Pemilu
Kita
Poerwandari ; Kolumnis “Konsultasi
Psikologi” Kompas
|
KOMPAS,
20 April 2014
Apakah
Anda 9 April lalu datang ke TPS dan memilih wakil rakyat? Atau, Anda tidak mencoblos
dengan berbagai alasan: tidak kenal calegnya, tidak percaya caleg dan
partai-partai yang ada, ada acara lain yang bagi Anda lebih penting daripada
perhelatan nasional itu? Atau sebaliknya, Anda justru mencalonkan diri jadi
wakil rakyat? Apa alasan terdalam Anda memutuskan menjadi caleg dan mengapa
bergabung dengan partai X?
Meski
angka pastinya belum jelas, jumlah warga yang tidak menggunakan hak pilihnya
pada Pemilu 2014 tampaknya masih cukup banyak, entah bagaimana
perbandingannya dengan Pemilu 2009, yang persentase warga yang golput
diperkirakan 29 persen.
Calon legislatif
Tentu
ada caleg-caleg yang berkualitas dan berdedikasi besar untuk membangun
bangsa. Namun, apabila kita mengikuti berita-berita mengenai perilaku caleg
yang gagal, kita menjadi semakin mengerti banyak caleg yang memang ”kurang
bermutu”, yang mengurangi minat masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya.
Jangankan memiliki kematangan serta kepedulian sosial dan integritas tinggi,
yang mereka tampilkan adalah hal yang sebaliknya.
Dalam
media sosial, banyak orang mengolok-olok para caleg gagal, tetapi apabila
kita berpikir serius, sungguh miris memikirkan bagaimana partai politik
memanfaatkan orang-orang yang—jangankan berkualitas dan berdedikasi—mereka
bahkan belum memiliki keseimbangan psikologis untuk memimpin dirinya sendiri.
Beberapa
hari setelah penyelenggaraan pemilu, Antara
(http://www.antaranews.com/berita/
429079/caleg-gagal-curi-kotak-suara-hingga-gantung-diri, diunduh 13 April
2014) melaporkan berbagai kasus caleg yang gagal. Yang banyak diberitakan
adalah caleg yang meminta kembali dana atau materi yang telah disumbangkan
kepada warga atau untuk pembangunan masjid dan mushala. Ada beberapa caleg
gagal yang bersembunyi di rumah ketua partai, tidak berani pulang karena
belum membayar uang saksi yang ditugasi menjaga TPS.
Ada
kepala desa yang menyegel sebuah taman kanak-kanak (TK) dan tempat pendidikan
anak usia dini (PAUD), bahkan mengancam akan mengusir guru dan kepala sekolah
karena dua caleg titipannya kalah. Yang lain bersama pendukungnya memblokade
kompleks perumahan karena warga tidak memilih dirinya. Ada lagi yang
melakukan sweeping untuk mencari warga kompleks yang tidak memilihnya,
sementara di tempat lain lagi hampir terjadi baku hantam antarcaleg yang membawa
celurit.
Ada
beberapa caleg yang tertekan berat akibat telah mengeluarkan modal sangat
besar sehingga menjadi kacau secara psikologis. Sangat mengenaskan ada berita
seorang perempuan caleg yang sedang hamil menggantung diri hingga tewas dan
seorang anggota senior suatu partai meninggal setelah mengalami stroke,
diduga karena perolehan suara partai di wilayahnya jeblok. Bahkan, ada pula
aktivis tim sukses yang diberitakan bunuh diri karena caleg yang diusungnya
gagal dan mempersalahkannya.
Bersediakah
kita menggadaikan rumah, mem-fait-a-ccompli
istri atau suami, yang sebenarnya tidak setuju dengan langkah kita menjadi
caleg hingga menghabiskan uang simpanan keluarga atau berutang ratusan juta,
melupakan kebutuhan anak-anak, bahkan kehilangan kedamaian yang dulu
dirasakan dalam keluarga? Kita dapat langsung menduga bahwa banyak di antara
yang melakukannya mungkin justru orang yang ”bermasalah” secara psikologis.
Perilaku pemilih
Bagaimana
dengan perilaku pemilih? Harder dan Krosnick (2008) menemukan bahwa perilaku
mencoblos pada hari-H merupakan fungsi dari kemampuan, motivasi, serta
derajat kesulitan dalam memperoleh informasi dan melaksanakan hak pilih itu.
Jika prosedur berbelit, tidak ada informasi yang jelas, dan TPS jauh, dapat
diperkirakan jumlah pemilih akan menurun. Keyakinan bahwa warga negara yang
baik itu seharusnya menjalankan hak pilih dan tekanan dari lingkungan dapat
membuat kita merasa tidak nyaman untuk menjadi golput.
Meskipun
demikian, fenomena di masyarakat kita tampaknya juga banyak dipengaruhi kenal
atau tidaknya dan tingkat kepercayaan kita kepada caleg dan partai. Harder
dan Krosnick menemukan bahwa semakin besar jurang preferensi terhadap satu
calon dan calon lainnya, misalnya bahwa kita sangat menyukai A dan
sebaliknya, sangat khawatir jika B dan C akan terpilih, akan membuat kita
lebih termotivasi menggunakan hak pilih. Ini karena kita ingin memastikan
bahwa orang yang kita anggap lebih baik akan menang dibandingkan dengan calon
yang dikhawatirkan akan merugikan kepentingan masyarakat.
Jika
kita sama-sama suka pada kandidat-kandidat yang ada, dorongan memilih mungkin
masih cukup besar, tetapi kita tidak terlalu mempersoalkan siapa yang akan
menang. Jika kita tidak suka atau tidak percaya kepada para kandidat yang
ada, kita semakin enggan mencoblos karena pemilu kita anggap tidak
menjanjikan keuntungan apa pun.
Meskipun
ada pandangan yang berbeda terhadap dampak dari kampanye negatif yang
menjelek-jelekkan calon lain, tampaknya dugaan lebih banyak mengarah pada
kesimpulan bahwa hal itu meningkatkan sinisme dan mengurangi antusiasme untuk
memilih. Penelitian eksperimental dari Ansolabehere & Iyengar (1995)
meminta partisipan menonton televisi yang menayangkan kampanye-kampanye
negatif. Setelah eksperimen itu, partisipan menyatakan bahwa mereka tidak
tertarik menggunakan hak pilihnya.
Jika
Anda melihat dengan jelas ada figur calon presiden yang lebih baik daripada
pilihan lainnya, datanglah ke TPS dan cobloslah ia pada Juli nanti. Semoga
bangsa Indonesia menjadi lebih dewasa dan lebih bertanggung jawab dalam
menjalankan demokrasi dan memperoleh pemimpin yang sungguh-sungguh amanah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar