Gelar
Akademis dalam Kampanye
Antyo Rentjoko ; Mantan Blogger
|
TEMPO.CO,
01 April 2014
Papan
pemeragaan Pemilu 2014 itu dicoblos oleh Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Umum
DPP Demokrat, di Tulungagung, Jawa Timur, Selasa 18 Maret lalu. Semua nama
calon legislator dalam kartu suara raksasa itu bertulisan "Prof. Dr. Ir. Calon Anggota
DPR"-semuanya dalam huruf kapital. Kalau nama itu dieja jadilah "profesor doktor insinyur calon
anggota dé-pé-èr". Semuanya sama. Lalu jadilah tampak generik, mirip
spesifikasi suku cadang. Lalu, apanya yang menarik? Ada tiga tilikan.
Pertama:
orang tahu, pada awal pembentukannya, Demokrat memang lekat dengan citra
akademis. Banyak doktor dan guru besar bergabung di dalamnya. Kedua: memang
jamak jika dalam kampanye pemilihan legislatif ataupun kepala daerah gelar
akademis ditampilkan. Ada kesan kalau gelar lebih dari satu itu mentereng.
Namun, sejauh saya lihat, beberapa materi pencitraan diri caleg ataupun calon
bupati dan calon wali kota tak ada yang berfoto di perpustakaan pribadinya.
Mungkin perpustakaan dianggap sebagai dunia kaum menak, jauh dari hamba
sahaya.
Ketiga:
di luar urusan pemilu, masyarakat kita sangat menghargai gelar akademis.
Dengan demikian, undangan pernikahan pun menjadi dokumen perkawinan akademis.
Dalam bahasa humor pemandu acara, "Inilah
pernikahan daripada Insinyur Bambang Hartono melawan Doktoranda Sri
Rahayu." Melawan? Memangnya tinju? Lagi pula insinyur dan doktoranda
itu gelar lama-kecuali pengantinnya sudah tua.
Gelar
akademis dan profesi memang penting dalam masyarakat. Siapa pun yang memiliki
gelar, secara legal dan bermartabat, tentu berhak memasangnya untuk urusan
apa pun. Bahwa seorang Fuad Hassan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
tetap tak mencantumkan gelar ketika menandatangani Kepmen 036/U/1993 tentang
Gelar dan Sebutan Lulusan Perguruan Tinggi, anggap saja dia menempatkan diri
sebagai birokrat, bukan dosen.
Cara
Fuad yang tanpa gelar juga dilakukan oleh Satryo Soemantri Brodjonegoro (Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi,
1999-2007). Semua dokumen dinas tak memuat gelar "Prof. Dr. Ir.". Tentulah mau pasang gelar atau tidak
itu soal pilihan. Menjadi tak elok jika mereka yang mendapatkan gelar dengan
membeli pun memajangnya dengan rasa penuh wibawa.
Pada
gilirannya adalah bisnis. Cobalah Anda ketik "jual ijazah" dalam
Google, muncullah sejumlah penyedia. Ada yang menawarkan ijazah S-1 dan S-2
seharga Rp 2-3,5 juta. Murah nian. Menurut pontianak.tribunnews.com, Kamis,
16 Januari 2014, ijazah palsu di Kalimantan Barat juga diminati caleg. Ongkosnya
Rp 15-30 juta. "Untuk jurusan,
bisa sarjana hukum, fisipol, banyaklah, tinggal milih saja,"
demikian Tribun mengutip perkataan seorang caleg berinisial Mar.
Dari
pasar ijazah di internet itu, sejauh saya lihat sekilas, tak ada yang
menawarkan gelar berlatar keilmuan tertentu, semisal matematika, fisika,
astronomi, filsafat, arkeologi, dan antropologi.
Eh, tapi
kalau menilik kampanye, benarkah masyarakat mencoblos seorang kandidat karena
sebelumnya terkesan oleh gelarnya? Apakah gelar menjadi nilai plus selain
cita-cita politik yang ditawarkan oleh kandidat? Jika ya, berarti dakwaan
bahwa masyarakat kita kagum gelar adalah benar. Yang diperlukan tinggal
peningkatan kawaskitan dan kecendekiawanan dari setiap pengusung gelar. Jika
tidak, berarti pencantuman gelar tak membawa manfaat. Lalu, buat apa
merangkai gelar sampai berganda? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar