Delapan
Derajat
Samuel Mulia ;
Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di
Kompas
|
KOMPAS,
20 April 2014
Itu
adalah angka yang tertera di layar telepon genggam, ketika saya sedang
membaca suhu cuaca hari itu, di sebuah negeri empat musim. Apa yang Anda
bayangkan saat membaca angka delapan derajat itu?
Pembobotan
Kalau
saya, langsung bisa merasakan dingin yang menusuk tulang. Belum lagi
membayangkan angin yang acapkali bertiup amat kencang, membuat angka delapan
seperti angka lima rasanya. Maka di hari itu saya berpakaian cukup tebal agar
tak kedinginan.
Tapi
ketika melangkah ke luar, saya jadi geleng kepala, melihat begitu banyaknya
manusia hanya berpakaian sekadarnya saja. Bahkan ada yang hanya beralaskan
sandal jepit, polo shirt dipadu cardigan, seolah suhu udara delapan derajat
tak berarti sama sekali. Memang, di saat suhu begitu minimnya, matahari
sedang bersinar terik dan langit mewarnai bumi dengan birunya yang menawan.
Maka
kejadian itu menarik dan merangsang saya untuk berpikir seperti biasanya. Dan
seperti biasanya, kata yang melintas pertama di kepala adalah, mengapa.
Kemudian dilanjutkan dengan kok bisa.
Saya ini
berpikir, kalau suhu udara itu delapan derajat, yaa...itu berarti sudah
termasuk panas yang dipancarkan matahari ke bumi, bukan? Nah seyogianya,
manusia-manusia itu tak mungkin berpakaian semacam itu. Tetapi kenyataannya
demikian lah yang terlihat. Saya sampai berpikir, kok orang-orang ini kuatnya
setengah mati. Terbuat dari apakah badan mereka itu?
Kemudian
saya teringat kalau angka delapan derajat itu terjadi di musim dingin, ketika
matahari berminggu-minggu tak bisa menyinari bumi, dan bumi menjadi gelap
karena pesona birunya tak lagi tampak, maka manusia-manusia itu kemudian
mendandani diri dengan mantel panjang, selendang penghangat leher, dan semua
atribut musim dingin. Mengapa demikian? Kan suhu udaranya juga sama delapan
derajat?
Saya
mulai berpikir, apakah bobot kedinginan delapan derajat di musim semi tidak
sama dengan delapan derajat di musim dingin? Apakah bobot angka dua yang
dihasilkan dari satu tambah satu, misalnya, akan menjadi begitu berbedanya
dengan bobot angka dua yang dihasilkan dari delapan dibagi empat atau satu
miliar dibagai lima ratus juta?
Apakah
itu juga berarti, kalau musim semi tiba dan ketika bunga-bunga mulai
bermekaran, dan bumi menjadi begitu moleknya, maka suhu udara delapan derajat
bukanlah sebuah masalah, karena hati dan otak saya juga bermekaran? Begitu?
Sandiwara
Sementara
ketika musim dingin tiba dengan suhu yang sama, ketika bunga-bunga dan daun
rontok dan meninggalkan ranting yang mengering, apakah hati saya juga turut
terpengaruh dengan gelapnya bumi dan keringnya ranting?
Sehingga
suhu udara delapan derajat di musim dingin menjadi sesuatu yang membekukan
hati, dan yang tak lagi bisa melahirkan keceriaan dalam hidup? Sehingga
manusia di musim dingin menjadi tak seceria di musim semi? Begitu?
Apakah
itu juga berarti, kalau saya memiliki problem di musim semi, bebannya akan
lebih terasa ringan, karena saya ditemani langit yang biru dan bunga serta
hati yang bermekaran, ketimbang kalau itu terjadi di musim dingin, dimana
bumi menjadi putih karena tertutup salju sehingga hidup dan hati terasa begitu
menekan? Begitu?
Apakah
semua itu sebuah bukti kekuatan pikiran manusia yang bisa membuat delapan
derajat tak terasa dingin, dan delapan derajat terasa menekan? Sehingga
kekuatan pikiran di musim semi melahirkan perkataan macam: ”Gak dingin kok,
sejuk banget nih.” Dan di musim dingin kekuatan pikiran membungkamkan mulut.
Begitu?
Kalau
manusia itu memiliki kekuatan berpikir seperti pada musim semi, mengapa itu
tak dipergunakan saja ketika musim dingin mengisi hari-hari mereka? Mengapa
seperti terasa ada ketidakberdayaan manusia menyaksikan suhu udara delapan
derajat di tengah bumi yang putih? Bukankah kekuatan pikiran lah yang
memampukan seseorang bersemi di musim dingin?
Peristiwa
macam itu membuat saya berpikir, seyogianya di mana pun saya hidup, maka kekuatan
pikiran lah yang memampukan saya untuk merasakan kesenangan di tengah
kepedihan. Memampukan saya menjadi terang di tengah kegelapan.
Bukankah
katanya kekuatan pikiran lah yang memberi efek pada apa yang kita kerjakan?
Kalau kekuatan itu digunakan untuk meyakinkan bahwa saya bodoh, yaa...saya
akan bodoh dan menghasilkan sesuatu yang bodoh.
Setelah
berpikir demikian, saya jadi tertawa sendiri. Apakah kekuatan pikiran itu
juga menjadikan saya sebagai pemain sandiwara terlihai di muka bumi ini? Saya
bisa merasa pandai karena pikiran saya meyakinkan saya pandai, meski tes IQ
saya sama sekali tak menunjukkan hal itu.
Apakah
manusia yang saya lihat mengenakan sandal jepit dalam suhu udara yang menurut
saya minim itu, adalah sebuah bentuk sandiwara manusia yang terhebat yang
pernah terjadi di muka bumi ini?
Kalau di
atas saya memiliki pertanyaan, terbuat dari apakah badan mereka sehingga
mampu menggunakan sandal jepit di tengah udara minim itu? Maka saya ralat
menjadi, terbuat dari apakah pikiran mereka sehingga suhu delapan derajat
dianggap sejuk? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar