Senin, 21 April 2014

Pemilih Melodramatis

Pemilih Melodramatis

Garin Nugroho ;   Sutradara Film, Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS, 20 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Dalam studi kepemimpinan populer, Cokroaminoto yang dikenal sebagai guru Soekarno dalam fashion, orasi, menulis, serta strategi organisasi dan politik mampu menjadikan Serikat Islam sebagai salah satu organisasi terbesar Asia pada era awal abad ke-19. Kemampuan mengelola massa tersebut dalam pengamatan Pemerintah Hindia Belanda tidak bisa dilepaskan dari isu bahwa Cokro adalah Satrio Paningit alias Ratu Adil, sebuah isu yang memang dengan sengaja dijadikan narasi besar oleh para juru komunikasi Serikat Islam.

Catatan sejarah awal Indonesia ini menunjukkan perilaku warga dalam memilih pemimpin tidak bisa dilepaskan dengan narasi sang tokoh yang mampu disebar ke masyarakat menjadi mitos-mitos juru selamat penuh imaji dramatis dengan karakter sebagai berikut:

Pertama, unsur-unsur terkait personal tokoh, baik tanggal kelahiran maupun nama mampu dikelola sebagai atribut Ratu Adil, sebutlah pada nama Cokro yang merupakan senjata utama tokoh Krisna dalam pewayangan.

Kedua, narasi kepemimpinan mistis tersebut mampu menjawab kerinduan hilangnya kepemimpinan atau ketidakpuasan terhadap perilaku pemimpin yang berkuasa. Sejarah mencatat, kemunculan Cokro mampu menjawab kosongnya kepemimpinan Jawa setelah kekalahan Pangeran Diponegoro (1830) yang disertai kehadiran abad baru era industri yang membutuhkan kepemimpinan baru.

Ketiga, pencitraan kepemimpinan membawa rakyat menembus sekat-sekat beragam perspektif. Sebutlah Cokro dengan cerdik menanggalkan gelar kebangsawanan untuk merangkul massa bawah mengingat organisasi yang tumbuh periode tersebut lebih sebagai organisasi kaum priayi. Cokro juga diceritakan mampu blusukan dengan keberanian berhenti kerja di pemerintahan Belanda dan masuk dalam wilayah buruh. Atau simak, kepiawaian Cokro menyandingkan priayi, buruh, petani, pedagang, serta beragam ideologi dari sosialis hingga komunis dan mengelola kekuatan kaum agama.

Keempat, kemampuan mengelola medium komunikasi populer. Cokro selain orator, jurnalis, namun juga penari Hanoman, yang menjadi ikon kepahlawanan pada abad itu layaknya Superman dewasa ini.

Catatan di atas menunjukkan bahwa pemilih Indonesia adalah pemilih melodramatis, yang serba diberi penanda drama penyelamatan dalam beragam narasinya.

Lewatlah di sudut-sudut negeri ini, spanduk Joko Wi sebagai Satria Paningit bermunculan, dari naik kuda ke Senayan hingga naik ojek. Bisa diduga, pertanyaan sederhana muncul: Bagaimana lawan politik harus melawan mitos yang sulit terkalahkan seperti itu?

Panggung wayang orang di saat hidupnya Cokro sesungguhnya bisa dipadankan dengan televisi atau media sosial hari ini. Simaklah perilaku masyarakat umum mengonsumsi tokoh populer hingga kasus Prita, cicak vs buaya, Hambalang, korupsi daging sapi ataupun isu populer lainnya. Simaklah pola mengonsumsi berita tersangka korupsi, yang dikonsumsi hanya peristiwa penuh dramanya, yakni waktu diseret ke KPK atau penjara, namun hanya tidak lebih sebulan, informasi detail berkait kebenaran dalam persidangan yang memerlukan rasionalisasi kebenaran tak lagi populer dikonsumsi. Terbaca pola konsumsi alias memilih masyarakat Indonesia dewasa ini adalah perilaku melodramatis yang serba paradoks dengan perspektif di bawah ini:

Pertama, karakter melodramatis pemilih memunculkan kepemimpinan primadona. Kepemimpinan semacam itu melahirkan pemilih partisipatif yang setia, namun sekaligus pemilih yang serba sensitif ketika muncul kritik terhadap primadona. Pada gilirannya, sensitivitas buta tersebut bisa dikelola menjadi kejengkelan lawan-lawan politik yang bisa terus diperluas yang melahirkan pengucilan.

Kedua, perilaku pemilih melodramatis meski melahirkan pola memilih dalam relasi humanisme yang tak penah surut, justru bisa terbalik, melahirkan siklus kepopuleran pemimpin berjangka pendek dan berpindah yang pragmatis karena kecewa terhadap surutnya keprimadonaan yang terperangkap dalam relasi-relasi yang mengecewakan penggemarnya.

Oleh karena itu, para ahli strategi kampanye Pemilu 2014 sangat digantungkan pertempuran mengelola sekaligus merobohkan naratif Satria Paningit hingga perilaku pemilih melodramatis yang serba paradoks dan tak terduga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar