Pemilih
Melodramatis
Garin Nugroho ; Sutradara
Film, Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
|
KOMPAS,
20 April 2014
Dalam
studi kepemimpinan populer, Cokroaminoto yang dikenal sebagai guru Soekarno
dalam fashion, orasi, menulis, serta strategi organisasi dan politik mampu
menjadikan Serikat Islam sebagai salah satu organisasi terbesar Asia pada era
awal abad ke-19. Kemampuan mengelola massa tersebut dalam pengamatan
Pemerintah Hindia Belanda tidak bisa dilepaskan dari isu bahwa Cokro adalah
Satrio Paningit alias Ratu Adil, sebuah isu yang memang dengan sengaja
dijadikan narasi besar oleh para juru komunikasi Serikat Islam.
Catatan
sejarah awal Indonesia ini menunjukkan perilaku warga dalam memilih pemimpin
tidak bisa dilepaskan dengan narasi sang tokoh yang mampu disebar ke
masyarakat menjadi mitos-mitos juru selamat penuh imaji dramatis dengan
karakter sebagai berikut:
Pertama,
unsur-unsur terkait personal tokoh, baik tanggal kelahiran maupun nama mampu
dikelola sebagai atribut Ratu Adil, sebutlah pada nama Cokro yang merupakan
senjata utama tokoh Krisna dalam pewayangan.
Kedua,
narasi kepemimpinan mistis tersebut mampu menjawab kerinduan hilangnya
kepemimpinan atau ketidakpuasan terhadap perilaku pemimpin yang berkuasa.
Sejarah mencatat, kemunculan Cokro mampu menjawab kosongnya kepemimpinan Jawa
setelah kekalahan Pangeran Diponegoro (1830) yang disertai kehadiran abad
baru era industri yang membutuhkan kepemimpinan baru.
Ketiga,
pencitraan kepemimpinan membawa rakyat menembus sekat-sekat beragam
perspektif. Sebutlah Cokro dengan cerdik menanggalkan gelar kebangsawanan
untuk merangkul massa bawah mengingat organisasi yang tumbuh periode tersebut
lebih sebagai organisasi kaum priayi. Cokro juga diceritakan mampu blusukan
dengan keberanian berhenti kerja di pemerintahan Belanda dan masuk dalam
wilayah buruh. Atau simak, kepiawaian Cokro menyandingkan priayi, buruh,
petani, pedagang, serta beragam ideologi dari sosialis hingga komunis dan mengelola
kekuatan kaum agama.
Keempat,
kemampuan mengelola medium komunikasi populer. Cokro selain orator, jurnalis,
namun juga penari Hanoman, yang menjadi ikon kepahlawanan pada abad itu
layaknya Superman dewasa ini.
Catatan
di atas menunjukkan bahwa pemilih Indonesia adalah pemilih melodramatis, yang
serba diberi penanda drama penyelamatan dalam beragam narasinya.
Lewatlah
di sudut-sudut negeri ini, spanduk Joko Wi sebagai Satria Paningit
bermunculan, dari naik kuda ke Senayan hingga naik ojek. Bisa diduga,
pertanyaan sederhana muncul: Bagaimana lawan politik harus melawan mitos yang
sulit terkalahkan seperti itu?
Panggung
wayang orang di saat hidupnya Cokro sesungguhnya bisa dipadankan dengan
televisi atau media sosial hari ini. Simaklah perilaku masyarakat umum
mengonsumsi tokoh populer hingga kasus Prita, cicak vs buaya, Hambalang,
korupsi daging sapi ataupun isu populer lainnya. Simaklah pola mengonsumsi
berita tersangka korupsi, yang dikonsumsi hanya peristiwa penuh dramanya,
yakni waktu diseret ke KPK atau penjara, namun hanya tidak lebih sebulan,
informasi detail berkait kebenaran dalam persidangan yang memerlukan
rasionalisasi kebenaran tak lagi populer dikonsumsi. Terbaca pola konsumsi
alias memilih masyarakat Indonesia dewasa ini adalah perilaku melodramatis
yang serba paradoks dengan perspektif di bawah ini:
Pertama,
karakter melodramatis pemilih memunculkan kepemimpinan primadona.
Kepemimpinan semacam itu melahirkan pemilih partisipatif yang setia, namun
sekaligus pemilih yang serba sensitif ketika muncul kritik terhadap
primadona. Pada gilirannya, sensitivitas buta tersebut bisa dikelola menjadi
kejengkelan lawan-lawan politik yang bisa terus diperluas yang melahirkan
pengucilan.
Kedua,
perilaku pemilih melodramatis meski melahirkan pola memilih dalam relasi
humanisme yang tak penah surut, justru bisa terbalik, melahirkan siklus
kepopuleran pemimpin berjangka pendek dan berpindah yang pragmatis karena
kecewa terhadap surutnya keprimadonaan yang terperangkap dalam relasi-relasi
yang mengecewakan penggemarnya.
Oleh
karena itu, para ahli strategi kampanye Pemilu 2014 sangat digantungkan
pertempuran mengelola sekaligus merobohkan naratif Satria Paningit hingga
perilaku pemilih melodramatis yang serba paradoks dan tak terduga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar