Cermati
Rekapitulasi Pemilu
Endah Sulistyowati ; Pemerhati Kinerja
Lembaga Negara
|
KORAN
JAKARTA, 10 April 2014
Rekapitulasi
atau penghitungan suara hasil pemilu legislatif harus dicermati karena masih
mengandung kerawanan, meskipun Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyiapkan
metode untuk mencegah kecurangan. Rekapitulasi dilakukan secara manual dan
elektronik.
Dua cara
tersebut masih mengandung kelemahan yang bisa dimanfaatkan berbuat
kecurangan. Pada pemilu lalu, berbagai modus kecurangan dalam rekapitulasi
manual bisa terjadi melalui manipulasi formulir C1 maupun dengan cara
berkomplot dengan oknum panitia pemungutan kecamatan (PPK) guna mengubah
perolehan suara caleg pesaing.
Apalagi
anggota PPK, selama ini, kebanyakan kaki-tangan pengurus parpol di tingkat
kecamatan. Selain itu, mereka mudah diintervensi camat dan kepala desa yang
notabene juga berasal dari unsur parpol. Banyak kasus jual-beli suara
dilakukan lewat kolusi antara Ketua TPS, PPK, dan caleg. Caranya dengan
mengganti berita acara yang tertuang dalam formulir C1.
Selain
itu, bisa lewat menyalahgunakan kertas suara yang tidak terpakai karena
faktor golput atau kertas suara cadangan yang jumlahnya tidak bisa terkontrol
dengan baik. Meskipun pada Pileg 2014 formulir C1 sudah menggunakan
pengamanan fisik berbentuk hologram, metode ini masih bisa dikelabui sebab
distribusi formulir C1 yang berhologram tersebut tidak terpola dengan baik.
Selain itu, masih banyak formulir C1 yang beredar setelah pencoblosan.
Meskipun
dari sisi aturan dan perundangan rekapitulasi elektronik pemilu hanya sebatas
pendukung, tetapi bisa menyebabkan keruwetan dan menyita waktu penyelenggara
pemilu. Kondisinya semakin runyam karena sistem rekapitulasi elektronik masih
amburadul.
Sekadar
catatan, pada Pemilu 2004 dan 2009 sistem rekapitulasi elektronik dan sistem
tabulasi data nasional serta lokal terbukti gagal. Sistem elektronik yang
menghabiskan dana besar itu juga sangat rawan diretas dan dimanipulasi.
Selain itu, di daerah juga terkendala teknis karena masih belum familiar
mengoperasikan perangkat dan aplikasi rekapitulasi elektronik.
Untuk
mengatasi modus tersebut KPU kini telah memperbaiki prosedur dan menyiapkan
perangkat elektronik untuk rekapitulasi dan pengiriman data atau gambar.
Utamanya untuk memindai (scaning)
fomulir C1 di tiap TPS lalu memberi kesempatan kepada khalayak mengambil
gambar tabulasi formulir C2 hasil penghitungan suara di TPS.
Proses rekapitulasi suara Pileg 2014 untuk
setiap calon anggota legislatif akan berlangsung alot dan rawan manipulasi.
Banyaknya jumlah saksi yang ikut menandatangani formulir rekapitulasi di
tingkat TPS bisa menyebabkan situasi bertele-tele.
Kondisi
bisa kian parah jika setiap caleg sesama parpol maupun antarparpol bergesekan
karena berebut menempatkan saksi, lalu saling klaim hak suara. Kalau sudah
begitu, sengketa harus segera diantisipasi dan dicarikan solusi secara
sistemik.
Celakanya,
mekanisme kontrol yang dilakukan KPUD masih lemah di tingkat TPS, PPK, hingga
PPD. Mekanisme kontrol berbasis teknologi informasi dengan cara memindai
formulir C1 format khusus untuk penghitungan elektronik (C1-IT) yang telah
ditandatangani secara lengkap di KPPS juga masih merepotkan dan
membingungkan.
Hal itu
terjadi pada Pemilu 2009. Pada saat itu terjadi kemacetan pengiriman ke
fasilitas input data penghitungan elektronik di KPUD Kabupaten/Kota.
Kemacetan terjadi berhari-hari sehingga penghitungan manual justru lebih
cepat.
Belum Teruji
Yang
juga mengkhawatirkan publik, sistem rekapitulasi elektronik tersebut hingga
kini belum teruji secara baik dan belum juga diaudit. KPU kurang menyadari
atau bisa jadi mengabaikan begitu saja potensi bahaya.
Apalagi,
berbagai kelemahan mendasar masih menempel pada teknologi pemindai jenis Intelligent Character Recognition
(ICR) yang hingga kini belum teratasi secara tuntas.
KPU
terlalu memaksakan diri dan menihilkan risiko kegagalan penerapan ICR.
Sungguh ironis, seharusnya sistem rekapitulasi elektronik bisa berfungsi
sebagai alat kontrol atau pengecekan silang. Namun kondisinya justru sarat
masalah dan mengandung kelemahan yang signifikan.
Belum
matangnya sistem input data suara pemilu dengan mesin pemindai berbasis ICR bisa
jadi akan memperkeruh situasi di lapangan. Mestinya tabulasi data tersebut
sekaligus merupakan hitung cepat hasil pemilu. Dengan adanya tabulasi data
hasil pileg untuk DPR, DPD, dan DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota maka
setiap caleg DPR bisa memonitor sekaligus melakukan pengecekan perolehan
suaranya di setiap TPS daerah pemilihannya.
Namun,
jangan sampai hitung cepat yang dijanjikan KPU justru molor terlalu lama
akibat kinerja yang buruk dari sistem penginputan data. Pengalaman buruk
sistem informasi Pemilu 2004 dan 2009 yang gagal menyajikan hitung cepat
jangan terulang.
Mesin
pemindai jenis ICR untuk menginput data pileg yang beranggaran lebih dari 50
miliar rupiah itu ternyata masih bermasalah. Selain problem sistem integrasi,
ternyata kecerdasan buatan mesin pemindai ICR juga belum bisa mengatasi
sepenuhnya masalah keanekaragaman bentuk tulisan tangan yang dibubuhkan pada
formulir C1-IT.
Bisa
jadi, mesin pemindai kesulitan membedakan bentuk antara angka satu dan tujuh,
dua dan tiga, empat dan sembilan, yang ditulis tangan banyak petugas. Jika
mesin pemindai ragu menghitung, diberlakukan prosedur verifikasi dan
validasi. Apalagi ada ketentuan baku yang menyatakan bahwa data input ICR,
untuk dapat dianggap benar, harus diperiksa serta divalidasi lebih dulu.
Sekadar
catatan, bagian kunci dokumen scanning adalah Optical Character Recognition (OCR) yang meliputi handwriting dan printed chraracter recognition. Dalam hal itu, objek teks dalam
dokumen akan dikonversi dari bit-mapped
image ke representasi teks seperti ASCII. Scanner memisahkan dokumen ke
dalam elemen gambar yang disebut pixels.
Kumpulan
pixel dari karakter alphanumeric
dibaca software OCR dan
diterjemahkan ke dalam karakter ASCII dengan tepat (atau ke dalam kode lain
yang dapat dibaca mesin). Ada dua metodologi atau pendekatan untuk menangkap
karakter atau huruf, yaitu template
matching dan topological analysis.
Template matching dikenal
sebagai pencocok huruf atau matriks. Karakter teks secara individu diproses
dengan dicocokkan agar berada dalam sistem penyimpanan template karakter. Hal ini membuat huruf dikenali sistem.
Sedangkan untuk topological analysis
menggunakan pattern recognition
atau feature extraction. Pattern recognition atau disebut juga extraction tidak menggunakan tamplete.
Fakta
menunjukkan terjadi kegagalan pada sistem rekapitulasi elektronik Pemilu 2004
dan 2009. Hal itu menyebabkan kegagalan fungsi sebagai sistem informasi dan
sarana hitung cepat serta pembanding hitungan manual.
Idealnya,
sistem rekapitulasi elektronik yang dibuat KPU lebih baik dan menarik
daripada penyelenggara hitung cepat (quick
count) Pileg 2014 yang dilakukan lembaga lain. Bahkan, kini sudah
beberapa lembaga penyelenggara hitung cepat yang menggunakan sistem
perhitungan berbasis Android. Tentunya dengan sistem tersebut publik bisa
mengakses secara mudah.
Selain
itu, aplikasi berbasis Android tersebut memudahkan para relawan mengirimkan
hasil penghitungan suara dari TPS dan bisa untuk mengirimkan berita audio,
video, dan teks. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar