Jumat, 25 April 2014

Kasus Pajak Mantan Dirjen Pajak

Kasus Pajak Mantan Dirjen Pajak  

Chandra Budi ;   Bekerja di Ditjen Pajak, Penulis buku “Urus Pajak Itu Sangat Mudah”
JAWA POS, 23 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
KETIKA mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo (HP) ditetapkan sebagai tersangka atas kasus keberatan pajak BCA semasa menjabat Dirjen Pajak pada periode 2003-2004 (21 April 2014), tentu publik penasaran tentang detail kasus yang disangkakan. Juga alasan menyangkut materi penyidikan, Ketua KPK Abraham Samad sangat terbatas dalam menjelaskan detail kasus yang terjadi. Yang pasti, menurut KPK, ditemukan dua alat bukti yang kuat sehingga HP diduga menyalahgunakan wewenang selaku Dirjen Pajak dan negara dirugikan sekitar Rp 375 miliar.

Seperti yang banyak diberitakan, kasus pajak HP ini berkaitan dengan pengajuan keberatan oleh wajib pajak -BCA- atas kredit macet (nonperforming loan/NPL) sebesar Rp 5,75 triliun. Kalau merujuk informasi ini, materi yang disangkakan kepada HP dapat ditebak. Tentu pengajuan keberatan oleh BCA berawal dari satu keputusan pajak yang ditetapkan sebelumnya, produk hukum hasil pemeriksaan.

Karena kasus pajak tersebut terjadi pada 2003-2004, kebijakan tentang NPL mengacu pada UU Pajak Penghasilan (PPh) Perubahan pada 2000 dan Keputusan Dirjen Pajak Nomor 238 Tahun 2001. Disebutkan dalam pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh bahwa besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri ditentukan dari penghasilan bruto dikurangi piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan persyaratan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Dirjen Pajak. Dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor 238 Tahun 2001 diuraikan NPL yang dapat dijadikan biaya harus memenuhi syarat akumulatif berupa: telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial, telah diserahkan perkara penagihannya kepada pengadilan negeri atau badan urusan piutang dan lelang negara atau adanya perjanjian tentang penghapusan piutang antara kreditor dan debitor yang bersangkutan, telah diumumkan di media massa dan wajib pajak harus menyerahkan daftar debitor NPL kepada Ditjen Pajak.

Nah, walaupun telah menyerahkan seluruh persyaratan, tetap terjadi koreksi karena secara material tidak memenuhi syarat. Misalnya, apabila pemeriksa pajak menemukan bahwa di dalam daftar debitor NPL yang disampaikan terdapat debitor yang memiliki hubungan istimewa dengan pengurus bank atau keluarganya atau ditemukan identitas debitor yang tidak dapat diyakini kebenarannya. Di pihak lain, wajib pajak tetap berpendapat benar karena Peraturan Dirjen Pajak Nomor 238 Tahun 2001 tidak mengatur hal tersebut. Karena baru pada 2010 menteri keuangan menerbitkan aturan NPL yang lebih komprehensif yang di dalamnya juga mengatur hubungan istimewa debitor. Akibatnya, wajib pajak mengajukan keberatan atas ketetapan pajak sebelumnya, yang kemudian ditangani tim keberatan Kantor Pusat Ditjen Pajak karena jumlahnya sangat signifikan.

Karena belum diatur, analisis, kebijakan, dan keputusan keberatan yang dikeluarkan Ditjen Pajak seharusnya konsisten untuk seluruh kasus serupa. Maka, wajar ketika KPK menemukan kejanggalan atas dikabulkannya keberatan BCA ini.

Solusi

Terlepas dari polemik dan intrik politis kasus ini, yang sering disebut ada hubungannya dengan kasus Bank Century yang diaudit BPK atau melimpahnya harta hibah milik HP, setidaknya dari perspektif perpajakan ada hikmah berharga di dalamnya. Satu hal yang harus diakui bahwa ketentuan atau aturan hukum tentang perpajakan masih terus harus disempurnakan.

Sebenarnya Keputusan Dirjen Pajak Nomor 238 Tahun 2001 yang mengatur pembiayaan NPL juga telah disusun dengan prinsip kehati-hatian dan bertujuan mendukung likuiditas dunia perbankan. Untuk meminimalkan kerugian negara atas produk hukum pajak yang diterbitkan, diatur klausul apabila di kemudian hari NPL yang telah dibebankan tersebut ternyata dibayarkan oleh debitor yang bersangkutan, maka piutang yang dibayarkan tersebut merupakan penghasilan dan dikenakan pajak. Namun, ternyata, masih banyak celah akibat belum adanya pengaturan yang jelas dan terperinci tentang ini. Karena itu, terbitnya UU PPh yang baru pada 2009, dan pengaturan tentang pembebanan NPL didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Tahun 2010 -bukan lagi pada Keputusan Dirjen Pajak- diharapkan mampu meminimalkan perbedaan penafsiran.

Terjadinya sengketa pajak -keberatan dan banding- sebagian besar diawali dengan penafsiran aturan pajak yang berbeda antara petugas pajak dan wajib pajak. Maka, solusi mengatasi hal ini adalah menciptakan aturan pajak yang tidak multitafsir.

Selain itu, struktur organisasi yang menangani keberatan pajak juga perlu dievaluasi. Sejak 2011, sebagian fungsi regulasi di bidang perpajakan telah dijalankan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan. Dapat saja, untuk menjawab kritikan besarnya wewenang Ditjen Pajak saat ini, wewenang penyelesaian keberatan pajak dilepas dari Ditjen Pajak. Kementerian Keuangan dapat membentuk unit kerja baru yang bertugas menangani proses keberatan wajib pajak, yang selama ini ditangani Kantor Wilayah Ditjen Pajak. Dengan demikian, Ditjen Pajak lebih berfungsi sebagai operator penerimaan pajak dengan fokus pada aspek edukasi dan pengawasan terhadap wajib pajak.

Mau tidak mau, kasus pajak mantan Dirjen Pajak ini kembali menyeret Ditjen Pajak ke stigma negatif. Ketika kasus ini terjadi, rentang 2003-2004, Ditjen Pajak memang baru memulai reformasi perpajakan. Di mana, ada satu Kantor Wilayah Ditjen Pajak yang menjadi proyek percontohannya, yang kebetulan wajib pajak BCA terdaftar di salah satu Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di lingkungan Kantor Wilayah Ditjen Pajak tersebut. Maka, alangkah eloknya ketika kasus ini masuk ke ranah pengadilan nantinya, masyarakat dapat terkonfirmasi ketidakterlibatan tim pemeriksa pajak di KPP pionir reformasi birokrasi tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar