Jumat, 25 April 2014

Doremifasol Sudjojono

Doremifasol Sudjojono  

Agus Dermawan T  ;   Pengamat Budaya dan Seni
TEMPO.CO, 23 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Pada 6 April 2014, ketika bangsa Indonesia bersiap-siap memasuki bilik pemilu legislatif, di Hong Kong terjadi keriuhan prestasi. Lukisan seniman Indonesia, S. Sudjojono (1913-1986), terbeli di biro lelang Sotheby's dengan hammer price HK$ 58,36 juta, atau sekitar Rp 85,7 miliar. Atau terbayar sekitar Rp 100 miliar ketika ditambah premium 21 persen. Lukisan berukuran sekitar 2 meter itu berjudul Pasukan Kita yang Dipimpin Pangeran Diponegoro, ciptaan 1979. Pencapaian ini mengalahkan harga lukisan Lee Man Fong, Bali Life, yang terbeli seharga HK$ 35,9 juta pada lelang Christie's Hong Kong, November 2013.

Pencapaian mengejutkan itu lantas membawa masyarakat seni Asia menengok Indonesia dengan sejumlah pertanyaan. Bagaimana mungkin di negeri yang mengkonsentrasikan seluruh dayanya kepada pengembangan ekonomi, seraya agak melupakan pembangunan infrastruktur kesenian, mampu melahirkan seniman berkualitas tinggi? Bagaimana mungkin di negeri yang gemar memperdaya kesenian dan seniman sebagai alat politik, mampu menelurkan karya begitu reputatif?

Bagi saya, reputasi mutu (dan harga) lukisan Sudjojono berkait erat dengan cara berpikir pelukisnya, yang kemudian bermuara pada metodologi penciptaannya. Sudjojono selalu mengatakan bahwa seorang pelukis sejati sebaiknya berangkat dari realis. Karena dengan basis realis itu, pelukis terpaksa belajar semua unsur kesenilukisan dari dasar. "Pelukis itu seperti pemain piano. Sebelum masuk ke nada dan irama, sebelum memainkan aransemen, harus tahu doremifasollasi dulu."

Sudjojono mengatakan bahwa do itu penguasaan seluk-beluk bentuk. Re itu pencerapan karakter makhluk hidup dan benda-benda. Mi itu pengetahuan atas situasi obyek dalam satu momen. Fa itu penghayatan atas suasana yang melingkupi obyek. Sol itu pengelolaan warna. La itu kemampuan menghadirkan semua unsur dalam rangkuman yang mampu bicara. Si itu kemampuan meringkus isi kanvas dalam harmoni. Apabila semua unsur dasar itu sudah bunyi, lukisan pun jadi.

Ihwal penguasaan doremifasol itu memang tampak pada lukisan-lukisannya. Dalam melukis makhluk hidup, ia sangat menguasai aspek anatomi secara rinci. Dalam melukis benda, ia memahami karakter dan sifat-sifatnya. Semua itu lantas dirangkum dalam sebuah kejadian bersuasana, yang ujungnya menawarkan cerita.

Sudjojono ternyata memetik pelajaran ini dari para politikus sejati. Ia memberi contoh betapa Churchill lebih dulu menghayati akar kehidupan dan dasar hati-pikiran rakyatnya sebelum memimpin bangsa Inggris.

Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, sampai Tan Malaka juga melakukan hal yang sama. Mereka mempelajari sisik-melik bangsanya dengan sangat teliti. Mereka mengeja cermat lapisan-lapisan aspirasi bangsanya. Apa yang mereka pelajari itu lantas dikomposisi satu per satu, sampai akhirnya jadi lukisan besar berwarna-warna yang bernama Indonesia.

Keseriusan meniti pernik politik bagai yang direfleksikan seni lukis Sudjojono, kini nyaris tidak ada dalam jagat politik Indonesia. Sekarang siapa pun merasa bisa jadi politikus. Siapa pun merasa mampu jadi wakil atau pemimpin rakyat, meski tak pernah belajar serius doremifasolnya rakyat. Itu yang menyebabkan politik Indonesia cenderung murah harganya. Dan sulit untuk laku apabila dilelang di negeri mana pun!

>Hal�7dn`��>


Suka membaca buku harus kita budayakan. Dalam konteks kekinian, warga Jepang adalah contoh betapa membaca telah menjadi budaya. Warga di negeri itu sejak usia dini (kira-kira umur dua hingga tiga tahun) telah diperkenalkan dengan buku. Sedemikian bagus budaya membaca di Jepang, sampai ada anekdot, "Orang Jepang itu tidur sambil membaca, sedangkan orang Indonesia membaca sambil tidur."

Gemar baca buku harus kita tradisikan. Hal ini terutama karena sampai kini rata-rata warga Indonesia termasuk yang memiliki minat baca yang sangat rendah. UNESCO pada 2012 melaporkan bahwa indeks minat baca warga Indonesia baru mencapai angka 0,001. Artinya, dalam setiap 1.000 orang Indonesia, hanya ada satu orang yang memiliki minat baca (www.poskotanews.com 27/09/2013).

Kita prihatin bahwa keadaan ini tidak kunjung membaik. Mari sandingkan data di atas dengan tiga tahun sebelumnya. "Human Development Report 2008/2009" yang dikeluarkan UNDP menyatakan minat membaca masyarakat di Indonesia berada pada peringkat 96 dari negara di seluruh dunia. Ini sejajar dengan Bahrain, Malta, dan Suriname. Lalu, pada pertengahan 2009, Organisasi Pengembangan Kerja sama Ekonomi (OECD) mengatakan bahwa budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur.

Terkait dengan data di atas, jika panitia 'Socrates Award' kagum dengan adanya 800 perpustakaan di Surabaya, semoga kita bisa mengambil 'pesan' bahwa ratusan perpustakaan itu diharapkan akan mampu menaikkan minat baca masyarakat. Artinya apa? Kita harus meniru Surabaya untuk menyediakan TMB sebanyak-banyaknya.

Kita tahu, nilai lebih TBM, antara lain, lokasinya yang dekat dengan pusat-pusat kegiatan masyarakat (seperti di balai RW, stasiun KA, pusat perbelanjaan, rumah sakit). Harapannya, masyarakat tergoda untuk menghabiskan waktunya dengan membaca karena posisi bahan bacaan ada di sejangkauan tangan mereka.

Alhasil, kepada pemerintah kota mana pun di Indonesia, mari seriusi pembangunan dan pengembangan TBM seserius saat membangun taman-taman bunga. Ayo kita jemput peradaban mulia, antara lain dengan cara banyak membaca buku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar