Musim
Kampanye
Anton Kurnia ; Esais dan Penulis
Cerpen
|
TEMPO.CO,
03 April 2014
Rasyid
Khalifa, pendongeng ulung dalam novel Salman Rushdie, Harun dan Samudra
Dongeng, diminta oleh sebuah partai politik untuk meramaikan kampanye mereka.
"Musuh-musuhku menyewa orang-orang
murahan untuk menjejali telinga orang dengan cerita-cerita buruk tentang
diriku, dan orang-orang ceroboh itu menelannya mentah-mentah seperti susu.
Untuk alasan ini, aku berpaling kepadamu, Tuan Rasyid. Anda akan menceritakan
kisah-kisah bahagia, kisah pujian, dan orang-orang akan mempercayaimu, merasa
bahagia, serta kemudian memilihku," ujar sang pemimpin partai.
Rasyid,
yang lurus hati, tentu saja keberatan jika harus membual demi seorang
politikus yang tidak jujur dan manipulatif. "Jelas sekali Anda ingin aku menceritakan kisah-kisah penuh
bumbu!" kata dia, memprotes, seraya menolak melakukan hal itu.
Begitulah.
Pada musim kampanye, para politikus justru seakan tak peduli apa yang
sebenarnya terjadi atau apa yang sesungguhnya bergejolak di benak khalayak.
Bagi mereka, yang penting adalah perolehan suara sebanyak-banyaknya agar
mereka mendapatkan kursi, entah itu di pemerintahan (presiden, gubernur, wali
kota, bupati) atau parlemen. Kalau perlu, hal itu dilakukan dengan segala
cara. Termasuk dengan berbohong, menipu, memberi janji kosong dan angin
surga, atau pencitraan palsu. Setelah mereka terpilih, bagaimana nanti saja
soal janji-janji itu, bukan?
Hari-hari
ini kita tengah kembali menghadapi musim kampanye. Kita sedang menjelang
pemilihan umum pertama pada 9 April 2014 untuk memilih para legislator yang
notabene adalah wakil rakyat.
Di media
sosial, orang-orang ramai mengeluhkan pawai kampanye bermotor partai-partai
politik di jalan-jalan yang amat mengganggu kenyamanan dan ketenteraman. Para
peserta pawai itu tak peduli bahwa aksi mereka membikin telinga orang pekak
dengan suara knalpot serta derum gas sepeda motor dan mobil mereka. Mereka
juga seakan tak ambil pusing aksi-aksi mereka menyebabkan jalanan macet dan
jantung orang deg-degan karena cemas akan terjadinya huru-hara.
Sementara
mereka yang peduli kelestarian lingkungan dan kebersihan mengeluhkan betapa
para calon anggota legislatif (caleg) kerap mencederai pepohonan yang
berfungsi sebagai paru-paru kota dengan menempelkan dan memaku poster-poster
bergambar wajah mereka secara semaunya. Ada juga yang seenaknya menempel dan
mengelem gambar-gambar wajah asing mereka di dinding-dinding umum atau pagar
rumah penduduk. Belum lagi baliho-baliho berukuran besar yang dipasang
sesukanya tanpa peduli cita rasa keindahan kota.
Banyak
orang muak mendengar, melihat, dan mengalami semua itu. Maka, orang awam
cenderung ingin agar musim kampanye lekas berakhir dan euforia pemilu ini
segera berlalu demi ketenangan jiwa dan raga. Mereka memilih masa bodoh
dengan siapa yang akan mereka pilih dalam hari pencoblosan nanti, karena
sebal dengan kelakuan tak bertanggung jawab para politikus dan kawanannya.
Kalau perlu, menjadi kaum golput saja. Tak memilih juga sebuah pilihan,
bukan? Apalagi jika banyak dari calon terpilih itu tampak tidak layak
dipilih.
Jika
belum berkuasa saja tingkahnya sudah semaunya, bagaimana kalau sudah berkuasa
nanti? Bisa-bisa korupsi sampai mati tanpa peduli jeritan rakyat yang
terimpit kenyataan hidup!
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi terakhir, kata kampanye memang diartikan
sebagai "kegiatan yang
dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing memperebutkan
kedudukan di parlemen untuk mendapat dukungan massa pemilih dalam suatu
pemungutan suara".
Dalam
definisi itu, jelaslah bahwa rakyat tidak dilibatkan sebagai subyek yang
layak dihormati. Rakyat hanya dijadikan obyek yang diharapkan melakukan apa
yang dibutuhkan oleh "organisasi
politik atau calon yang bersaing" itu demi keuntungan mereka, bukan
demi kepentingan rakyat banyak. Apalagi demi cita-cita mulia memperbaiki masa
depan bersama yang adil sejahtera melalui program-program terencana yang
berkesinambungan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar