Menunggu
Gagasan Orisinal
Syamsuddin Haris ; Profesor Riset
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
10 April 2014
SETELAH
memperoleh mandat politik dari Megawati Soekarnoputri untuk jadi calon
presiden dari PDI-P, kini publik menunggu Joko Widodo bicara tentang
mimpi-mimpinya untuk Indonesia kita. Akan tetapi, perlukah Joko Widodo
(Jokowi) bicara?
Jawabannya bukan hanya perlu, melainkan harus. Sebagai bakal
calon presiden (capres) yang akan menjabat kepala negara dan kepala
pemerintahan, Jokowi harus mempunyai mimpi tentang bangsa ini
sekurang-kurangnya untuk lima tahun ke depan. Bagaimana Tanah Air kita yang
kaya raya, tetapi terperangkap ”salah urus” tak berkesudahan ini dikelola
secara benar untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Apa saja
resep dan strategi kebijakan yang akan ditawarkan Jokowi sebagai solusi untuk
mengatasi krisis pangan dan energi, kemiskinan dan kesenjangan sosial
ekonomi, daya saing ekonomi bangsa yang rendah, pengelolaan sumber daya alam
yang justru semakin memiskinkan rakyat, korupsi yang masih merajalela, dan
seterusnya.
Sebagai
calon pemimpin nasional yang akan menentukan arah sejarah ke mana bangsa kita
hendak menuju, Jokowi harus bicara mimpi-mimpinya tentang Indonesia ke depan.
Rakyat di mana pun, termasuk di negeri kita, membutuhkan pemimpin yang mampu
memberikan mereka harapan akan hari esok yang lebih baik dan menjanjikan.
Tentu saja bukan mimpi dan janji yang bersifat pepesan kosong belaka,
melainkan mimpi yang realistis dan sesuai dengan potensi sumber daya yang
dimiliki bangsa kita.
Dukungan
rakyat bagi pemimpin yang mampu memberikan harapan adalah energi dahsyat yang
bisa dikelola, tidak hanya untuk memupuk semangat patriotik mencintai bangsa
sendiri, tetapi juga menghadapi rongrongan bangsa lain.
Pendidikan politik
Setelah
berbulan-bulan berbagai media dan lembaga survei menyuguhkan potensi
elektabilitas setiap capres, termasuk Jokowi, sudah waktunya kita mendorong
para capres memformulasikan strategi kebijakan mereka untuk mengatasi aneka
persoalan krusial bangsa ini. Publik berhak tahu bagaimana Jokowi memahami
dan mengenali masalah krisis pangan dan energi, apa strategi kebijakan yang
ditawarkan sebagai solusi, dan seterusnya. Singkatnya, apa dan bagaimana
sesungguhnya paradigma atau cara pandang Jokowi sebagai capres dalam
soal-soal strategis bangsa kita.
Atas
dasar cara pandang dan strategi kebijakan yang ditawarkan itu, publik bisa
memberikan penilaian secara relatif jujur terhadap sosok Jokowi. Secara
obyektif, negeri kita tak hanya membutuhkan pendekatan dan gaya kepemimpinan
yang merakyat ala Jokowi, tetapi juga program dan strategi kebijakan
alternatif dalam mengatasi aneka persoalan krusial bangsa kita. Dengan begitu,
kita semua tak hanya bisa memutuskan untuk memilih calon pemimpin yang benar,
tetapi juga turut menjadikan momentum pemilu sebagai sarana pendidikan
politik dan pencerdasan masyarakat.
Sayangnya,
kampanye pendahuluan para bakal capres yang memanfaatkan momentum pemilu
legislatif saat ini cenderung tidak mendidik. Forum kampanye menjadi ajang
untuk menyerang dan menyindir capres dari parpol lain ketimbang meyakinkan
publik bahwa program politik yang ditawarkan benar-benar realistis bagi masa
depan Indonesia yang lebih baik.
Ada pula
capres yang mencitrakan diri sebagai wong cilik dengan cara berpura-pura
menjadi pedagang kecil, tukang becak, dan seterusnya. Seolah-olah rakyat kita
mudah tertipu oleh cara pencitraan diri seperti itu.
Ironisnya,
massa pendukung para capres pun turut saling memburukkan lawan politik idola
mereka masing-masing. Sebagaimana terekam melalui berbagai media sosial
seperti Twitter dan Facebook, pertarungan antarpendukung capres tak jarang
emosional sehingga berbagai informasi sampah pun dikunyah dan dijadikan dasar
argumen.
Bicara ”utuh”
Dalam
beberapa kesempatan pasca deklarasi pencapresan di rumah Si Pitung, Marunda,
Jakarta Utara, Jokowi memang sudah bicara beberapa soal strategis. Sebutlah
upaya klarifikasi kebijakan Megawati saat menjadi presiden tentang penjualan
aset negara PT Indosat. Namun, pada umumnya penjelasan Jokowi lebih merupakan
respons atas pertanyaan para jurnalis ketimbang suatu cara pandang yang
”utuh” atas suatu persoalan. Saya berpendapat, bangsa kita menunggu Jokowi
berbicara agak ”utuh” tentang tantangan Indonesia ke depan dan berbagai resep
yang dianggap mujarab untuk mengantisipasi dan mengatasinya.
Barangkali
benar Jokowi tidak memiliki keterampilan berbicara secara artikulatif di
depan publik. Mantan Wali Kota Solo itu bukanlah seorang orator seperti
Prabowo Subianto, bakal capres Partai Gerindra, yang bisa tampil lantang dan
berapi-api.
Meski
demikian, tidak berarti Jokowi harus diam seribu bahasa. Apalagi publik
sangat berharap bahwa presiden hasil pemilihan presiden mendatang adalah
seorang yang lebih tegas dibandingkan dengan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono yang selama hampir 10 tahun ini dikenal lamban, terlampau
hati-hati, dan kompromistis.
Mungkin
juga benar personalitas Jokowi bukanlah sosok yang terlampau suka dengan
formalitas, termasuk dalam mengemukakan cara pandang dan pilihan kebijakan
bagi Indonesia ke depan. Akan tetapi, adalah keliru jika ada anggapan bahwa
bangsa ini tidak membutuhkan suara bergetar para pemimpin yang bisa memberikan
harapan. Betapapun lirih suara hati yang bisa diberikan Jokowi, saya kira
rakyat kita saat ini tengah menunggu untuk mendengarnya.
Sulit
dimungkiri, saat ini sudah banyak harapan dan janji yang disuarakan para
bakal capres. Namun, sebagian besar janji tersebut cenderung bersifat klise
dan sloganistik.
Sebut
saja, misalnya, soal ekonomi kerakyatan. Hampir semua calon presiden
mengangkat isu ekonomi kerakyatan sebagai salah satu program politik utama
yang ditawarkan. Namun, hampir tidak satu pun gagasan yang benar-benar
orisinal sekaligus realistis untuk membawa bangsa kita mewujudkan sistem
ekonomi kerakyatan. Pertanyaannya, apakah Jokowi
memiliki gagasan yang lebih orisinal, atau cenderung klise dan sloganistik
seperti capres lain? Saya kira di situlah urgensi Jokowi bicara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar