Jumat, 25 April 2014

Gerakan Literasi Lokal

Gerakan Literasi Lokal  

Agus M Irkham ;   Pegiat Literasi
TEMPO.CO, 23 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Pertengahan April lalu, ada acara temu pegiat literasi dan pengelola Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di Rumah Belajar MEP, Jombang, yang dihadiri para aktivis literasi, pegiat budaya baca, dan pengelola TBM dari Bojonegoro, Sidoarjo, Tulungagung, Malang, Surabaya, dan Lumajang.

Menariknya, yang hadir bukan hanya pengelola TBM, tapi juga para penulis lokal. Di antaranya, Suharyo A.P. (penulis 45 buku); Henri Nurcahyo, penulis puluhan buku, buku terakhirnya Teater Sepakbola Indonesia (ditulis bersama Teguh Wahyu Utomo); dan Siwi Sang, penulis buku sejarah kontroversial Girindra.

Secara khusus, saya--menjadi narasumber--berbicara tentang proses kreatif menulis dan peran penulis dalam menggerakkan budaya membaca dan terutama menulis di TBM. Menulis, yang sebelumnya merupakan aktivitas yang bersifat personal dan sangat individual, setelah dicangkokkan dalam kegiatan TBM, harapan saya akan menjadi kegiatan komunal dan menjadi sarana belajar bersama.

Menulis bukan lagi semata-mata aktivitas yang berorientasi pada kekaryaan yang bersifat fisikal (buku), tapi sekaligus menjadi sarana dan jembatan sekaligus bagi masyarakat untuk semakin mengenal lingkungannya. Karena, bagaimana akan timbul rasa cinta dan memiliki jika kenal saja tidak? Jadi, rasa cinta Tanah Air dalam konteks keindonesiaan hakikatnya dapat ditumbuhkan dan dimulai dari yang paling dekat dengan kita.

Para penulis bisa ambil bagian dalam gerakan literasi lokal dengan menyelenggarakan kelas-kelas penulisan di TBM; menyelenggarakan bengkel penulisan dan klub-klub menulis; menemani dan membimbing para pengelola TBM serta masyarakat di sekitar TBM untuk belajar menjelajah makna kata; bersama-sama menziarahi dan mengakrabi sejarah kehidupan terdekat kita. Gerakan literasi lokal adalah sebuah gerakan yang diprakarsai oleh para pengelola TBM, yang berpamrih hendak menjadikan warga dan tanah yang ia pijak, udara yang ia hirup, dan air yang ia minum sebagai subyek sejarah, bukan obyek.

Hakikat gerakan literasi lokal ini senapas dengan gerakan menulis sejarah kampung. Dalam buku Ngeteh di Patehan: Kisah Beranda Belakang Keraton Yogyakarta (2011), Muhidin M. Dahlan menulis paling kurang ada tiga landasan mengapa menulis sejarah kampung-berarti juga gerakan literasi lokal-ini penting. Pertama, bentuk upaya memberdayakan warga sebagai subyek yang otonom dalam memberikan makna baru bagi kampung mereka, baik dalam segi sejarah maupun potensi-potensi yang ada dalam kampung.

Kedua, memberi kesempatan kepada generasi sebuah zaman dalam komunitas warga untuk memberikan kontribusi positifnya, khususnya bagi penggalian, pengolahan, maupun pandangan masa depan atas sebuah masyarakat. Dengan demikian, diharapkan tumbuh cara berpikir historis (manusia yang berkesadaran sejarah). Ketiga, masyarakat bisa membandingkan kegagalan dan keberhasilan masa lalu kampungnya dengan situasi kekinian.

Gerakan literasi lokal ini telah berlangsung di banyak tempat. Mulai dari Kediri (Jawa Timur), Donggala (Sulawesi Selatan), Manokwari (Papua Barat), Majalengka (Jawa Barat), Labuhan Batu (Sumatera Utara), Solo (Jawa Tengah), Lubuklinggau (Sumatera Selatan), hingga Serang (Banten). Dari kampung masing-masing, mereka memberikan pandangan pertama untuk jatuh cinta kepada Indonesia kita.?

:� , ; o `� � :"Arial","sans-serif"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"'>Halo Indonesia


Suka membaca buku harus kita budayakan. Dalam konteks kekinian, warga Jepang adalah contoh betapa membaca telah menjadi budaya. Warga di negeri itu sejak usia dini (kira-kira umur dua hingga tiga tahun) telah diperkenalkan dengan buku. Sedemikian bagus budaya membaca di Jepang, sampai ada anekdot, "Orang Jepang itu tidur sambil membaca, sedangkan orang Indonesia membaca sambil tidur."

Gemar baca buku harus kita tradisikan. Hal ini terutama karena sampai kini rata-rata warga Indonesia termasuk yang memiliki minat baca yang sangat rendah. UNESCO pada 2012 melaporkan bahwa indeks minat baca warga Indonesia baru mencapai angka 0,001. Artinya, dalam setiap 1.000 orang Indonesia, hanya ada satu orang yang memiliki minat baca (www.poskotanews.com 27/09/2013).

Kita prihatin bahwa keadaan ini tidak kunjung membaik. Mari sandingkan data di atas dengan tiga tahun sebelumnya. "Human Development Report 2008/2009" yang dikeluarkan UNDP menyatakan minat membaca masyarakat di Indonesia berada pada peringkat 96 dari negara di seluruh dunia. Ini sejajar dengan Bahrain, Malta, dan Suriname. Lalu, pada pertengahan 2009, Organisasi Pengembangan Kerja sama Ekonomi (OECD) mengatakan bahwa budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur.

Terkait dengan data di atas, jika panitia 'Socrates Award' kagum dengan adanya 800 perpustakaan di Surabaya, semoga kita bisa mengambil 'pesan' bahwa ratusan perpustakaan itu diharapkan akan mampu menaikkan minat baca masyarakat. Artinya apa? Kita harus meniru Surabaya untuk menyediakan TMB sebanyak-banyaknya.

Kita tahu, nilai lebih TBM, antara lain, lokasinya yang dekat dengan pusat-pusat kegiatan masyarakat (seperti di balai RW, stasiun KA, pusat perbelanjaan, rumah sakit). Harapannya, masyarakat tergoda untuk menghabiskan waktunya dengan membaca karena posisi bahan bacaan ada di sejangkauan tangan mereka.

Alhasil, kepada pemerintah kota mana pun di Indonesia, mari seriusi pembangunan dan pengembangan TBM seserius saat membangun taman-taman bunga. Ayo kita jemput peradaban mulia, antara lain dengan cara banyak membaca buku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar