Pesawat
untuk Presiden
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 17 April 2014
Usai
Pemilu Legislatif (Pileg) pada 9 April 2014 lalu, masyarakat kita punya bahan
gunjingan baru: Pesawat kepresidenan. Untung, pesawat itu datang pascapileg.
Jika sebelumnya, bukan tak mungkin pesawat itu dijadikan bahan kampanye
partai-partai politik. Semasa kampanye, apa pun sah dijadikan bahan untuk
menyerang pihak lain. Pesawat kepresidenan jenis Boeing Business Jet2 (BBJ2)
seri 737-800 dibeli dengan harga Rp820 miliar dan dilengkapi berbagai
fasilitas standar untuk kepala negara. Misalnya, ruang-ruang rapat VVIP,
tempat tidur, dan kamar mandi. Pesawat mampu menampung 67 penumpang.
Ukuran
ini bagus untuk membatasi rombongan kepala negara. Maklum, ke mana pun
presiden pergi, yang mau ikut banyak sekali. Sudah ada menteri, wartawan, dan
paspampres, ada pula anggota parlemen, baik yang pendukung maupun yang gemar
mengkritik. Kadang ada pula kerabat pejabat, pengusaha,
danaktivisyangikutdiajak. Totalnya bisa dua ratusan orang sekali jalan. Kini
pesawat itu disimpan di Bandara Halim Perdanakusuma.
Pilot untuk
mengemudikan pesawat ini berasal dari TNI Angkatan Udara (TNI AU). Lalu,
untuk perawatannya juga dikelola TNI AU dan PT Garuda Indonesia Tbk. Kembali
ke soal gunjingan tadi, kita bisa tersenyum-senyum sendiri atau malah lelah
mendengarnya. Nadanya terbagi dalam dua kelompok: yang pro dan kontra. Mereka
yang pro berpendapat, Indonesia adalah negara besar. Saat ini kita menempati
peringkat ke-17 negara terbesar di dunia dan pada 2030 diproyeksikan naik
posisi keenam.
Sebagai
negara besar, wajar jika kita memiliki pesawat kepresidenan. Selain itu,
dengan memiliki pesawat sendiri, Istana juga akan menghemat anggaran Rp114
miliar per tahun. Selama ini jika melakukan kunjungan entah ke dalam atau ke
luar negeri, presiden dan rombongannya menyewa pesawat dari Garuda Indonesia.
Biaya
sewanya, itu tadi, Rp114 miliar per tahun. Dengan memiliki pesawat sendiri,
Istana tak perlu lagi mengalokasikan biaya sewa. Entahlah kalau ternyata
rombongan lain harus ikut dengan menyewa pesawat ekstra lagi.
Dengan
harga pesawat Rp 820 miliar, jika penghematan Istana yang Rp114 miliar
dialokasikan untuk mencicil biaya pembelian pesawat kepresidenan, berarti
hanya dalam tempo tujuh tahun dua bulan cicilan tersebut sudah lunas. Garuda
Indonesia juga tak perlu repot mengalokasikan pesawat untuk rombongan
presiden atau wakil presiden. Semua pesawatnya bisa dialokasikan untuk
kepentingan komersial.
Beberapa Kritik
Itulah
antara lain argumentasi dari kelompok yang pro. Bagaimana dengan yang kontra?
Mereka menganggap Indonesia belum layak memiliki pesawat kepresidenan
sendiri. Masih banyak rakyat miskin. Saking miskinnya, Bank Dunia menghitung
masih ada 40 juta rakyat Indonesia yang belum memiliki jamban dengan sanitasi
yang layak.
Bagaimana
mungkin di tengah kemiskinan yang masih mendera, presiden atau wakilnya
bepergian dengan pesawat sendiri, yang mewah lagi. Alasan yang lain,
frekuensi perjalanan presiden dan wakil presiden ke luar negeri belum terlalu
tinggi. Untuk apa memiliki pesawat sendiri? Kalau frekuensinya sudah seperti
Presiden Amerika Serikat, yang per tahun bisa menghabiskan ratusan hari
perjalanan dinas, baru kita layak memiliki pesawat kepresidenan.
Janganjangan
dengan pesawat ini, kelak kepala negara kita malah rajin bepergian ke luar
negeri? Ini bisa merepotkan, kita ingat, dulu mantan Presiden Abdurrahman
Wahid pernah dikritik habis-habisan karena terlalu sering bepergian ke luar
negeri. Padahal, kepada saya mendiang Gus Dur pernah mengatakan, itu
dilakukan demi menjaga keutuhan RI yang nyaris diacak-acak dunia
internasional.
Kritik
lainnya, pesawat itu hanya bisa menjangkau sejumlah kota di Indonesia sebab
tidak banyak bandara kita yang landasannya siap didarati pesawat jenis Boeing
737-800. Kritik yang agak keterlaluan, menurut saya, adalah
mengaitngaitkannya dengan pengalaman Madagaskar atau warnanya yang agak biru.
Presiden
Madagaskar Marc Ravalomanana pada 2009 disebut-sebut terjungkal dari
jabatannya karena memaksa membeli pesawat jenis yang sama, padahal saat itu
kondisi keuangan negaranya sedang tidak memungkinkan. Tapi, harap maklum,
kondisi Indonesia jelas berbeda dengan Madagaskar.
Demikian
juga soal warna yang dikait-kaitkan mirip lambang partai presiden. Untunglah
para capres menepisnya sehingga isu warna berhenti. Apakah setiap ganti
kepala negara warna dasar harus diganti? Kita sudah pusing melihat rumahrumah
adat kantor bupati dan gubernur diganti-ganti warnanya ketika partai penguasa
berganti, bukan?
Helikopter Kepresidenan
Saya
sebetulnya tidak keberatan kita memiliki pesawat kepresidenan. Namun, yang
saya tunggu-tunggu bukan jenis BBJ2, melainkan helikopter. Alasannya begini.
Pertama, selama ini kalau ada acara di Ibu Kota dan sekitarnya, presiden atau
wakil presiden dan rombongannya selalu melalui jalan darat. Sebelum rombongan
lewat, banyak ruas jalan yang terpaksa ditutup sehingga menyebabkan kemacetan
yang luar biasa di sana-sini.
Kalau
memakai helikopter, ini tentu tidak terjadi. Kalau negara kita memiliki
helikopter kepresidenan, saya kira itu bukan kemewahan, melainkan untuk
memperlancar mobilitasnya. Kita tahu, banyak eksekutif profesional dan
pemilik perusahaan di negara ini yang memiliki helikopter sendiri untuk
menyiasati kemacetan. Kedua, helikopternya sebaiknya dibeli dari PT
Dirgantara Indonesia (DI).
Jangan
impor. BUMN strategis ini sudah mampu membuat helikopter sendiri. Bahkan
untuk helikopter canggih jenis EC 725 Cougar dari Amerika Serikat, desain
bodi dan pembuatannya dikerjakan PT DI. Helikopter lain buatan PT DI, jenis
Dauphin, juga dipakai Badan SAR Nasional untuk menangani berbagai kondisi
darurat dan bencana di Tanah Air. Dengan membeli helikopter buatan PT DI,
selain mengangkat reputasi PT DI, juga menghemat pengeluaran devisa.
Ketiga,
selama berada di udara, presiden atau wakil presiden kita bisa melihat wajah
sebagian wilayah Indonesia dengan lebih lengkap, tak tertutup awan. Mereka
jadi tahu apa benar Indonesia sudah bebas dari kampung-kampung kumuh yang
kalau di atas kertas harusnya sudah? Demikian juga akan tampak mana kawasan
perkotaan yang sudah tertata rapi serta mana sungai yang bersih dan yang
penuh sampah.
Atau,
kalau terbang di wilayah udara Kalimantan, bisa melihat mana hutan yang masih
hijau dan mana yang sudah gundul dan banyak lubang galian tambang. Ini
semacam blusukan dari udara. Kalau melalui jalan darat, lokasi-lokasi tadi
kurang terlihat.
Bahkan
ada sebagian pemerintah daerah yang malah menutupi kumuhnya daerah mereka
dengan pagar seng. Kita tunggu kapan presiden atau wakil presiden terpilih
memesan helikopter. Sebaiknya kita tidak lagi menjadikannya sebagai bahan
gunjingan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar