Main-Main
Nasib Ahli yang Mahal
Dahlan Iskan ; Menteri
BUMN
|
JAWA
POS, 14 April 2014
SAYA
merasa bersalah. Salah besar. Terutama kepada anak muda yang hebat ini: Ricky
Elson.
Dia
sudah enak hidup di Jepang. Sekolahnya pintar dan setelah lulus pun langsung
diminta untuk bekerja di perusahaan besar di sana. Gajinya bagus dan karirnya
melejit. Perusahaan itu juga memberikan lapangan yang luas yang bisa dia
pakai untuk berkiprah.
Ricky
Elson menemukan banyak inovasi kelas dunia. Selama bekerja di Jepang, dia
berhasil mematenkan 14 penemuan di lembaga paten di Jepang. Terutama di
bidang motor listrik. Anak yang begitu lulus SMA di Padang itu langsung
sekolah di Jepang menjadi anak emas di sana.
Kesalahan
saya adalah memintanya pulang ke Indonesia. Untuk mengabdi ke bangsa sendiri.
Cukuplah mengabdi 14 tahun untuk bangsa Jepang.
Di
berbagai kampus universitas kita, saya memang sering mendengar teriakan
mahasiswa seperti ini: mengapa tidak diusahakan memanggil pulang anak-anak
bangsa yang hebat-hebat yang kini di luar negeri. Terakhir suara seperti itu
saya dengar waktu dialog dengan mahasiswa Politeknik Negeri Denpasar dan
mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Purwokerto dua minggu lalu. Pertanyaan
seperti itu juga disuarakan banyak kalangan di berbagai kesempatan.
Tentu
saya mencoba untuk realistis. Jangan semua anak kita yang hebat dipanggil
pulang. Panggillah yang benar-benar diperlukan untuk proyek mendesak yang
bisa mengeluarkan bangsa ini dari kesulitan.
Saya
melihat bangsa ini lagi terbelit masalah besar. Yang belum menemukan jalan
keluarnya yang jelas. Yakni, persoalan ketergantungan bangsa ini pada bahan
bakar minyak (BBM) impor. Kian lama impor BBM kita kian besar. Dan, akan kian
besar.
Salah
satu solusi yang saya lihat adalah mobil listrik. Bukan karena saya ahli
mobil listrik, melainkan begitulah pendapat ahli di seluruh dunia. Kalau
terlambat mengembangkannya, kita akan terantuk lubang untuk kali kedua.
Mobil-mobil listrik buatan asing akan membanjiri Indonesia dalam 15 tahun ke
depan.
Maka,
saya merayu Ricky untuk pulang. Memang dia semula menolak. Gajinya akan turun
drastis. Dia sudah menikah. Perempuan Padang juga. Dia sudah harus
bertanggung jawab kepada keluarga.
Tapi, alasan penolakan terbesarnya adalah ini: apakah saya
akan berarti? Apakah saya akan mendapatkan keleluasaan untuk mencipta? Apakah
pemerintah Indonesia akan memberikan dukungan? Apakah proyek itu benar-benar
akan bisa jalan? Dan, banyak pertanyaan yang sifatnya jauh dari urusan uang
seperti itu.
Soal gaji yang akan turun, saya bisa mencarikan jalan keluar. Biarlah
seluruh gaji saya sebagai menteri, dialah yang menerima. Setiap bulan. Tapi,
soal jaminan kelangsungan proyek, saya sulit memberikan. Kecuali bahwa saya
akan ikut all-out. Termasuk
membiayai seluruh pembuatan mobil-mobil listrik prototipe.
Ricky
memenuhi komitmennya. Membuat mobil listrik 100 persen made in Indonesia. Dia
juga berhasil membina tenaga-tenaga ahli di Pindad agar bisa membuat bagian
yang paling sulit dari mobil listrik: motor
listrik.
Tapi, nasib mobil listrik kini kian tidak jelas. Aturan
tentang mobil listrik tidak segera keluar. Sikap Bapak Presiden
sendiri sudah sangat jelas: berikan
dukungan yang maksimal untuk mobil listrik. Nyatanya, sulitnya bukan
main.
Kini Ricky menganggur di Indonesia. Dia seperti
harus menunggu Godot. Maka, dia mulai merasa hidup sia-sia. Dia ingin kembali
ke Jepang. Dia tidak berani mengatakannya langsung kepada saya, tapi dari
beberapa tulisan tentang Ricky di Kompasiana, saya bisa merasakan dukanya
yang dalam.
Bahkan, salah seorang temannya di Jepang meledeknya dengan kalimat ini:
sudah puaskah Anda hanya main-main di
Indonesia?
Saya merasa bersalah. Saya tidak akan mampu menahannya. Terutama karena
masa depannya yang tidak boleh dikorbankan.
Ricky
sebenarnya sangat ideal bagi saya. Selama hampir dua tahun di Indonesia, dia
kerja amat keras. Sama sekali tidak menonjolkan diri sebagai seorang ahli.
Dia sangat ringan kaki. Mau terjun ke bawah dan mengurus hal yang detail.
Dia
tidak segan-segan ikut angkat-angkat barang. Dia mau membina dan mengajar
secara telaten dan sistematis. Misalnya, mempraktikkan dan menularkan ilmu
yang dia peroleh selama di Jepang.
Saya masih berharap, kalau perjuangan mobil listrik sudah jelas, kelak
akan merayunya kembali untuk pulang ke Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar