Jangan
Lagi Salah Memilih Presiden
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR RI,
Wakil Ketua
Umum Kadin Indonesia dan Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
|
KORAN
SINDO, 15 April 2014
Mewujudkan
kesejahteraan rakyat butuh perubahan pendekatan dalam pembangunan ekonomi
nasional. Rakyat sudah memberi pesan sekaligus menanam benih perubahan itu
dalam pemilihan anggota legislatif (pileg) yang sekaligus menentukan partai
pemenang pemilu barubaru ini.
Elite
politik terutama partai pemenang pemilu tersebut, harus mampu memaknai
tuntutan perubahan itu. Tuntutan itu sederhana saja. Pembangunan nasional
harus fokus membangun manusia Indonesia dalam arti sebenar-benarnya. Pada
aspek pangan, konteksnya tidak hanya cukup, tetapi juga terjangkau. Tidak
seperti kondisi terkini; stok bahan pangan dikatakan mencukupi, tetapi daya
beli sebagian besar rakyat yang rendah tak bisa menjangkau harga sejumlah
komoditi bahan pangan.
Misalnya,
harga daging sapi yang masih sangat mahal. Tak kalah pentingnya adalah aspek
papan atau perumahan rakyat. Masih banyak warga di banyak daerah, termasuk
perkotaan seperti Jakarta, yang bermukim di rumah tak layak huni. Selain itu,
pembangunan nasional pada akhirnya juga harus mampu memberi jaminan dan
layanan kesehatan yang layak bagi semua lapisan masyarakat. Dan, semua anak
usia belajar harus mendapat akses mengikuti kegiatan belajar hingga perguruan
tinggi.
Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi tidaklah cukup. Pertumbuhan ekonomi harus berkualitas
agar bisa menyelesaikan sejumlah masalah, seperti terciptanya lapangan kerja
baru dan memperkecil kesenjangan pendapatan. Pembangunan tidak boleh lagi
terpusat di Jawa. Berapa pun biayanya, negara harus berani membangun pusat-
pusat pertumbuhan baru, utamanya di Indonesia bagian timur dan tengah.
Seperti itulah kurang lebih tuntutan perubahan yang dikehendaki rakyat.
Memang,
beberapa program pembangunan yang menyentuh langsung kepentingan rakyat sudah
diterapkan. Tetapi realisasinya masih sangat terbatas, dan sekilas penuh
hambatan, utamanya karena human error atau korupsi. Namun, faktor hambatan
ini tak bisa dijadikan alasan. Negara cqpemerintah harus mampu memastikan
semua program yang berkait dengan ambisi membangun manusia itu harus berjalan
lancar dan tepat sasaran. Artinya, pemerintah harus efektif. Pileg 2014
memunculkan dua pesan.
Pertama,
menja-tuhkan hukuman kepada partai pemerintah. Kekalahan telak partai
pemerintah mencerminkan ketidakpuasan rakyat. Mungkin benar bahwa per
statistik, pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata di atas lima persen dalam
beberapa tahun belakangan ini. Namun, rakyat merasakan sendiri bahwa
tingginya pertumbuhan itu tidak bertransmisi pada kesejahteraan banyak orang.
Itu sebabnya, masyarakat tidak antusias menyikapi pertumbuhan yang tinggi
itu. Bahkan, sering muncul pertanyaan: seperti apa sih nilai tambah
pertumbuhan itu bagi rakyat kebanyakan?
Pesan
kedua, harus ada perubahan pendekatan dalam pembangunan nasional. Pembangunan
harus fokus pada pembangunan manusia Indonesia. Itulah kehendak rakyat yang
semestinya didengar oleh semua partai politik (parpol) yang akan menentukan
arah perubahan dalam lima tahun ke depan. Karena itu, rangkaian proses
politik pasca-Pileg 2014 hendaknya mengacu pada tuntutan perubahan itu. Pileg
2014 yang terlaksana dengan sukses memang belum cukup untuk menetapkan arah
perubahan.
Apalagi,
hitung cepat (quick count) atas
hasil pileg tidak memperlihatkan satu pun parpol yang memenuhi syarat untuk
sendirian mengajukan calon presiden. Jika ada satu-dua parpol mampu memenuhi
persyaratan, masyarakat mungkin sudah bisa membaca peta perubahan yang akan
ditawarkan. Bagi komunitas pemilih, tawar-menawar koalisi antarparpol yang
sedang berlangsung sekarang ini barangkali membosankan.
Sebagian
orang bahkan mungkin menilai proses itu bertele-tele dan tidak produktif.
Akan tetapi, proses itu memang tak terhindarkan. Undang-undang tentang
pemilihan presiden mengharuskan proses itu dijalani. Koalisi harus dijajaki
untuk menemukan pasangan calon presiden-wakil presiden (capres/cawapres).
Dari capres itulah, rakyat akan membaca perubahan seperti apa yang
ditawarkan.
Kualitas dan Efektivitas
Selama
10 tahun terakhir, publik sering mengeluhkan pemerintahan yang lemah, lamban,
bahkan tidak responsif. Keluhan ini tidak hanya dialamatkan ke pemerintah di
tingkat pusat, melainkan juga ke banyak pemerintah daerah. Persepsi ini
hendaknya digarisbawahi betul oleh sejumlah parpol yang sedang menjajaki
koalisi untuk membentuk pemerintahan baru.
Pemerintahan
yang lemah, lamban dan tidak responsif sudah menggambarkan rendahnya kualitas
sumber daya manusia (SDM) pemerintahan itu. Sudah pasti bahwa figur-figur yang
ditunjuk menduduki jabatan-jabatan pemerintahan adalah para cerdik pandai
dalam bidangnya. Tetapi dalam konteks memerintah dan mengelola berbagai aspek
kepentingan rakyat, mereka tidak memenuhi kualifikasi ahli. Itu sebabnya
keputusan mereka sering sembrono karena kalkulasinya asal-asalan.
Coba
maknai kebijakan menaikkan harga gas elpiji awal 2014, kebijakan pengadaan
daging sapi impor hingga pengadaan komoditi kedelai. Kesalahan ini hendaknya
tidak berulang. Karena itu, parpol yang tengah menjajaki koalisi jangan
sampai hanya fokus pada sosok capres dan cawapres, tetapi juga peduli pada
aspek mutu SDM kabinet. Pintar saja tidak cukup. Kabinet harus ahli
memerintah dan berani menggunakan wewenang demi kemaslahatan rakyat.
Tak
kalah pentingnya adalah kualitas SDM pemerintah daerah (pemda). Kendati
otonomi daerah sudah diberlakukan, pemerintah pusat di Jakarta harus peduli
juga terhadap kualitas SDM pemda. Progres pembangunan di banyak daerah sangat
lamban karena SDM pemda belum mumpuni. Itu sebabnya gejala lambannya
penyerapan anggaran di banyak daerah sudah menjadi penyakit menahun.
Sangat
prihatin melihat infrastruktur jalan dan jembatan seperti tak tersentuh
program pembangunan daerah. Kalau ruas jalan di jalur pantura Jawa
terus-menerus rusak parah karena ketidakpedulian pemerintah, pasti banyak
ruas jalan dan jembatan di daerah lain yang nasibnya lebih buruk. Karena
keterbatasan kualitas SDM itu, pembangunan dan perbaikan infrastruktur di
banyak daerah menuntut efektivitas koordinasi pusat-daerah.
Kalau
pemerintah pusat lepas tangan dengan alasan otonomi daerah, rakyat lagi-lagi
akan merasa bahwa peran pemerintah tidak efektif. Benar bahwa warga lokal
akan mengecam pemda, tetapi pemerintah pusat pun akan dinilai tidak efektif
karena tidak peduli. Karena itu, untuk pembangunan dan perbaikan
infrastruktur, aspirasi daerah hendaknya didengar dan disikapi dengan
bijaksana.
Bagaimana
strategi memerangi kemiskinan di negara ini? Publik pun masih harus menunggu
sampai parpol dan capres memaparkan programnya. Untuk masalah ini, program
yang ditawarkan hendaknya solutif, bukan lagi sumbangan sesaat atau iming-iming. Jangan sampai pemerintah
baru mencari pinjaman luar negeri untuk dibagi-dibagikan kepada warga miskin.
Sudah terbukti bahwa program bantuan langsung tunai (BLT) yang dibiayai
dengan pinjaman luar negeri sama sekali tidak bisa mengatasi masalah
kemiskinan di Indonesia.
Bergiat
membangun infrastruktur di semua pelosok dan menghadirkan lebih banyak
investor di daerah jauh lebih efektif memerangi kemiskinan. Banyak investor
sudah membidik potensi usaha di sejumlah daerah, termasuk di Indonesia bagian
timur. Mereka akan merealisasikan minat investasi jika infrastruktur di
daerah bersangkutan sudah memadai. Jadi, jelas bahwa kunci mewujudkan pusat
pertumbuhan baru adalah merealisasikan pembangunan infrastruktur.
Sebaliknya,
kalau infrastruktur di Indonesia tengah dan timur tidak segera dibangun,
diperbaiki, serta dilengkapi, angkatan kerja baru dari dua wilayah itu akan
terus bergerak masuk ke pusat-pusat pertumbuhan di Jawa dan Sumatera. Maka
itu, membangun pusat pertumbuhan baru adalah solusi lain memerangi
kemiskinan. Pun efektif memperkecil ketimpangan antarwilayah.
Mudah-mudahan,
masalah ini masuk dalam agenda para capres yang bakal diusung oleh partai
pemenang pemilu, maupun gabungan partai-partai yang lolos ambang batas pemilu
legislatif 9 April 2014 yang lalu. Indonesia hebat, hanya bisa diwujudkan
apabila dipimpin oleh orang hebat. Pertanyaannya, apakah kita sudah memiliki
calon pemimpin (capres/cawapres) yang hebat?
Hebat
karena rekam jejak dan jam terbangnya. Bukan hasil olahan pencitraan
habis-habisan seperti pemimpin sebelumnya. Semoga kali ini rakyat Indonesia tidak
lagi salah memilih presidennya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar