakit karena kondisi kerja, dan 15 persen diperkosa.

Karena itu, perlu komitmen maksimal dari penyelenggara negara untuk memperbaiki tata kelola, proses penempatan, dan perlindungan buruh migran. Konkretnya, mereka harus bisa memperbaiki sistem penempatan dan perlindungan buruh migran, mulai dari rekrutmen sampai pemulangan.

Selain itu, perlu mempertajam peran dan kewajiban perusahaan pengerah (PPTKI) yang selama ini tidak jarang menipu dan mengelabui hak-hak buruh migran. Di masa mendatang, kasus tersebut harus mudah dipidanakan sebagai perdagangan manusia sehingga para pengelola PPTKI tidak bisa sewenang-wenang lagi.

Di antara jenis kekerasan terhadap perempuan, kasus seksual merupakan yang paling rumit dalam peta derita perempuan. Betapa sulitnya mengurai simpul akar permasalahan dan memecah kebisuan para perempuan korban kasus kekerasan seksual. Dalam potret nasional, kekerasan seksual selalu menduduki porsi terbesar dari bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Kasus seksual telah menjadi puncak dari berbagai kekerasan lain yang dialami wanita, yang korbannya juga mengalami tekanan fisik dan psikologis. Dalam berbagai kasus selalu diikuti trauma. Akibatnya, sebagian besar korban memilih bungkam. Banyak yang malah mengingkari kasusnya.

Ironisnya, justru banyak korban mempersalahkan diri sendiri. Korban juga enggan melaporkan kepada penegak hukum karena tingkat kepercayaan terhadap otoritas hukum sangat rendah. Selain itu, korban yang mau bersusah payah melaporkan kasusnya belum tentu memperoleh keadilan.

Sistem hukum di negeri ini masih bias gender. Sampai-sampai, definisi tindak kekerasan seksual menjadi sempit. Sebagai contoh, perkosaan sering dicampuradukkan dengan persoalan moralitas. Ini jelas menyulitkan korban untuk membuktikan. Kondisinya diperparah lagi sikap penegak hukum yang tidak mau repot-repot mendengarkan dan mengurai kronologis kasus.

Peringatan Hari Kartini 2014 sebaiknya menjadi waktu mewujudkan konstruksi hukum yang mampu menjamin keadilan dan melahirkan perspektif bahwa kekerasan seksual adalah pelanggaran hak asasi manusia yang serius, bukan sekadar susila.

Target agenda aksi harus mengarah pada revisi KUHP, KUHAP, dan RUU Kekerasan Seksual yang pada saat ini telah masuk Program Legislasi Nasional.

Hari Kartini merupakan saat yang tepat untuk meningkatkan martabat kaum hawa. Masih banyak yang pantas dijadikan teladan karena jasa dan perjuanganya untuk meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

Masih banyak wanita yang berusaha keras menghalau krisis dengan caranya masing-masing. Ironisnya, kaum yang menggenjot mencari penghidupan ke mancanegara justru tidak dilindungi secara konkret dari penyelenggara negara yang nota bene didominasi kaum pria.
Usaha kaum ibu untuk menyejahterakan keluarga masih menghadapi banyak kendala. Mereka masih didiskriminasi, peraturan banyak mengekang. Hari Kartini harus dimaknai dengan mencari solusi berbagai persoalan krusial perempuan Indonesia.

Kinerja Kementerian Pemberdayaan Wanita masih jauh dari harapan. Padahal, perempuan Indonesia tengah dikepung berbagai persoalan, seperti kemiskinan dan derasnya bujuk rayu konsumerisme.

Berbagai peraturan membelenggu dan diskriminatif terhadap kaum perempuan. Semestinya, Kementerian Perberdayaan Wanita berjuang keras mengeliminasi belenggu-belenggu itu. Mereka juga harus memantau bergesernya nilai-nilai perempuan agar tidak semakin menimbulkan patologi sosial.

Relevansi Hari Kartini, saat ini, harus bisa mendorong bangsa menata dan meningkatkan martabat kaum hawa lewat pendidikan ketenagakerjaan. Pendidikan yang baik bagi perempuan sama dengan menata masa depan lebih cerah.

Kondisi perempuan masih terpuruk, baik dari segi pendidikan, kehidupan sosial, maupun politik. Bangsa harus malu dan introspeksi diri atas laporan United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Organisasi itu membeberkan bahwa Indonesia baru menduduki peringkat 71 dari 129 negara yang disurvei.

Dalam laporan berjudul "Education for All (EFA) Global Monitoring Report" itu, UNESCO pada dasarnya menyoroti kesempatan bagi perempuan untuk menikmati pendidikan.

Selama lima tahun terakhir, data menunjukkan bahwa tingkat partisipasi perempuan Indonesia dalam pendidikan justru menurun, masih banyak yang putus. Laporan UNESCO bisa dijadikan indikator bahwa kondisi kaum perempuan sungguh masih memprihatinkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar