Jokowi,
Perahu Papua Dikayuh ke Mana?
Frederika Korain ; Alumnus Australia
National University
|
TEMPO.CO,
10 April 2014
Ketika
Jokowi berkampanye ke Jayapura, suami saya menjabat tangan Jokowi di Airport
Sentani. Banyak warga, orang asli Papua maupun pendatang, berebut bersalaman.
Mereka cerita Jokowi keluar lewat ruang kedatangan penumpang umum, bukan VIP
ala kebanyakan pejabat.
Sejumlah
perempuan asli Papua memeluk Jokowi. "Tuhan
memberkati Bapa," kata mereka. Ia menjadi suatu doa dan asa tak
terucap bahwa akan ada perubahan bagi Papua yang adil, damai, dan bermartabat
bila Jokowi terpilih sebagai presiden.
Jokowi
bilang dia mau "menyelesaikan
Papua dengan hati dan kerja nyata, bukan janji-janji". Jokowi bicara
soal pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur.
Bagi
kami, orang Papua, ucapannya mengingatkan pada ungkapan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono ketika berpidato di depan Dewan Perwakilan Rakyat pada 16
Agustus 2011. Yudhoyono bicara "membangun
Papua dengan hati" serta menghormati "hak-hak asasi manusia dan budaya Papua".
Namun tak ada wujud nyata dari janji Yudhoyono. Papua tetap
diurus dengan cara sama sejak Papua dimasukkan dalam administrasi Indonesia
pada 1963. Kekerasan negara tetap ada. Tahanan politik, yang ditiadakan
Presiden Abdurrahman Wahid, meningkat pada era Yudhoyono. Pada 2007,
Yudhoyono mengeluarkan aturan yang larang bendera Bintang Kejora. Ini
menciptakan kekerasan aparat terhadap setiap orang Papua yang menaikkan
bendera Bintang Kejora. Polisi membatasi noken Bintang Kejora, kalung,
gelang, topi, dan lain-lain.
Setiap bulan, setiap minggu, ada orang Papua dipukul tentara, polisi,
atau sipir penjara. Kini, ada 74 tapol tersebar di berbagai penjara di
seluruh Papua. Pemerintahan Yudhoyono berdalih tak ada "tahanan politik" di Indonesia. Ini bohong. Pada 2011,
Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan Filep Karma, seorang tapol di penjara
Abepura, "ditahan
sewenang-wenang" oleh pemerintah. PBB minta Karma dibebaskan, namun
Yudhoyono tak peduli.
Ditambah
lagi dengan eksploitasi sumber daya alam yang tanpa hiraukan hak orang Papua.
Ia terus saja berlangsung dari Teluk Bintuni sampai Merauke. Papua diisolasi dari dunia luar, sejak 1963, dengan
adanya pembatasan terhadap wartawan, akademikus, pekerja kemanusiaan, bahkan
pengamat dari PBB.
Inikah
apa yang disebut Yudhoyono sebagai "menata Papua dengan hati"? Jika Jokowi datang dengan ungkapan sama dengan
Yudhoyono, sulit bagi kami di Papua untuk melihat adanya harapan bagi Papua
yang adil, damai, dan bermartabat. Apalagi Jokowi diusung PDI Perjuangan
dengan rekam jejak gelap di Papua. Presiden Megawati mengeluarkan
Instruksi Presiden Nomor 1/2003, yang memecah Papua menjadi dua provinsi. Ini
langkah awal yang mengacaukan Otonomi Khusus di Papua lewat Undang-Undang
Nomor 21/2001.
Pada masa Megawati, Theys Eluay, pemimpin Papua, dibunuh tujuh prajurit
Kopassus pada 10 November 2001. Proses hukumnya berbelit-belit, hukuman tak
adil, dan bikin luka mendalam di hati rakyat Papua. Dalam periode Megawati,
terjadi pembengkakan militer di Papua: angkatan darat, laut, serta udara.
Ini pekerjaan rumah Jokowi. Masih ada tiga bulan menuju
pemilihan presiden. Kami harap Jokowi menjabarkan kebijakan atas Papua. Dia sebaiknya ikuti PBB agar Papua dibuka kepada dunia
luar. Dia sebaiknya ingat Wahid yang membiarkan Bintang Kejora, lambang
budaya Papua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar