Dramartugi
Pemilu
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
KOMPAS,
03 April 2014
SEBELUM
seluruh pemerintah daerah dan Kementerian Lingkungan
Hidup—seharusnya—melarang pemasangan segala bentuk atribut kampanye di
pohon-pohon dan menarik pajak untuk penggunaan ruang publik, mungkin ada
baiknya kita meminta seluruh calon anggota legislatif yang tengah bertempur
pada masa pemilihan sekarang ini untuk menghitung ulang atau mempertimbangkan
kembali pencalonan dirinya itu. Sekurangnya untuk satu alasan dasar:
berdasarkan prestasi sosial apakah hingga Anda merasa pantas mengajukan diri
menjadi wakil sekelompok masyarakat (konstituen) dan memperjuangkan hak serta
kepentingan mereka apabila selama ini mereka bekerja ”sekadar” sebagai
profesional, pengusaha, karyawan, atau pegawai negeri yang notabene melulu
berorientasi pada kebutuhan dan kepentingan pribadi?
Apakah
rekam jejak yang minim bahkan nihil dalam soal di atas dapat dan wajar diatasi
dengan hanya sekadar menampilkan habis-habisan wajah dengan senyum dipaksakan
dan sedikit slogan yang sering justru mempermalukan diri sendiri itu? Lalu,
jika Anda punya sedikit uang lebih, menawarkan sembako, selembar uang
bergambar I Gusti Ngurah Rai, atau organ tunggal dengan tiga penyanyi dangdut
amatir?
Namun,
demikianlah ajang prestisius secara politis yang bernama pemilihan umum di
negeri ini diselenggarakan macam sebuah panggung drama dengan opening cukup
menggelikan seperti ilustrasi di atas. Gambar dan berbagai atributnya
mengambil lanskap kota, desa, bahkan jalanan berdebu sebagai panggung yang
riuh, menyesakkan, dan sungguh mengganggu citra visual masyarakat secara
umum. Lalu aktor-aktornya bermunculkan tanpa sama sekali memiliki kemampuan berperan
yang memadai bahkan mungkin tak memiliki bakat sama sekali.
Persoalan
(di tingkat bawah) ini sangat penting dikemukakan sebagai landasan fakta dari
argumen yang mempertanyakan pencalonan-pencalonan di tingkat lebih tinggi,
termasuk pencalonan seseorang untuk menjadi presiden Republik Indonesia.
Selama beberapa bulan terakhir kita disuguhi semacam game pencitraan yang
dramatik atau lebih tepat sebuah drama pencalonan presiden yang menciptakan
satu realitas ilusif atau imajinatif layaknya sebuah panggung pertunjukan.
Bagaimana
tidak jika sekonyong-konyong kita dihadapkan—hampir setiap menit dalam
pergaulan kita yang intens dengan media dalam pelbagai bentuk dan
manifestasinya—pada wajah dan nama-nama yang memaksa sistem kognitif kita
menerima mereka sebagai calon pemimpin kita, pemimpin 240 juta kita. Dengan
satu kondisi yang jujur harus diakui kita tidak tahu apa yang telah mereka
lakukan selama ini—di luar tanggung jawab profesional dan kedinasannya—untuk
kemaslahatan dan kepentingan (240 juta) kita.
Lalu
tiba-tiba beberapa nama itu melompat ke deret atas dari peringkat calon
presiden paling berpotensi, menciptakan semacam persepsi yang kuat bahwa
mereka semua adalah ”tokoh nasional” yang pantas—entah dengan alasan
apa—menjadi pemimpin nasional. Persepsi ini dibentuk dengan cara seperti
terurai di awal, tulisan diteruskan oleh media-media massa utama, baik cetak,
audio, visual maupun daring. Lalu dengan persepsi yang tertanam kuat itu,
lembaga-lembaga survei melakukan pendataan persepsi di kalangan masyarakat
tertentu untuk pada akhirnya memperkuat ”keberadaan” nama dan wajah yang kita
gelap dengan rekam jejaknya itu.
Kebenaran artifisial
Inilah
sesungguhnya arti lain dari sebuah pesta demokrasi bernama pemilu: rakyat
sebagai penonton (entah membayar dengan uang atau suara) disuguhi sebuah fait accompli pertunjukan teatrikal
yang pada dasarnya ”seolah-olah”. Dalam bahasa agak teoretis, media massa
dibantu antara lain oleh lembaga survei mengondisikan kita (masyarakat pada
umumnya) menerima pencitraan yang mereka buat dan suguhkan sebagai sebuah
”kebenaran”. Semacam ”kebenaran” yang ditawarkan iklan tentang mobil premium
dengan kemewahan puncak, gadget dengan fitur tercanggih, atau bintang film
tercantik dan akting terbaik. Semua tidak lain kita terima tidak berdasarkan
pada faktualitas, tetapi melulu artifisialitas data. Kemampuan finansial dan
akses besar seseorang pada media lebih menentukan ketimbang realitas riwayat
hidupnya bekerja bagi kemaslahatan orang banyak.
Di
sinilah alasan mengapa tokoh-tokoh alternatif sulit muncul dan bersaing
dengan mereka yang memiliki kemampuan dan akses besar di atas. Sehebat apa
pun seseorang yang berpotensi menjadi pemimpin, ia tidak akan mampu
mengalahkan seseorang yang bisa menampilkan wajahnya hingga setengah halaman,
bahkan hingga delapan foto ukuran besar dalam sehari di koran, atau belasan
kali di televisi yang dimilikinya.
Atau
bagaimana mengalahkan seseorang yang bisa menyewa belasan bus setiap hari
untuk mengajak orang satu desa atau satu RW di berbagai wilayah Indonesia
pelesir bersama sambil mengajak mereka memilih nomor dan nama tertentu pada
saat pemilihan. Bagaimana dapat bersaing program dengan seseorang yang
memiliki semacam think-tank berisi lulusan pasca sarjana untuk menyusun
sebuah program ”melulu janji”. Merekalah yang menurut survei dan media massa
berada dalam top of mind dan
memiliki peluang besar sebagai calon presiden. Kenyataan artifisial yang
disesakkan begitu saja lewat sebuah desain yang kita sendiri hampir tidak
menyadari bahkan menerimanya begitu saja (taken
for granted).
Dan
rakyat umum tidak memiliki ruang dan peluang untuk mempertanyakan,
menganalisis, atau menyikapi secara kritis realitas itu atau ”kebenaran” itu,
misalnya sekadar membandingkan apa yang mereka, para calon, semburkan sebagai
janji atau program dengan apa yang pernah mereka lakukan di persoalan yang
sama. Saya kira jika penilaian berdasarkan perbandingan semacam ini
sungguh-sungguh dilakukan, sebagian besar nama-nama di atas akan gugur dari
daftar unggulan.
Pengorbanan rakyat
Tampaknya
kita harus berani untuk memulai dengan sedikit hal baik dan benar demi
memperbaiki semua itu. Memperbaiki cara kita memproses atau menyeleksi
pemimpin yang kita inginkan. Saya kira hal pertama dari itu adalah kejujuran.
Semua orang memang berhak merasa dan bernafsu menjadi pemimpin. Namun,
setidaknya ia harus jujur kepada publik, kepada dirinya sendiri, kepada apa
yang pernah dilakukannya.
Bertanyalah
kepada diri sendiri, misalnya, apakah dalam sekujur hidupnya ia pernah
melakukan sesuatu yang baik dan benar untuk tingkatan publik di mana ia ingin
jadi pemimpinnya. Seberapa besar atau tinggi hasil kerja atau prestasinya itu.
Dan jujurlah menilai diri sendiri. Apabila memang tidak sepadan, kenapa harus
ngotot dan nekat? Apalagi ternyata justru banyak tindakan yang destruktif
bahkan negatif pernah ia lakukan dulu, secara etis dan moralistis pantaskah
Anda mengajukan diri? Tidakkah Anda merasa malu pada waktu (sejarah),
keluarga, diri sendiri, Tuhan, atau sejawat yang tak bisa kita tipu? Atau
Anda sudah tak punya malu, bahkan pada malu itu sendiri?
Begitupun
media massa selaiknya jujur pada data yang ada dan tidak bisa dihapus oleh
sejarah. Mungkin baik jika kita mulai mengurangi bahkan berhenti memainkan
impresi atau persepsi yang bisa jadi sangat subyektif atau sektarian untuk
lebih mengedepankan data yang pada dasarnya netral, jujur, dan valid. Berilah
publik informasi yang akurat dengan penuh keberanian sehingga media massa
dapat menjadi mata dan hati nurani publik, bukan justru menjadi senjata
pengelabu kesadaran dan kebeningan hati masyarakat yang gelisah ini.
Jangan
sampai pengorbanan besar rakyat harus diberikan pada sesuatu yang justru
mengkhianati pengorbanan itu. Dari segi finansial, berhitunglah betapa luar
biasa pengorbanan itu. Menurut LPEM FE UI, biaya yang dikeluarkan caleg mulai
dari tingkat lokal hingga pusat berkisar Rp 320 juta-Rp 9 miliar, hingga
rata-rata didapat Rp 1,18 miliar per caleg. Apabila Ketua Komisi Pemilihan
Umum menyatakan jumlah caleg nasional 200.000 orang, Anda bisa memperkirakan
sendiri total uang yang rakyat kita keluarkan untuk pertunjukan dengan
dramaturgi yang menggelikan di atas. Tidak kurang dari Rp 227 triliun.
Ditambah
dengan biaya pemilu dari APBN yang meningkat dua kali lipat,
sumbangan-sumbangan yang didapat partai sebagaimana mereka laporkan,
dana-dana lembaga publik, swasta, negeri hingga perorangan yang terlibat,
kita semua akan tercengang. Bahwa total semua itu sebanding dengan membuat
5.675 kilometer rel kereta api ganda (cukup untuk seluruh Sumatera) atau
3.200 kilometer jalan tol (sama dengan target 25 tahun kita) atau sebanding
dengan menggratiskan biaya kuliah seluruh mahasiswa Indonesia selama 32 tahun
berdasarkan hitungan Mendikbud RI.
Di
sinilah komedia drama pemilu ini akan berakhir menjadi tragedi. Demi sebuah
pesta bernama demokrasi, demi ”prestise” ilusif di tingkat internasional,
demi—katakanlah—kebebasan untuk meraih, menjadi atau bicara ”apa saja” itu,
kita bersama harus mengorbankan kemampuan besar kita menyelesaikan
masalah-masalah besar yang kritis di atas. Demi sebuah dramaturgi yang melulu
memberi kita impresi dan persepsi, yang kita gelap dasar faktualitasnya, yang
menyodorkan kita ”kebenaran”
abstrak bahkan ilusif. Sungguh lucu.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar