Jokowi,
Ahok, dan Marhaenisme
JJ Rizal ; Sejarawan
|
TEMPO.CO,
01 April 2014
Marhaenisme
bangkit dari kubur sejarah. Setelah puluhan tahun raib di ruang publik,
ujug-ujug Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki T. Purnama, alias Ahok,
menggunakannya untuk menerawang dunia batin Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo,
alias Jokowi. Syukur, akhirnya keluar juga pemikiran penting itu dari seorang
pejabat. Padahal, setelah Sukarno dijatuhkan dan semua eksperimen politiknya
digulung, mulailah para pejabat diharamkan mengucapkan kata itu. Demikianlah
Orde Baru membunuh Marhaenisme.
"Jokowi itu penganut paham Marhaenisme," kata
Ahok. Ia lalu menyoroti Marhaenisme seraya mengaitkannya dengan sosok
Megawati, Ketua Umum PDI Perjuangan yang dianggapnya sebagai representasi
pemikiran Sukarno. "…Mega itu
bukan cuma anak biologis Bung Karno, tapi juga anak ideologisnya,"
ujar Ahok. Jokowi, kata Ahok, melihat Mega sebagai representasi Marhenisme.
Sebaliknya, Mega pun melihat jiwa Marhaen dalam Jokowi.
Ahok
memang tak secara khusus menelaah Marhaenisme persis yang sudah dilakukan
oleh tokoh politik seperti Sarmidi Mangunsarkoro, Soewirjo, Sitor Situmorang,
dan Sunawar Sukowati. Bahan untuk memahami pemikiran Ahok itu pun hanya
pernyataannya bahwa Marhaenisme adalah paham yang menentang penindasan
terhadap rakyat kecil. Paham ini dijadikan ideologi oleh PDI Perjuangan
dengan mengacu pada sosok Sukarno.
Singkat,
tapi Ahok cukup tepat. Marhaenisme memang paham yang menolak penindasan
rakyat kecil. Istilah Marhaenisme dan Marhaen pertama kali disebut dalam
pidato Sukarno sebagai ketua PNI (Partai Nasional Indonesia) yang
didirikannya pada Juli 1927. Namun, secara resmi istilah Marhaen memperoleh
definisi dalam pidato pembelaannya, Indonesia Menggugat, di Bandung pada
1930. Lebih jauh, hal ini dijabarkan dalam "Sukarno, Marhaen, dan Proletar" dalam Pikiran Rakyat pada
1933. Sukarno menyatakan bahwa "pergaulan
hidup Marhaen adalah pergaulan hidup yang sebagian besar terdiri dari kaum
petani kecil, buruh kecil, pedagang kecil, pelayar kecil; kaum marhaen adalah
yang semuanya kaum kecil sengsara dan melarat."
Tapi, Ahok lupa bahwa sebagai ideologi partai, Marhaenisme
berakhir dengan berfusinya PNI ke dalam PDI pada 1975. Setelah
Soeharto jatuh pada 1998, memang terdapat parpol dan ormas yang se-ideologi
dengan Sukarno. Mereka ada yang langsung menyebut diri Marhaenis, seperti PNI
Front Marhaen, PNI Massa Marhaen, Partai Rakyat Marhaen, Kesatuan Buruh
Marhaenis, dan Keluarga Besar Marhaenis. Tapi, PDI
Perjuangan, meskipun getol memasang gambar Sukarno dan mengklaim sebagai
partainya wong cilik, tak termasuk
yang beralih ideologi ke Marhaenisme.
Hal lain yang dilupakan Ahok adalah kaitan antara Marhaenisme dan
Marxisme-Komunisme. Ahok sebagai politikus bisa saja menaruh
Marhaenisme sebagai mahkota bagi Jokowi dan Megawati. Bahkan, ia bisa
menghiaskannya sebagai "Marhaenis asli" dan Marhaen adalah
"roh" mereka. Tapi, masih segar dalam
ingatan bagaimana Ahok pada 26 April 2013 dengan nada ketus menyebut wong cilik di sekitar Waduk Pluit yang
hendak digusurnya sebagai Komunis. Ia memang meralat dan menyatakan ucapan
yang ditujukan kepada LSM yang mengatasnamakan warga Waduk Pluit dan menempuh
cara Komunis. Tapi, sikap Ahok mengingatkan kita pada yang disebut
Sukarno komunisto-phobi.
Ahok
lupa bahwa akar Marhaenisme adalah keyakinan
pemikiran Marxis-Komunis, seperti juga Islam dan Nasionalis adalah
syarat mutlak jika ingin mencapai cita-cita kemerdekaan. Sukarno juga mendukung
ketika pada 1964 timbul penafsiran Marhaenisme adalah Marxisme-Komunisme yang
diterapkan sesuai dengan kondisi di Indonesia. Penulis biografi
politiknya, Bernard Dahm, menyatakan Sukarno percaya komunisme adalah avant-garde yang dibutuhkan untuk
melaksanakan keadilan sosial dan kemakmuran rakyat. Karena itulah Sukarno
selepas Gestok 1965 berkukuh menolak membubarkan PKI (Partai Komunis
Indonesia).
Sukarno
pun kerap mewanti-wanti masyarakat
agar jangan bersikap komunisto-phobi dan memahami betul bahwa gagasan
Marhaenisme adalah hogere optrekking
atau peningkatan ke derajat yang lebih tinggi dari metode berjuang serta
berpikir Marxis-Komunis. Bahkan, Sukarno
mengatakan bahwa Pancasila hogere
optrekking dari Declaration of
Independent dan Communist Manifest.
Dalam
amanat pada gemblengan pendidikan kader pelopor Marhaenis 24-25 Maret 1965 di
Jakarta, Sukarno menyatakan Marhaenis tidak hanya terdapat dalam PNI, tapi
ada pula dalam partai lain. Sukarno pun menegaskan barangsiapa bersikap
komunisto-phobi dan tidak bersifat progresif revolusioner adalah Marhaenis
gadungan. Berlatar belakang itu, apakah Ahok bisa disebut Marhaenis gadungan?
Mungkin
tidak harus sejauh itu, tapi jelas Ahok adalah
gambaran, yang disebut Syafi'i Ma'arif dalam Menggugat Nurani Bangsa, sebagai tipe
pemimpin lemah karakter karena tak cukup mengaitkan diri dengan darah-daging
pemikiran yang membentuk Indonesia. Keretakan antara kata dan laku
adalah salah satu gejala utamanya. Masalah dalam sisi moral-psikologis ini
dialami oleh banyak politikus kini dan sangat perlu untuk dicari
pemecahannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar