Jumat, 25 April 2014

JIS dan Anak-anak Kita

JIS dan Anak-anak Kita  

Rhenald Kasali  ;   Guru Besar FEUI, Pendiri Rumah Perubahan
KOMPAS, 23 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
“MAMA, terima kasih telah mengantarkan Kayla. Aku mau sekolah dulu ya, Mama pulang aja. Kayla gak takut kok.”

Kalimat itu saya petik dari novel Bunda Lisa (Jombang Santani Khairen, 2014) yang menurunkan kisah bunda PAUD yang mendedikasikan hidupnya untuk anak-anak kampung dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi. Bunda Lisa bukanlah guru sekolah internasional. Ia sama seperti kita, kelas menengah yang merasa hidupnya sudah cukup. Namun, ia memiliki keterampilan observasi sehingga masalah yang dihadapi anak- anak cepat ditangani.

Di tangan bunda-bunda PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dan taman kanak-kanak asuhan Bunda Lisa, anak-anak merasa nyaman dan senang bermain, belajar, serta membentuk diri.

Bandingkan dengan ini. ”Dia teriak, stop, don’t do that, go away for me,” ujar seorang ibu menirukan anaknya yang berperilaku aneh, takut setiap mau berangkat ke sekolah internasional di Jakarta Selatan. Belakangan kita baca, anak itu diduga mengalami trauma kekerasan seksual dari petugas kebersihan sekolah.

Sekolah Bunda Lisa bukan internasional, tetapi mungkin kualitasnya tak kalah dengan Jakarta International School (JIS) yang sedang ramai dibicarakan. Guru-gurunya juga hanya ibu-ibu seputar kampung yang disekolahkan kembali. Namun, dedikasi mereka begitu besar. Anak-anak diperhatikan secara individu, seorang guru menangani delapan anak kendati sekolah ini tak memungut bayaran. Tak ada ketakutan yang dibiarkan hidup dalam keseharian anak-anak. Maka, saat ketakutan menimpa M (6) yang mengalami kekerasan seksual di sekolah internasional tadi, Bunda Lisa tak habis pikir bagaimana guru gagal mendeteksi kejadian sebelum anak itu berbicara. Kalau JIS gagal mendeteksi, apakah sekolah lain tidak?

Pendidikan anak = observasi       

Melalui surat elektronik yang dikirimkan Bunda Lisa kepada seorang calon guru yang sedang mengambil pendidikan S-2 di Inggris, saya menemukan penjelasannya. Mendidik anak-anak usia dini dan TK, katanya, dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Yang paling konvensional menggunakan tahap perkembangan anak berdasarkan usia kronologis. Pendekatan ini banyak dipakai sekolah, tetapi sering kali menyesatkan. Artinya, kemajuan anak hanya dilihat dari usia kronologis-normatif.

Namun, di usia dini, pendidik juga perlu melihat tahap perkembangan fisik atau biologis, domain perkembangan (afeksi, kognisi, bahasa, psikomotorik, dan sosial), perkembangan kecerdasan, interaksi sosial, serta kemampuan bermain dengan media atau alat-alat permainan edukatif. Di Amerika dikenal juga metode executive functioning.

Karena itulah pendidikan anak sebenarnya bukan sekadar telling karena fungsi utamanya adalah membentuk (regulasi diri, fokus, kontrol diri, working memory, dan kemampuan beradaptasi). Dan, untuk itu diperlukan kekuatan observasi.

Kalau guru memiliki kemampuan observasi yang kuat, tak satu pun masalah anak luput dari catatan dan sentuhannya. Guru menjadi orang pertama yang membaca mengapa anak tiba-tiba menjadi amat takut, sakit, memukul teman-temannya, kurang bergairah, cerewet, asyik dengan dirinya sendiri, banyak melamun, dan seterusnya. Kemampuan mengobservasi ini menjadi modal penting seorang pendidik. Dan, saya percaya sekolah-sekolah internasional punya anggaran yang cukup untuk melatih guru mengobservasi siswa. Rata-rata seorang guru perlu belajar enam bulan penuh untuk mengasah kemampuan observasi ini dalam bentuk praktik.

Ditutup atau dibina

Menjadi pertanyaan mengapa kejadian yang menimpa M bisa luput dari observasi sekolah? Bukankah sekolahnya internasional dan bereputasi baik? Lantas, apa yang harus dilakukan pemerintah? Sekolah tentu tak ingin kehilangan reputasi sehingga memilih menutup pintunya seketat kedutaan besar asing yang rawan serangan terorisme. Namun, apa yang harus dilakukan? Bagi saya, kurang tepat Kemdikbud hanya menghukum dengan menutup sekolah karena masalah izin administratif. Kasus ini menyimpan pembelajaran besar pentingnya keterampilan observasi perkembangan anak.

Pada kenyataannya, keterampilan ini belum banyak dimiliki sekolah kita dan orangtua. Sementara prioritas kalangan kelas menengah bukanlah perkembangan anak yang saya sebutkan tadi, melainkan keterampilan berbahasa Inggris, berhitung, dan membaca. Padahal, menemukan keunikan anak dan memberikan lingkungan sehat untuk tumbuh sangat penting guna meraih keunggulan di masa depan.

Maka, ada dua refleksi. Pertama, saatnya pemerintah membentuk keterampilan observasi para guru dan ini harus menjadi syarat perizinan. Kedua, penting bagi orangtua memilih sekolah yang menaruh perhatian pada kualitas observasi tadi. Jika tidak, dari persyaratan administratif dan fasilitas, JIS pasti akan mudah memenuhinya dalam tempo yang cepat. Artinya, sanksi penutupan tak menimbulkan efek perubahan.

Bisakah kita menjamin hal serupa tak terulang dari sekolah yang guru-gurunya tak memiliki kemampuan observasi andal? Itulah pertanyaan dasar yang harus dijawab Kemdikbud dan dari kebijakan seperti itu sebagai pendidik saya harus mengatakan belum. Artinya, belum ada jaminan anak-anak kita telah berada di tangan yang aman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar