Keberkahan
Hukum
Sudjito ; Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
|
KORAN
SINDO, 17 April 2014
Berbekal
kejernihan hati, marilah kita telusuri, mengapa kasus-kasus hukum di negeri
ini semakin meningkat kuantitas maupun kualitasnya. Penelusuran perlu
dilakukan secara tajam, menukik pada tataran moralitas hukum.
Dari
sanalah, perlu pengkajian, mengapa keberkahan hukum turun drastis, sementara
laju kejahatan meningkat tajam. Bukankah moralitas hukum mengajarkan bahwa
keberkahan hukum pasti terlimpah kepada seluruh penduduk negeri, bila mereka
tunduk, patuh, dan taat pada hukum? Dengan penalaran sederhana, dapat diduga,
merebaknya kasus-kasus hukum merupakan manifestasi pengingkaran, pendustaan,
penjungkirbalikan hukum itu sendiri.
Kita
lihat, di mana pun dan kapan pun, pandangan mata senantiasa terantuk pada
kejahatan. Pada proses dan momentum pileg kemarin, misalnya, dari pucuk
pimpinan partai sampai dengan calon pemilih, keberadaan orang jujur, anti-money politic, bisa dihitung
jari. Selebihnya, memandang money
politic sebagai bagian dari praktik demokrasi. Karena hebatnya
gempuran-gempuran politik, hukum sebagai norma maupun perilaku, goyah, tak
mampu bertahan pada moralitasnya.
Keberkahan
hukum, pada dimensi moralitas merupakan keterpaduan hukum dengan pemikiran,
sikap dan perilaku— baik warga negara maupun penyelenggara negara—sehingga
daripadanya berbagai kebutuhan material-duniawi maupun kebutuhan
spiritual-ukhrawi, melimpah secara ajeg, proporsional, dan berkesinambungan.
Keberkahan
hukum akan muncul dalam berbagai tingkatan, dan segalanya dipengaruhi oleh
faktor-faktor berikut. Pertama, pemahaman, kesetiaan, dan pengamalan
pandangan hidup bangsa. Bila pandangan hidupnya terbatas, hanya untuk jangka
pendek, hanya untuk hal-hal yang bersifat material, pada tahapan awal umumnya
dicapai secara optimal, karena pendayagunaan unsur-unsur kemanusiaan
dilakukan secara maksimal. Itulah kehidupan duniawi, kehidupan sementara dan
lahiriah.
Bagi
bangsa Indonesia, pandangan hidupnya Pancasila. Sedemikian jauh, luas, dan
beragam, cakupan Pancasila dalam memberi arah, motivasi dan energi untuk
pencapaian keberkahan hukum. Puncaknya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Memosisikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sumber dari segala hukum akan
menghasilkan kekuatan hukum yang mampu menembus segala dimensi wujud.
Keimanan kepada Allah SWT merupakan pembuka pintu rezeki.
Orang
beriman, hatinya bening, hidayah mudah masuk. Didukung akal cerdas, proses
berpikir produktif melahirkan berbagai kreativitas. Ujungnya, ada
progresivitas. Keberkahan hukum, bak turunnya hujan dari langit, bak
tumbuhnya pepohonan dari bumi. Tinggal bagaimana kita menerjemahkan Pancasila
ke dalam sistem hukum nasional. Pada sisi ini komitmen para penyelenggara
negara masih dipertanyakan sehingga keberkahan hukum pun bermasalah.
Kedua,
pengonsepan ilmu hukum. Ilmu merupakan lentera kehidupan. Dengan ilmu,
keberkahan hukum akan menyatu dalam kehidupan. Karenanya, perlu disegarkan
pemahaman hukum sebagai ilmu, dan bukan sekadar produk politik. Kehampaan
hukum dari ilmu merupakan pertanda gelapnya kehidupan.
Bagi
bangsa Indonesia, semestinya, kajian, pembelajaran, pembuatan, pelaksanaan
dan penegakan hukum, senantiasa memosisikan Pancasila sebagai paradigma ilmu
hukum. Artinya, nilai-nilai Pancasila dijadikan sandaran, orientasi dan
ukuran kebenaran dalam berolah ilmu maupun mengamalkan ilmu hukum dalam
segala segi kehidupan.
Ilmu
hukum berparadigma Pancasila mampu memberi garansi terwujudnya
perundang-undangan dan keadilan substantif, yakni keadilan sosial berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Misal, irah-irah undang-undang berbunyi ”Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”.
Ini bukan slogan kosong, formalitas, tanpa makna, melainkan menjiwai seluruh
substansi undang-undang yang bersangkutan.
Dari
sanalah, lahir undang-undang berkarakter teologis-religius, terjauhkan dari
sifat ateis-sekuler. Layak diingatkan, agar otoritas pembuatan undang-undang
tidak didominasi elite politik, tetapi perlu kerja sama sinergis antarpakar,
akademisi, ilmuwan, dan agamawan. Sinergitas merupakan jalan menuju terwujudnya
keberkahan hukum.
Ketiga,
kejujuran. Kejahatan identik dengan ketidakjujuran. Secara sosiologis, boleh
jadi orang jujur malah ”hancur”. Mengapa? Karena orang jujur berada pada
sistem yang korup. Penjahat sebagai manifestasi perilaku tidak jujur, sering
justru ”mujur”, paling tidak diukur dari percepatan dan kuantitas perolehan
harta benda dan kekuasaan.
Apakah
itu keberkahan hukum? Bila hukum merupakan produk politik, produk rekayasa,
produk transaksional, produk tradisi wani-pira,
sangat dimungkinkan penjahat terbentengi oleh hukum ateis-sekuler. Pada
tataran praksis, koruptor dan pengedar narkoba masih tersenyum riang, karena
mereka yakin, hukum dan penegak hukum dapat dibelinya. Awam yang melihatnya,
sedih, perih, namun tak berdaya, kecuali jeritan hati tertuju kehadirat
Illahi Rabbi, dalam doa: ”... Tuhan,
tunjukkan bahwa yang benar itu benar dan yang salah itu salah...”.
Bagi
orang beriman, terkabulkannya doa hanya soal waktu. Dalam skala kehidupan
utuh dan menyeluruh, keberkahan hukum tetap milik orang jujur. Pada saat yang
tepat, orang tidak jujur pasti termakan oleh hukum ilahiah, hukum kodrat dan
hukum alam.
Keempat,
konsistensi menerima putusan hakim. Tiada manusia tak pernah salah. Ada
kesalahan karena kesengajaan dan ada pula kesalahan karena kelalaian,
kebodohan, atau kedunguan. Sungguh malang, bagi mereka yang melawan putusan
hakim yang sudah final dan memiliki kekuatan hukum tetap. Melalui proses
peradilan dan di tangan hakim, suatu perkara diselesaikan, sehingga ada pihak
dimenangkan karena benar, dan ada pihak lain dinyatakan kalah karena
bersalah.
Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK), misalnya, sudah final. Jangan dilawan, jangan
dikhianati, apalagi hakimhakimnya dipersalahkan. Mengais rezeki dari keuangan
negara yang terlanjur dianggarkan, mempertahankan kekuasaan demi gengsi
politik, ataupun dengan dalih apa pun, sama maknanya dengan menjauhkan
keberkahan hukum dari kehidupan seluruh negeri.
Kutukan
semua makhluk di langit dan di bumi tertuju bagi mereka. Putusan MK bukan
untuk menyakiti politisi. Bila dipahami, ditaati, pasti menenteramkan hati.
Semestinya diterima sepenuh hati, bukan dikhianati. Tetapi, bila peringatan
ditanggapi tanpa empati, mungkin sikap demikian menjadi bukti dan saksi bahwa
telah datang suatu masa, para politisi lari menjauh dari akademisi.
Saat
demikian, keberkahan hukum akan lenyap dan berubah menjadi malapetaka, yakni
munculnya pemimpin yang zalim. Naudzubillah.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar