Kontrak,
Baiat, Nyoblos
Azis Anwar Fachrudin ; Penulis
|
TEMPO.CO,
10 April 2014
Pada
mulanya, manusia adalah bebas. Manusia, dalam kondisi alami-prapolitik, ialah
merdeka mutlak. Dalam kondisi ini, kita punya (1) ide Hobbes yang bilang
manusia itu berhawa nafsu dan, karena itu, memangsa satu sama lain; dan (2)
ide Locke yang bilang manusia itu berakal dan, karena itu, cenderung mencari
damai. Tapi, di luar perbedaan itu, keduanya sepakat bahwa manusia adalah
bebas secara alami karena tak memiliki otoritas politis dari dan terhadap
orang lain.
Manusia
kemudian menanggalkan sebagian kebebasannya saat ia memasuki keadaan politis:
menjadi anggota masyarakat. Karena itu, otoritas politis yang sah ialah dia
yang mendapat pelimpahan hak dari anggota masyarakatnya. Mekanismenya
dilakukan dengan konsesi, kesepakatan, atau-istilah Rousseau, inspirator
Revolusi Prancis itu-kontrak sosial. Inilah benih demokrasi (konteks zaman
Rousseau: gerakan Revolusi Prancis menumbangkan monarki [monarque]; kekuasaan
yang terlimpahkan dari Tuhan, bukan kesepakatan rakyat).
Saya
menemukan spirit kontrak sosial itu, dalam idenya yang purba, justru di
mekanisme "baiat" ala tribalisme Arab-dan mungkin juga di komunitas
nomadisme-kesukuan di kawasan lain-yang ada jauh sebelum Revolusi Prancis
muncul.
Ada
mekanisme antarsuku, agar damai atau terlindungi dari gangguan suku
lain, suku yang lemah
berpakta-beraliansi (tahaluf)
dengan suku yang kuat. Sebagai imbalan perlindungan itu, ada oase atau hasil
perburuan yang dijadikan upeti. Nabi Muhammad dulu, setelah Madinah kuat,
juga menerima baiat-baiat dari suku-suku di seputar Jazirah Arab.
Baiat
adalah mekanisme pelimpahan otoritas itu. Kontrak sosialnya jelas: mana
wilayah hak yang didapat dan mana kewajiban yang mesti dibayarkan. Mereka,
para suku itu, manusia bebas yang hidup dengan sistem politik yang sederhana,
dan tak sekompleks-kalau bukan seruwet-demokrasi kita hari ini, di negeri
ini.
Demokrasi
kita, secara prosedural, dirayakan dengan pemilu. Tak seperti baiat yang
jelas siapa yang berbaiat dan apa kontraknya, saat nyoblos kita sedikit
kenal, atau malah tak kenal sama sekali, dengan caleg yang dicoblos. Di sini
orang yang baik, yang berusaha memilih dengan nurani, pun rawan tertipu.
Bagaimana memilih dengan nurani kalau tak kenal yang dicoblosnya?
Kontraknya
pun tak jelas. Sebab, ideologi partai-partai kita berubah-ubah dan sebagian
tak jelas jenis kelaminnya. Itu baru partai, belum perilaku calegnya yang
semakin menambah keburaman "baiat" macam apa yang hendak diberikan.
Pada
kenyataannya, setelah si caleg menjabat, kita tak bisa menuntut hak
"baiat" itu. Sebab, pemilu kita bebas tapi rahasia, sehingga si
caleg bisa berapologi dengan minimal satu dari dua hal: (1) dengan berkata, "Mana bukti kamu milih saya?";
atau (2) dengan berkata, "Ya, itu
salahmu memilih saya! Harusnya kamu pilih yang lain dong!"
Itu satu
kemungkinan. Kemungkinan lainnya, boleh jadi kontrak sosial dalam pemilu kita
memang sudah jelas, yakni saat masyarakat bersedia memilih caleg tertentu
karena si caleg telah sukses melangsungkan serangan fajar yang melebihi
jumlah "donasi" caleg
lainnya. Pemilu kita, bahkan setelah lebih dari satu dekade seusai reformasi,
masih ada yang di-kontrak-sosial-kan dengan uang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar