Kemoderatan
Mbah Basyir
Widi Muryono ; Pegiat dari
Lembaga Pers Santri PP Darul Falah,
Penulis buku “Napak
Jejak Pemikiran Sunan Muria”
|
SUARA
MERDEKA, 14 April 2014
“Jauh sebelum penguatan era progender, Mbah Basyir
sudah melawan tradisi peminggiran perempuan”
Tanggal
30 November 1924, Ahmad Basyir, yang kelak setelah sepuh kerap disapa dengan
sebutan Mbah Basyir, lahir. Ia tumbuh di tengah impitan suasana kelam
penjajahan Belanda. Situasi itu membawa pengaruh pada pilihan dan visi Basyir
kecil, terlebih melalui sentuhan Kiai M Mubin, sang ayah.
Masa
kecil Basyir tidak hanya dihabiskan di surau atau pesantren. Bahkan cukup
’’mencengangkan’’ ketika Kiai Mubin mendaftarkan anaknya itu ke Vervolg School atau ’’sekolah
sambungan’’, untuk melanjutkan dari Volk
School atau Sekolah Rakyat, hingga kelas V, kelas tertinggi yang ada saat
itu.
Kiai
Mubin pun tidak seperti kebanyakan ulama pada masanya, yang bersikap antipati
terhadap semua yang berbau Belanda, termasuk. Ia bisa ’’membaca’’ dengan cerdas, bagaimana prospek sekolah Belanda yang
beraroma politik balas budi itu
sejatinya bisa menjadi wadah mencetak kader pejuang kemerdekaan. Didikan di Vervolg School melahirkan sosok Ahmad
Basyir muda berbeda dari santri lain.
Basyir
muda tumbuh dengan tempaan mental pejuang hingga membentuk watak seorang kiai
nasionalis. Setelah Indonesia merdeka, ia pun tetap memilih tidak terjun di
ranah politik. Nasionalismenya ia wujudkan dengan mendirikan Madrasah Nurul
Ulum tahun 1969 dan Pesantren Darul Falah, setahun kemudian. Ia memilih jalur
pendidikan guna menjabarkan visi
kebangsaannya.
Masyarakat
kemudian mengenal sosoknya sebagai
kiai moderat, terutama pada era Orba. Pada waktu itu tak sedikit kiai berikut
pesantrennya lebur dalam politik praktis. Kiai Basyir menjauh dari zona
rentan konflik itu. Pada masa itu, ia sudah bisa melihat rekam perjalanan politik bernegara
sebagai dinamika kreatif, sehingga tak
fanatik pada salah satu warna politik.
Semangat
moderat itu kian tampak sejak pilihannya tetap berada di tengah, ketika
muncul ’’persaingan’’ popularitas antara NU dan Muhammadiyah. Dia lebih memilih
tetap berkhidmat di wilayah akar rumput, cukup mengayomi umat.
Sejak
1958 ia makin menjauhi hiruk-pikuk politik, setelah Syekh Yasin, guru
spiritualnya, memberinya ijazah Dalail Khairat (Dala’il al-Khayrat). Sejak
saat itu, Sang Mujiz tersebut benar-benar mewakafkan diri untuk umat.
Emansipasi Perempuan
Sisi
lain keutamaan kiai tersebut adalah keberterimaannya terhadap perempuan.
Hingga tahun 1970-an, di lingkungan pesantren Bareng Kudus masih kental
budaya ’’memingit’’ perempuan. Kultur
tradisional di daerah itu belum familiar terhadap tradisi sekolah umum.
Menyekolahkan anak, apalagi perempuan, di sekolah formal, adalah “tabu”.
Pemikiran
Kiai Basyir jauh melampaui pandangan sejumlah kiai pada masa itu. Ia
menyekolahkan putra-putrinya di sekolah umum, dan sorenya di pesantren. Ia
bersepeda dari Bareng memboncengkan putrinya bersekolah di sekolah umum di
Kudus Kulon. Kiai itu tak berpikir dikotomis.
Jauh
sebelum era progender, Basyir sudah melawan tradisi peminggiran perempuan. Ia
menyadari kaum hawa memiliki hak keberdayaannya tak hanya jumud di dapur,
kasur, dan sumur.
Kini,
Ponpes Darul Falah yang diwariskan,
mencerdaskan ratusan santri perempuan yang tak hanya dibekali keilmuan, tapi
juga keterampilan menjahit, berpidato, menulis dan sebagainya.
Di
ponpes itu, santriwati mendapat keleluasaan mengenyam pendidikan di perguruan
tinggi setempat. Kebijakannya memberi ruang publik bagi para santri sudah
dipertimbangkannya matang. Seperti dikhawatirkan banyak kiai lain, Basyir
sadar, serangan arus globalisasi mengancam fondasi karakter santri.
Karenanya,
ia membekali mereka tradisi Dalail
Khariat sebagai terapi spiritual mempertahankan kesalehan pesantren, saat
mereka bergumul dengan dunia luar.
Mbah Basyir berpikir, menjaga subkultur pesantren tidak selalu dengan
membangun tembok pingitan yang kokoh. Justru, ia mengajari santri belajar
berenang, untuk memenangi melawan arus global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar