Gerakan
Literasi Lokal
Agus M Irkham ; Pegiat Literasi
|
TEMPO.CO,
23 April 2014
Pertengahan
April lalu, ada acara temu pegiat literasi dan pengelola Taman Bacaan
Masyarakat (TBM) di Rumah Belajar MEP, Jombang, yang dihadiri para aktivis
literasi, pegiat budaya baca, dan pengelola TBM dari Bojonegoro, Sidoarjo,
Tulungagung, Malang, Surabaya, dan Lumajang.
Menariknya,
yang hadir bukan hanya pengelola TBM, tapi juga para penulis lokal. Di
antaranya, Suharyo A.P. (penulis 45 buku); Henri Nurcahyo, penulis puluhan
buku, buku terakhirnya Teater Sepakbola Indonesia (ditulis bersama Teguh Wahyu
Utomo); dan Siwi Sang, penulis buku sejarah kontroversial Girindra.
Secara
khusus, saya--menjadi narasumber--berbicara tentang proses kreatif menulis
dan peran penulis dalam menggerakkan budaya membaca dan terutama menulis di
TBM. Menulis, yang sebelumnya merupakan aktivitas yang bersifat personal dan
sangat individual, setelah dicangkokkan dalam kegiatan TBM, harapan saya akan
menjadi kegiatan komunal dan menjadi sarana belajar bersama.
Menulis
bukan lagi semata-mata aktivitas yang berorientasi pada kekaryaan yang
bersifat fisikal (buku), tapi sekaligus menjadi sarana dan jembatan sekaligus
bagi masyarakat untuk semakin mengenal lingkungannya. Karena, bagaimana akan
timbul rasa cinta dan memiliki jika kenal saja tidak? Jadi, rasa cinta Tanah
Air dalam konteks keindonesiaan hakikatnya dapat ditumbuhkan dan dimulai dari
yang paling dekat dengan kita.
Para
penulis bisa ambil bagian dalam gerakan literasi lokal dengan
menyelenggarakan kelas-kelas penulisan di TBM; menyelenggarakan bengkel
penulisan dan klub-klub menulis; menemani dan membimbing para pengelola TBM
serta masyarakat di sekitar TBM untuk belajar menjelajah makna kata;
bersama-sama menziarahi dan mengakrabi sejarah kehidupan terdekat kita.
Gerakan literasi lokal adalah sebuah gerakan yang diprakarsai oleh para
pengelola TBM, yang berpamrih hendak menjadikan warga dan tanah yang ia
pijak, udara yang ia hirup, dan air yang ia minum sebagai subyek sejarah,
bukan obyek.
Hakikat
gerakan literasi lokal ini senapas dengan gerakan menulis sejarah kampung.
Dalam buku Ngeteh di Patehan: Kisah Beranda Belakang Keraton Yogyakarta
(2011), Muhidin M. Dahlan menulis paling kurang ada tiga landasan mengapa
menulis sejarah kampung-berarti juga gerakan literasi lokal-ini penting.
Pertama, bentuk upaya memberdayakan warga sebagai subyek yang otonom dalam
memberikan makna baru bagi kampung mereka, baik dalam segi sejarah maupun
potensi-potensi yang ada dalam kampung.
Kedua,
memberi kesempatan kepada generasi sebuah zaman dalam komunitas warga untuk
memberikan kontribusi positifnya, khususnya bagi penggalian, pengolahan,
maupun pandangan masa depan atas sebuah masyarakat. Dengan demikian,
diharapkan tumbuh cara berpikir historis (manusia yang berkesadaran sejarah).
Ketiga, masyarakat bisa membandingkan kegagalan dan keberhasilan masa lalu
kampungnya dengan situasi kekinian.
Gerakan
literasi lokal ini telah berlangsung di banyak tempat. Mulai dari Kediri
(Jawa Timur), Donggala (Sulawesi Selatan), Manokwari (Papua Barat),
Majalengka (Jawa Barat), Labuhan Batu (Sumatera Utara), Solo (Jawa Tengah),
Lubuklinggau (Sumatera Selatan), hingga Serang (Banten). Dari kampung
masing-masing, mereka memberikan pandangan pertama untuk jatuh cinta kepada
Indonesia kita.? ●
|
Suka
membaca buku harus kita budayakan. Dalam konteks kekinian, warga Jepang
adalah contoh betapa membaca telah menjadi budaya. Warga di negeri itu sejak
usia dini (kira-kira umur dua hingga tiga tahun) telah diperkenalkan dengan
buku. Sedemikian bagus budaya membaca di Jepang, sampai ada anekdot, "Orang Jepang itu tidur sambil
membaca, sedangkan orang Indonesia membaca sambil tidur."
Gemar
baca buku harus kita tradisikan. Hal ini terutama karena sampai kini
rata-rata warga Indonesia termasuk yang memiliki minat baca yang sangat
rendah. UNESCO pada 2012 melaporkan bahwa indeks minat baca warga Indonesia
baru mencapai angka 0,001. Artinya, dalam setiap 1.000 orang Indonesia, hanya
ada satu orang yang memiliki minat baca (www.poskotanews.com 27/09/2013).
Kita
prihatin bahwa keadaan ini tidak kunjung membaik. Mari sandingkan data di
atas dengan tiga tahun sebelumnya. "Human Development Report
2008/2009" yang dikeluarkan UNDP menyatakan minat membaca masyarakat di
Indonesia berada pada peringkat 96 dari negara di seluruh dunia. Ini sejajar
dengan Bahrain, Malta, dan Suriname. Lalu, pada pertengahan 2009, Organisasi
Pengembangan Kerja sama Ekonomi (OECD) mengatakan bahwa budaya baca
masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia
Timur.
Terkait
dengan data di atas, jika panitia 'Socrates
Award' kagum dengan adanya 800 perpustakaan di Surabaya, semoga kita bisa
mengambil 'pesan' bahwa ratusan perpustakaan itu diharapkan akan mampu
menaikkan minat baca masyarakat. Artinya apa? Kita harus meniru Surabaya
untuk menyediakan TMB sebanyak-banyaknya.
Kita
tahu, nilai lebih TBM, antara lain, lokasinya yang dekat dengan pusat-pusat
kegiatan masyarakat (seperti di balai RW, stasiun KA, pusat perbelanjaan,
rumah sakit). Harapannya, masyarakat tergoda untuk menghabiskan waktunya
dengan membaca karena posisi bahan bacaan ada di sejangkauan tangan mereka.
Alhasil,
kepada pemerintah kota mana pun di Indonesia, mari seriusi pembangunan dan
pengembangan TBM seserius saat membangun taman-taman bunga. Ayo kita jemput peradaban
mulia, antara lain dengan cara banyak membaca buku. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar