Kelas
Menengah Terdesentralisasi
Mohammad Afifuddin ; Asisten peneliti di
Institute of Governance
and Public Affairs MAP UGM
|
JAWA
POS, 03 April 2014
BEBERAPA
tahun ke depan, Indonesia diperkirakan memperoleh bonus demografis berupa
besarnya populasi yang komposisinya didominasi kaum muda, relatif sejahtera,
dan berdaya beli tinggi. Dalam diskursus sosiologis, mereka biasa disebut
kelas menengah. Pada 2020, diestimasikan kelas menengah di Indonesia menembus
140 juta orang. Perkiraan itu disampaikan Boston
Consulting Group (BCG) Singapura dalam laporan yang berjudul Asia's Next Big Opportunity: Winning Over
Indonesia's Middle Class and Affluent Consumers 2013.
Menurut
BCG, saat ini jumlah kelas menengah di Indonesia sekitar 74 juta orang.
Namun, dalam beberapa tahun ke depan, jumlahnya melesat hingga dua kali
lipat. Asumsinya, setiap penduduk dengan penghasilan Rp 2 juta-Rp 7,5 juta
per bulan masuk kualifikasi kelas menengah. Pemicunya, selain stabilitas
ekonomi yang bisa mendorong pertumbuhan, postur demografis Indonesia di masa
depan dikuasai kalangan usia produktif. Sebagai contoh, saat ini 62 persen
penduduk Indonesia berada di usia produktif, antara 20-65 tahun. Sedangkan 27
persen lainnya berusia di bawah 15 tahun. Nah, yang 27 persen itulah di
kemudian hari tumbuh menjadi penopang kelas menengah Indonesia.
Namun,
yang paling penting dari laporan BCG itu adalah munculnya potensi penyebaran
kelas menangah di Indonesia. Pertumbuhan kelas menengah yang selama ini
didominasi kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, Bekasi (Jabodetabek)
akan menyebar (terdesentralisasi) ke kota-kota lain. Selain kota besar
seperti Surabaya, Medan, Bandung, dan Makassar, kelas menengah di kota-kota
lain diproyeksikan tumbuh pesat meski potensi tumbuhnya kelas menengah secara
signifikan ada di kota-kota di Sulawesi mengingat potensi ekonomi Sulawesi
yang besar. Bahkan, BCG memperkirakan, jika saat ini baru ada 12 kota besar
di Indonesia yang memiliki lebih dari 1 juta kelas menengah, pada 2020
jumlahnya akan melonjak hingga 22 kota.
Potensi
desentralisasi kelas menengah itu kian menggembirakan bila dipadukan dengan
fakta lain yang menunjukkan optimisme kelas menengah Indonesia berada di
level yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan masyarakat kelas menengah
di negara emerging market lain anggota BRICS (Brazil, Rusia, India, China,
dan South Africa). Persenyawaan antara desentralisasi dan optimisme kelas
menengah bisa menjadi faktor utama pemicu kemajuan bangsa.
Peran Sentral Kelas Menengah
Pertanyaannya,
kenapa kombinasi desentralisasi pertumbuhan kelas menengah Indonesia yang
disertai optimisme tinggi dari kelas menengah itu menjadi perpaduan yang
penting bagi masa depan Indonesia? Sebab, posisi kelas menengah sungguh
sentral dalam proses derap maju perkonomian maupun konsolidasi politik
Indonesia. Kelas menengah merupakan tumpuan bergeraknya laju pertumbuhan
ekonomi. Bertambahnya kelas menengah merupakan sinyal positif bagi
pertumbuhan ekonomi, baik dari sisi daya beli maupun kemampuan membangkitkan
gerak ekonomi produktif.
Sedangkan
dalam konteks politik, kelas menengah adalah penikmat kebebasan berekspresi,
hak-hak istimewa, dan kemewahan demokrasi yang lain. Mereka menikmati bicara
bebas, menulis bebas, berorganisasi, menjadi elite partai, berdaya beli, dan
menikmati segala fasilitas publik yang jauh lebih baik jika dibandingkan
dengan massa rakyat. Sebab, kelas menengah adalah kalangan yang relatif
berpendikan dan punya kapasitas pengetahuan luas. Karena itu, seperti
dikatakan Lange dan Meier (2009), kelas menengah juga motor penggerak
masyarakat melalui dukungan mereka pada proses demokrasi.
Sayangnya,
yang selama ini terjadi di Indonesia belum sampai pada taraf ideal yang
diharapkan. Persoalan pokoknya adalah kekuatan jumlah kelas menengah
Indonesia tidak diimbangi kualitas yang mumpuni. Kelas menengah Indonesia
masih berkutat pada permasalahan klasik: kuat dalam kuantitas, lembek di
kualitas. Kelas menengah kita masih lemah, pasif, apatis, pragmatis, tetapi
sangat konsumtif. Seperti dikatakan Dr Yanuar Nugroho, hallworth research
fellow di Manchester Business School, Inggris, yang selama ini concern
meneliti media sosial dan kelas menegah, di Indonesia belum terbentuk kelas
menengah yang sesungguhnya alias sebatas kelas menengah semu atau kelas
menengah yang setengah-setengah (Fokus,
Januari 2011).
Penyebabnya,
antara yang dicitakan dan yang dilakukan tidak berhubungan. Mereka percaya
ide-ide demokrasi, tetapi tidak mau terlibat aktif dalam politik atau
mempengaruhi kebijakan publik. Paling banter mereka beraksi di situs jejaring
sosial Facebook atau Twitter. Sementara itu, dalam hal ekonomi, kelas
menengah Indonesia adalah pengikut setia gaya hidup pop yang konsumeristis
meski harus berutang lewat lembaga-lembaga penyedia kredit.
Nah,
jika BCG memperkirakan kelas menengah Indonesia di masa depan punya optimisme
tinggi, muncul harapan kelas menengah Indonesia lebih optimis untuk proaktif
terlibat pada upaya-upaya perbaikan kebijakan publik dan pendewasaan
demokrasi: kelas menengah Indonesia sebagai aktor sentral dalam berbagai
gerakan perbaikan ekonomi-politik.
Selanjutnya,
jika basis perbaikan kualitas kelas menengah Indonesia sudah terbentuk,
niscaya pertambahan kuantitas sebuah kelas akan berdampak signifikan. Apalagi
jika penambahan kuantitas kelas menengah itu diikuti dengan penyebaran dan
pemerataan (desentralisasi) pertumbuhannya. Sebab, seiring dengan konteks
otonomi daerah (desentralisasi pemerintahan) di Indonesia, kehadiran kelas
menengah yang solid di berbagai daerah akan efektif menjadi motor pembentukan
civil society yang tangguh untuk
mengontrol jalannya kontelasi politik-kekuasaan di daerah.
Dengan
kata lain, tidak hanya kelas menengah di Jakarta yang kritis terhadap
pemerintah, tapi juga kelas menengah di daerah-daerah. Sebab,
politik-kekuasaan yang terdesentralisasi mesti diimbangi dengan kekuatan civil society yang juga tersebar di
berbagai lini kekuasaan. Dalam titik inilah, penyebaran pertumbuhan kelas
menengah Indonesia menjadi relevan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar