Kamis, 17 April 2014

Iklan, Konsumsi dan Mal

Iklan, Konsumsi dan Mal

Mudji Sutrisno  ;   Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pascasarjana UI, Budayawan
KORAN SINDO, 17 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Lifestyle atau gaya hidup merupakan salah satu cara bersikap yang dipakai oleh orang tertentu ketika ia mau tampil layak dan aktual di hadapan orang-orang lain. Seharusnya gaya hidup merupakan rentetan pengolahan sikap menghayati hidup dengan pertimbangan akal budi mengenai cocok tidak dengan ”posture” (bentuk fisik); tingkat pendidikan keadaan sosial (strata) di masyarakat serta pula cita-cita ke depan mengenai makna atau arti hidup misalnya sebagai orang Indonesia yang kelas menengah sosial serta mau tampil modern dan rapi cerdas sebagai cita-cita.

Yang seharusnya ini lalu ditampilkan sebagai gaya hidup dalam cara berpakaian; pilihan selera makan; pilihan bacaan koran, majalah atau buku; pilihan lagu-lagu lalu kesemuanya ditampilkan secara fisik dengan mode dan ”gaya” tertentu atau ”tren” tertentu. Di sini ada tiga sikap mengolah gaya hidup seseorang. Yang pertama, sikap seleksi dalam gaya hidup. Artinya, orang itu berpendirian terhadap arus mode yang ada dan hanya memilih yang baik, cocok dengan kepribadiannya.

Seleksi pertimbangannya adalah pribadinya yang cerdas dan nuraninya dalam tampil terhormat dan berharkat. Yang kedua, sikap adaptasi yang berarti menyesuaikan terus-menerus dengan tawarantawaran ide dan citra modis dan pria tampan atau perempuan cantik yang sebagian disesuaikan kondisi diri orang itu, keluarganya dalam kondisi ekonomi, sosial, dan kultural. Adaptasi merupakan sikap tengah-tengah antara seleksi dan nanti yang ketiga adalah imitasi.

Bandingkan pokok-pokok ini dengan perilaku sosial. Yang ketiga adalah sikap imitasi dalam gaya hidup. Inilah gaya hidup menirukan, membuat citra diri seseorang tiap kali diimitasikan dengan tokoh publik, bintang atau arus mode dan gaya paling mutakhir, lalu dilahap dan ditirulah setotal-totalnya.

Pada sikap ketiga, yaitu imitasi inilah kebanyakan orang dengan meniru gaya hidup idolanya atau kelas glamor idola dengan kesamaan makanan, gaya pakaian, gaya rambut, bahkan segisegi yang secara sengaja ditawarkan oleh pasar iklan sebagai pencipta citra atau ”trend setter” diambil dan dipakai sebagai cara hidup dan bergaya dalam hidup.

Ketika penentu gaya hidup yang dominan adalah pasar dengan iklan dan nilai konsumsi yang dipompa terus untuk terus membeli yang baru; terus tampil modern, berakibat konsumtifnya gaya hidup. Karena penampilan dibayar amat mahal dengan membeli terus mode pakaian terbaru, peralatan kecantikan terbaru, mobil dan aksesoriaksesori untuk tampil elegan, padahal jati diri penampilan yang sebenarnya tetaplah dari jiwa yang dewasa dan kecantikan dari dalam kepribadian seseorang.

Mengapa imitasi gaya hidup kelas selebriti dan idola yang dijual pasar menjadi identitas populer bersama dengan cepat? Sebab, pencipta jualan gaya hidup dalam citra/idola-idola iklan sengaja merangsang nafsu terus membeli dan keinginan tampil baru yang naluriah dimiliki manusia?

Dengan menghujani terus lewat pelipatgandaan bertubi-tubi pada nafsu ini, tidak sempat lagi akal menyeleksi dan terburailah (terangsanglah) nafsu konsumsi yang kemudian sebagai gaya hidup dikatakan: saya baru bermakna dan ada artinya keberadaan saya bila saya membelinya! ”I buy therefore I exist”: saya hanya berarti bila aku membelinya! Gaya hidup konsumtif hasil pasar iklan ini paling banyak menghujani generasi remaja dan anak ketika pendidikan kepribadian dewasa untuk sikap seleksi tidak ditanam dalam proses lama sejak dini.

Sebab ketika teman-teman si anak di SD dalam gaya kelas menengah hampir semua memakai gaya tas Tweety atau sepatu Nike, maka salah satu anak yang belum memakainya akan merasa belum berarti di hadapan teman-temannya. Gejala seperti inilah yang menunjukkan bahwa sikap imitasi dalam gaya hidup sudah menuju lampu merah peringatan akan pentingnya penanaman sikap percaya diri, dalam melakukan seleksi dengan budi untuk tampil diri dari kecantikan ”dalam” atau jiwa pribadi.

Konsumsi

Menurut George Ritzer (lihat G Ritzer, McDonaldization: 2006) konsep gaya hidup itu masuk dan merambah lewat ‘media presence’ yaitu televisi, film, internet yang menerobos ruang imaji lebih cepat dan lebih telak dari ”material Reality Presences atau Physical Presences”. Ada tiga mediumnya sebagai serbuan ruang publik.

Pertama, kehadiran restoran-restoran cepat saji; kedua, kartu kredit atau ATM, dan ketiga ”katedral” konsumsi sebagai simbol eksistensi gaya hidup dan tampil anggun apabila sudah memakai dan membeli gaya hidup dan mengonsumsi yang ditawarkan dalam ”I Consume Therefore I Exist”. Fenomena pertama, dalam tahun-tahun terakhir kehadiran restoran-restoran cepat saji. Amerika langsung mendorong negara-negara lain meniru cara-cara manajemen bisnis Amerika soal makanan cepat saji. Tidak hanya terjadi paradoks di mana pesona masak-memasak manusiawi untuk ”kuliner” dilenyapkan, diganti pesona baru kerja cepat terhidang, pelayan-pelayan berseragam yang terampil dan dimisteriuskannya proses ramuan saji cepat dalam eksotisme baru yang menyedot konsumsi generasi muda untuk menyandang gaya hidup gaul bila sudah nongkrong di sana.

Yang kedua, ATM atau kartu kredit menjadi simbol internasionalisasi bukti pembayaran yang ”gagah”, penuh pesona bahkan ”irasional” bila di dalamnya penuh utang yang terus- menerus boros habis, baru sadar bila ditagih oleh ‘debt collector’. ATM adalah kartu “utang” secara riil dalam transaksi namun terselubung dalam simbol eksotis gaya hidup dan gaya membeli sebagai yang beruang (tapi berhutang!)

Yang ketiga, ”katedral-katedral” konsumsi tempat merayakan konsumsi sebagai ritual gaya dan penghayatan mengonsumsi sebagai simbol ”agama” baru, yaitu konsumerisme dalam kapitalisme. Mal, dengan pemusatan toko hiburan, pemenuhan hasrat makan, hasrat menonton dengan nikmat dan hasrat tampil bergaya dengan melenggang ceria, bahkan ”show” apa yang sedang dipakai di ruang publik menjadikan mal sebuah panggung ”cat walk” kelas tengah ke atas dan punya penikmatan gaya hidup minum kafe, makanan ”junk food” simbol kemajuan dan pergaulan urban/kota.

Belanja atau keliling mal dengan melihat etalase-etalase berjam-jam telah menyita waktu kreatif. Jalan-jalan di taman kebun, museum budaya atau seni yang kultural diganti ekonomi kapital di ”shopping centers”. Yang keempat, pusat-pusat perbelanjaan dalam mal dan maraknya model ”discount” di mal-mal itu telah menggusur ruang publik belanja di pasar-pasar tradisional.

Pasar tradisional kalah bersaing tidak hanya oleh kepastian standar barang yang dijual; kualifikasi kedaluwarsa tidaknya dengan stiker jelas bisa dipakai sampai tanggal berapa, tetapi pula rasa psikologis aman berbelanja jenis makanan dari pembeli karena jelas tidak usah tawar-menawar harga. Ruang publik taman kota, kebun binatang, atau museum terkurangi dikunjungi karena pusat belanja mal dilengkapi dengan pusat-pusat ”teater bioskop, ”entertainment places”; bookstore serta menjadi wahana jalan-jalan dari sarana berbelanja menjadi tujuan.

Mengisi waktu di hari Minggu atau hari senggang seluruhnya. Jadilah jalan-jalan sambil konsumsi dan menikmati hari libur menjadi satu proses. Gaya hidup konsumsi yang dipenuhi semuanya (oleh pusat-pusat).

Oleh pusat-pusat, belanja ini dari ”pemenuhan hasrat konsumsi; kebutuhan mata inderawi cuci mata; sampai intelektual bacaan serta hasrat makan dan minum yang semuanya dikemas menjadi kebutuhan rutin setiap ”akhir pekan” tanpa terasa, tanpa sadar mereduksi ruang-ruang batin sadar mereduksi ruang-ruang batin dan publik manusia hanya melulu satu dimensi yaitu ”konsumsi”, (Herbert Marcuse, One dimensional Man, 1981).

Daya Sihir Mal

Jon Goss dalam tulisannya berjudul: ”The Magic of the Mall”: an analysis of form, function and meaning in the contemporary retail built environment (2005). Diberi pengantar editor sbb: ”para pengiklan berusaha menyatukan komoditas dengan simbol-simbol budaya yang umum dipahami dengan harapan tidak cuma memenuhi kebutuhan konsumen mengenai komoditasnya tetapi agar konsumen mengidentifikasi diri dengannya.

Maka ”you are what you buy”: identitasmu melekat tampil pada apa yang kau beli harus ditambah langsung dengan ”Anda membelinya dimana”? maka bangunan mal, letaknya, dirancang untuk mendorong pembeli mengejarnya dan merasa bergengsi di tempat mal ”belanjaannya”.
                                  
Mal adalah mesin ajaib untuk belanja yang dimanipulasi hasratnya dengan arsitektur, set lokasi, lanskap simbolik, hingga sekaligus mengalami fantasi belanja di mal yang menggabungkan rasa belanja di ruang-ruang yang bersejarah tapi sudah dikemas eksotis memenuhi hasrat belanja, jalan-jalan, nonton dan tampil diri sebagai identitas dengan menaruh mal di lanskap budaya pop yang menyatukan kepuasan pemenuhan hasrat ruang privat dan ekspresi citra ruang publik sebagai ”gaul”, mampu beli gaya hidup ‘modern’.

Dari sisi politik ekonomi: tempat seperti mal merupakan ‘political fact’, artinya, tempatnya di tangan kontrol kelas yang sedang berkuasa secara birokratis dan pemilik modal. Untuk membangun tempat eksotis buat pusat belanja pengembang memanipulasi nostalgia kaum modernis maju yang mendamba akan komunitas otentik yang khas sesuai stratifikasi sosial dan pemilikan.

Mentransformasi kenangan lalu pasar-pasar tradisional sebagai ”centrum” komunitas, kini diciptakan lanskap dengan nostalgia ekologis hijau dalam misalnya ”Country Club Plaza” di kota Kansas. Maka ”ShoppingTowns” would be not only pleasant places to shop, but also centers of cultural enrichment, education and relaxation, a suburban alternative to the decaying downtown” (Gruen and Smith, 1960, ”Shopping Towns USA”: New York).

Ingatlah langsung China Town di Cibubur; American Cities dan imaji-imaji Eropa yang dibangun di sana! Sebuah ruang imaji acuan kota-kota wisata Eropa yang diwujudkan di Cibubur serta Suburban Jakarta.

Ruang publik yang diwujudkan oleh ideologi nostalgia kenangan kunjungan-kunjungan kota-kota anggun Eropa atau pusat-pusat dunia dipadukan dengan jalan setapak yang hilang karena di Jakarta selalu bermobil!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar