JIS
dan Anak-anak Kita
Rhenald Kasali ; Guru Besar FEUI, Pendiri Rumah Perubahan
|
KOMPAS,
23 April 2014
“MAMA, terima kasih telah mengantarkan Kayla. Aku
mau sekolah dulu ya, Mama pulang aja. Kayla gak takut kok.”
Kalimat
itu saya petik dari novel Bunda Lisa (Jombang Santani Khairen, 2014) yang
menurunkan kisah bunda PAUD yang mendedikasikan hidupnya untuk anak-anak
kampung dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi. Bunda Lisa bukanlah guru
sekolah internasional. Ia sama seperti kita, kelas menengah yang merasa
hidupnya sudah cukup. Namun, ia memiliki keterampilan observasi sehingga
masalah yang dihadapi anak- anak cepat ditangani.
Di
tangan bunda-bunda PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) dan taman kanak-kanak
asuhan Bunda Lisa, anak-anak merasa nyaman dan senang bermain, belajar, serta
membentuk diri.
Bandingkan
dengan ini. ”Dia teriak, stop, don’t do
that, go away for me,” ujar seorang ibu menirukan anaknya yang berperilaku
aneh, takut setiap mau berangkat ke sekolah internasional di Jakarta Selatan.
Belakangan kita baca, anak itu diduga mengalami trauma kekerasan seksual dari
petugas kebersihan sekolah.
Sekolah
Bunda Lisa bukan internasional, tetapi mungkin kualitasnya tak kalah dengan Jakarta International School (JIS)
yang sedang ramai dibicarakan. Guru-gurunya juga hanya ibu-ibu seputar
kampung yang disekolahkan kembali. Namun, dedikasi mereka begitu besar.
Anak-anak diperhatikan secara individu, seorang guru menangani delapan anak
kendati sekolah ini tak memungut bayaran. Tak ada ketakutan yang dibiarkan
hidup dalam keseharian anak-anak. Maka, saat ketakutan menimpa M (6) yang
mengalami kekerasan seksual di sekolah internasional tadi, Bunda Lisa tak
habis pikir bagaimana guru gagal mendeteksi kejadian sebelum anak itu
berbicara. Kalau JIS gagal mendeteksi, apakah sekolah lain tidak?
Pendidikan
anak = observasi
Melalui
surat elektronik yang dikirimkan Bunda Lisa kepada seorang calon guru yang
sedang mengambil pendidikan S-2 di Inggris, saya menemukan penjelasannya.
Mendidik anak-anak usia dini dan TK, katanya, dapat dilakukan dengan berbagai
pendekatan. Yang paling konvensional menggunakan tahap perkembangan anak
berdasarkan usia kronologis. Pendekatan ini banyak dipakai sekolah, tetapi
sering kali menyesatkan. Artinya, kemajuan anak hanya dilihat dari usia
kronologis-normatif.
Namun,
di usia dini, pendidik juga perlu melihat tahap perkembangan fisik atau
biologis, domain perkembangan (afeksi, kognisi, bahasa, psikomotorik, dan
sosial), perkembangan kecerdasan, interaksi sosial, serta kemampuan bermain
dengan media atau alat-alat permainan edukatif. Di Amerika dikenal juga
metode executive functioning.
Karena
itulah pendidikan anak sebenarnya bukan sekadar telling karena fungsi
utamanya adalah membentuk (regulasi diri, fokus, kontrol diri, working memory, dan kemampuan
beradaptasi). Dan, untuk itu diperlukan kekuatan observasi.
Kalau
guru memiliki kemampuan observasi yang kuat, tak satu pun masalah anak luput
dari catatan dan sentuhannya. Guru menjadi orang pertama yang membaca mengapa
anak tiba-tiba menjadi amat takut, sakit, memukul teman-temannya, kurang
bergairah, cerewet, asyik dengan dirinya sendiri, banyak melamun, dan
seterusnya. Kemampuan mengobservasi ini menjadi modal penting seorang
pendidik. Dan, saya percaya sekolah-sekolah internasional punya anggaran yang
cukup untuk melatih guru mengobservasi siswa. Rata-rata seorang guru perlu
belajar enam bulan penuh untuk mengasah kemampuan observasi ini dalam bentuk
praktik.
Ditutup atau dibina
Menjadi
pertanyaan mengapa kejadian yang menimpa M bisa luput dari observasi sekolah?
Bukankah sekolahnya internasional dan bereputasi baik? Lantas, apa yang harus
dilakukan pemerintah? Sekolah tentu tak ingin kehilangan reputasi sehingga
memilih menutup pintunya seketat kedutaan besar asing yang rawan serangan
terorisme. Namun, apa yang harus dilakukan? Bagi saya, kurang tepat Kemdikbud
hanya menghukum dengan menutup sekolah karena masalah izin administratif.
Kasus ini menyimpan pembelajaran besar pentingnya keterampilan observasi
perkembangan anak.
Pada
kenyataannya, keterampilan ini belum banyak dimiliki sekolah kita dan
orangtua. Sementara prioritas kalangan kelas menengah bukanlah perkembangan
anak yang saya sebutkan tadi, melainkan keterampilan berbahasa Inggris,
berhitung, dan membaca. Padahal, menemukan keunikan anak dan memberikan
lingkungan sehat untuk tumbuh sangat penting guna meraih keunggulan di masa
depan.
Maka,
ada dua refleksi. Pertama, saatnya pemerintah membentuk keterampilan
observasi para guru dan ini harus menjadi syarat perizinan. Kedua, penting
bagi orangtua memilih sekolah yang menaruh perhatian pada kualitas observasi
tadi. Jika tidak, dari persyaratan administratif dan fasilitas, JIS pasti
akan mudah memenuhinya dalam tempo yang cepat. Artinya, sanksi penutupan tak
menimbulkan efek perubahan.
Bisakah
kita menjamin hal serupa tak terulang dari sekolah yang guru-gurunya tak
memiliki kemampuan observasi andal? Itulah pertanyaan dasar yang harus dijawab
Kemdikbud dan dari kebijakan seperti itu sebagai pendidik saya harus
mengatakan belum. Artinya, belum ada jaminan anak-anak kita telah berada di
tangan yang aman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar