Rabu, 02 April 2014

Jokowi, Ahok, dan Marhaenisme

Jokowi, Ahok, dan Marhaenisme

JJ Rizal  ;   Sejarawan
TEMPO.CO, 01 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Marhaenisme bangkit dari kubur sejarah. Setelah puluhan tahun raib di ruang publik, ujug-ujug Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki T. Purnama, alias Ahok, menggunakannya untuk menerawang dunia batin Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, alias Jokowi. Syukur, akhirnya keluar juga pemikiran penting itu dari seorang pejabat. Padahal, setelah Sukarno dijatuhkan dan semua eksperimen politiknya digulung, mulailah para pejabat diharamkan mengucapkan kata itu. Demikianlah Orde Baru membunuh Marhaenisme.

"Jokowi itu penganut paham Marhaenisme," kata Ahok. Ia lalu menyoroti Marhaenisme seraya mengaitkannya dengan sosok Megawati, Ketua Umum PDI Perjuangan yang dianggapnya sebagai representasi pemikiran Sukarno. "…Mega itu bukan cuma anak biologis Bung Karno, tapi juga anak ideologisnya," ujar Ahok. Jokowi, kata Ahok, melihat Mega sebagai representasi Marhenisme. Sebaliknya, Mega pun melihat jiwa Marhaen dalam Jokowi.

Ahok memang tak secara khusus menelaah Marhaenisme persis yang sudah dilakukan oleh tokoh politik seperti Sarmidi Mangunsarkoro, Soewirjo, Sitor Situmorang, dan Sunawar Sukowati. Bahan untuk memahami pemikiran Ahok itu pun hanya pernyataannya bahwa Marhaenisme adalah paham yang menentang penindasan terhadap rakyat kecil. Paham ini dijadikan ideologi oleh PDI Perjuangan dengan mengacu pada sosok Sukarno.

Singkat, tapi Ahok cukup tepat. Marhaenisme memang paham yang menolak penindasan rakyat kecil. Istilah Marhaenisme dan Marhaen pertama kali disebut dalam pidato Sukarno sebagai ketua PNI (Partai Nasional Indonesia) yang didirikannya pada Juli 1927. Namun, secara resmi istilah Marhaen memperoleh definisi dalam pidato pembelaannya, Indonesia Menggugat, di Bandung pada 1930. Lebih jauh, hal ini dijabarkan dalam "Sukarno, Marhaen, dan Proletar" dalam Pikiran Rakyat pada 1933. Sukarno menyatakan bahwa "pergaulan hidup Marhaen adalah pergaulan hidup yang sebagian besar terdiri dari kaum petani kecil, buruh kecil, pedagang kecil, pelayar kecil; kaum marhaen adalah yang semuanya kaum kecil sengsara dan melarat."

Tapi, Ahok lupa bahwa sebagai ideologi partai, Marhaenisme berakhir dengan berfusinya PNI ke dalam PDI pada 1975. Setelah Soeharto jatuh pada 1998, memang terdapat parpol dan ormas yang se-ideologi dengan Sukarno. Mereka ada yang langsung menyebut diri Marhaenis, seperti PNI Front Marhaen, PNI Massa Marhaen, Partai Rakyat Marhaen, Kesatuan Buruh Marhaenis, dan Keluarga Besar Marhaenis. Tapi, PDI Perjuangan, meskipun getol memasang gambar Sukarno dan mengklaim sebagai partainya wong cilik, tak termasuk yang beralih ideologi ke Marhaenisme.

Hal lain yang dilupakan Ahok adalah kaitan antara Marhaenisme dan Marxisme-Komunisme. Ahok sebagai politikus bisa saja menaruh Marhaenisme sebagai mahkota bagi Jokowi dan Megawati. Bahkan, ia bisa menghiaskannya sebagai "Marhaenis asli" dan Marhaen adalah "roh" mereka. Tapi, masih segar dalam ingatan bagaimana Ahok pada 26 April 2013 dengan nada ketus menyebut wong cilik di sekitar Waduk Pluit yang hendak digusurnya sebagai Komunis. Ia memang meralat dan menyatakan ucapan yang ditujukan kepada LSM yang mengatasnamakan warga Waduk Pluit dan menempuh cara Komunis. Tapi, sikap Ahok mengingatkan kita pada yang disebut Sukarno komunisto-phobi.

Ahok lupa bahwa akar Marhaenisme adalah keyakinan pemikiran Marxis-Komunis, seperti juga Islam dan Nasionalis adalah syarat mutlak jika ingin mencapai cita-cita kemerdekaan. Sukarno juga mendukung ketika pada 1964 timbul penafsiran Marhaenisme adalah Marxisme-Komunisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi di Indonesia. Penulis biografi politiknya, Bernard Dahm, menyatakan Sukarno percaya komunisme adalah avant-garde yang dibutuhkan untuk melaksanakan keadilan sosial dan kemakmuran rakyat. Karena itulah Sukarno selepas Gestok 1965 berkukuh menolak membubarkan PKI (Partai Komunis Indonesia).

Sukarno pun kerap mewanti-wanti masyarakat agar jangan bersikap komunisto-phobi dan memahami betul bahwa gagasan Marhaenisme adalah hogere optrekking atau peningkatan ke derajat yang lebih tinggi dari metode berjuang serta berpikir Marxis-Komunis. Bahkan, Sukarno mengatakan bahwa Pancasila hogere optrekking dari Declaration of Independent dan Communist Manifest.

Dalam amanat pada gemblengan pendidikan kader pelopor Marhaenis 24-25 Maret 1965 di Jakarta, Sukarno menyatakan Marhaenis tidak hanya terdapat dalam PNI, tapi ada pula dalam partai lain. Sukarno pun menegaskan barangsiapa bersikap komunisto-phobi dan tidak bersifat progresif revolusioner adalah Marhaenis gadungan. Berlatar belakang itu, apakah Ahok bisa disebut Marhaenis gadungan?

Mungkin tidak harus sejauh itu, tapi jelas Ahok adalah gambaran, yang disebut Syafi'i Ma'arif dalam Menggugat Nurani Bangsa, sebagai tipe pemimpin lemah karakter karena tak cukup mengaitkan diri dengan darah-daging pemikiran yang membentuk Indonesia. Keretakan antara kata dan laku adalah salah satu gejala utamanya. Masalah dalam sisi moral-psikologis ini dialami oleh banyak politikus kini dan sangat perlu untuk dicari pemecahannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar