Kembalikan
Irian pada Bangsa Indonesia
Asvi Warman Adam ; Sejarawan LIPI
|
TEMPO.CO,
10 April 2014
Tanggal
1 Desember 1961, 70 figur politik Papua mengibarkan bendera Bintang Kejora (disebut juga Bintang Fajar, Sampari, atau The Morning Star) bersanding dengan
bendera Belanda Merah-Putih-Biru. Para elite Papua pengikut Belanda itu juga
menyepakati nama Papua Barat untuk bangsa mereka, lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua, lambang negara "Burung Mambruk" dan
semboyan "Satu Rakyat, Satu Jiwa
(One People, One Soul)".
Peristiwa
ini dipandang pemerintah Indonesia sebagai percobaan membuat negara boneka
Papua oleh pihak Belanda. Nieuw Guinea memang termasuk bagian Hindia-Belanda,
yang status wilayahnya belum selesai dengan Konferensi Meja Bundar pada 1949.
Setelah itu, dilakukan beberapa kali perundingan, baik bilateral maupun di
PBB, namun tidak membuahkan hasil.
Sebagai
penolakan terhadap pembentukan negara boneka Papua itu, Presiden Sukarno
mencanangkan Trikora (Tri Komando Rakyat) di Yogyakarta pada 19 Desember
1961. Tanggal 19 Desember dipilih untuk mengingatkan tanggal agresi militer
Belanda ke ibu kota Yogyakarta pada 1948. Salah satu komando adalah
mengibarkan bendera Merah Putih di Irian Barat. Jadi, yang akan direbut dari
penjajah Belanda adalah Irian Barat, bukan Papua.
Nama Irian (ada pula yang mengeja "iryan")
diusulkan Frans Kaisiepo (sumber lain menyebutkan sepupunya Marcus Kaisiepo)
dalam Konferensi Malino pada 1946. Dalam bahasa Biak, kata "irian"
berarti "negeri yang panas hawanya" atau juga "mentari yang
menghalau kabut". Ini bermula dari kisah nelayan Biak yang naik
sampan menuju Pulau Besar (daratan Papua). Jika melihat sebersit sinar
mentari pagi, mereka berteriak "irian", artinya, mentari akan
menghalau kabut dan harapan mencapai pulau besar akan tercapai. Kaisiepo menegaskan, dia tidak sudi lagi disebut
"Papua", karena nama itu di Nieuw
Guinea identik dengan "bodoh, malas, kotor".
Residen
van Eechoud tidak senang dengan usul Kaisiepo tadi. Tapi apa lacur? Jawatan
Penerangan Belanda (RVD) di Batavia, di mana J.H. Ritman mantan pemred Bataviaasch Niuesblad dan H. Van
Goudoever mantan pemred De Locomotif
bekerja, sudah telanjur menggunakan nama Irian. Bahkan di tengah masyarakat Biak beredar ungkapan bahwa Irian
ialah singkatan dari "Ikut
Republik Indonesia Anti-Nederland". Kelak Presiden Sukarno
juga menggunakan sebutan Irian.
Setelah Trikora diumumkan, segera dibentuk Komando Mandala yang
dipimpin oleh Jenderal Soeharto. Infiltrasi dilakukan oleh
tentara Indonesia. Komodor Jos Sudarso gugur dalam pertempuran di laut
Arafuru. Sementara itu, di sisi lain, diplomasi
Indonesia sangat menentukan. Sukarno melakukan perundingan dengan Presiden
Amerika Serikat J.F. Kennedy. Menteri Luar Negeri Soebandrio berpidato di
PBB. Jenderal Nasution bermanuver dengan rencana pembelian senjata kepada Uni
Soviet. Akhirnya AS mendukung Indonesia
dan memojokkan Belanda. Irian Barat
kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi pada 1 Mei 1963 dan pada 1969 dilakukan
Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat), yang walaupun dilakukan tidak dengan
sistem one man one vote, sudah
diakui sah oleh PBB.
Sejak
1969 telah dilakukan pembangunan fisik di bumi Irian yang sayangnya disertai
dengan kekerasan dan tidak luput dari pelanggaran HAM berat. Ini menjadi memoria passionis (masa kelam)
masyarakat Irian. Karena itu, menurut saya,
berbagai pelanggaran HAM berat yang terjadi di sana sepanjang Orde Baru
sampai era Reformasi harus diusut tuntas. Kasus
pembunuhan Theys Eluai hanya mengadili pelaku lapangan, bukan aktor
intelektualnya. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Irian perlu pula
dibentuk.
Pada
tanggal 1 Januari 2000, Presiden Abdurrachman Wahid menyampaikan bahwa kata
Irian Jaya diganti dengan Papua. Ini katanya untuk meredam konflik. Menurut saya, penggantian kata tersebut tidak
menyelesaikan masalah mendasar. Persoalan orang Papua yang utama adalah
menyangkut sumber daya alam dan kewenangan daerah. Otonomi khusus harus
dilakukan secara efektif demi kesejahteraan rakyat Irian, bukan elitenya
saja. Dewasa ini, pemekaran kabupaten dan kota di Irian lebih banyak menjadi
masalah ketimbang solusi. Sementara itu, pemerintah Indonesia tidak berdaya
menekan Freeport agar membangun smelter yang jelas membuka lapangan kerja di
daerah.
Penggantian nama Papua itu menghilangkan sejarah perjuangan merebut
Irian Barat dari penjajah Belanda. Padahal perjuangan itu dapat disambungkan
dengan benih persemaian nasionalisme di bumi Irian melalui para Digulis sejak
tahun 1926-1927. Dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, para
tokoh Irian juga turut serta. Frans Kaisiepo, Martin Indhey, Silas Papare,
dan Abraham Dimara telah diangkat menjadi pahlawan nasional karena jasa-jasa
dan pengorbanan mereka untuk negara dan bangsa Indonesia.
Gus Dur
tidak mengeluarkan Keputusan Presiden, namun penggantian nama tersebut
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Papua. Bergantung pada parlemen yang baru dipilih 9 April 2014 untuk
merevisi Undang-Undang tentang Otonomi Khusus, sehingga Papua kembali menjadi
Irian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar