Aku
Rapopo
Musyafak ; Staf Balai Litbang
Agama Semarang
|
TEMPO.CO,
08 April 2014
Belakangan
ini, masyarakat Indonesia seolah dipaksa mengecap sekaligus mengucap idiom
aku rapopo. Bukan hanya populer di jejaring sosial yang dituliskan dengan
hastag #akurapopo, bahkan, idiom satire tersebut telah menjadi idiom politik.
Beberapa politikus yang sedang mendekati ring-1 pemilihan presiden
menggunakan idiom itu ketika menanggapi pernyataan politik lawan yang
dianggap berbau kampanye hitam.
Mulanya
adalah Jokowi yang bilang "aku
rapopo" untuk menanggapi tudingan bahwa dirinya merupakan calon
presiden boneka. Berikutnya, Prabowo mengatakan "saya juga rapopo" ihwal tuduhan pelanggaran HAM yang
dialamatkan kepadanya selama menjabat Danjen Kopassus. Dalam kesempatan lain,
SBY juga mengatakan "rapopo" terhadap orang-orang yang
menjelek-jelekkan dirinya.
Aku
rapopo merupakan idiom yang dinukil dari bahasa Jawa "aku ora opo-opo" (disingkat menjadi aku rapopo) yang berarti "saya tidak apa-apa". Idiom
ini memaknakan sikap ketabahan pengujarnya ketika ditimpa hal-hal tidak
mengenakkan.
Makna
tersebut bisa dirunut dalam prinsip-prinsip etis orang Jawa yang
mengedepankan sikap nrima dan sabar. Karakter orang Jawa memang biasa ngempet lara (menahan sakit) atau ngempet eluh (menahan tangis).
Niels
Mulder, dalam bukunya, Pribadi dan Masyarakat Jawa (1985), menegaskan bahwa
orang Jawa pada umumnya berusaha menyesuaikan diri terhadap bentuk-bentuk dan
harapan sosial. Pada saat bersamaan, mereka pun berusaha menghindari
pertikaian dan gangguan untuk menjaga keteraturan dan kedamaian.
Idiom
aku rapopo tampaknya bermuara pada upaya orang Jawa untuk menjaga ketertiban
sosial. Sabar dan nrima menjadi pegangan untuk tidak terlibat dalam
konfrontasi yang bisa mengacaukan ketertiban. Walhasil, aku rapopo yang
diucapkan Jokowi, Prabowo atau SBY, mengenai opini negatif terhadap diri
mereka, memaknakan sikap sabar dan mengalah. Aku rapopo adalah sejenis
pilihan untuk bersikap diam agar keadaan tidak kian keruh dan ricuh, meski di
dalam diri memeram rasa sakit.
Ucapan
aku rapopo memang merepresentasikan sikap arif. Namun, sebagai sikap politik,
aku rapopo justru bisa menjadi penyakit laten yang mengeroposi tubuh dan jiwa
politik.
Aku
rapopo memaknakan sikap permisif, tak ubahnya pepatah "biarkan anjing menggonggong kafilah tetap berlalu".
Hal ini menandakan seolah-olah politikus sudah bersikap benar ketika
menyatakan dirinya tidak apa-apa saat terkena tuduhan miring atau fitnah.
Politikus tidak menanggapi opini negatif dengan menggunakan argumentasi dan
data yang bisa menerangkan bahwa tudingan yang ditujukan kepadanya adalah
sesuatu yang mentah.
Para
politikus semacam ini adalah orang-orang yang mempraktekkan politik
nirkonfrontasi. Sebagaimana disinggung oleh Donny Gahral Adian dalam buku Teori Militansi: Esai-esai Politik Radikal
(2011), dewasa ini konfrontasi tengah absen dalam mengartikulasikan
kepentingan-kepentingan politik. Konfrontasi kini tergantikan dengan
negosiasi-kompromi di kalangan politikus.
Betapa
kita merindukan politik yang berkonfrontasi dan berdebat secara gentle untuk
menerangkan mana yang hitam dan mana yang putih. Bukan sikap politik yang
ambigu sebagaimana termuat dalam idiom aku rapopo.
Di
tengah keruwetan hidup berbangsa dan kegentingan politik hari ini, masihkah
kita akan bilang aku rapopo? Kalau iya, berarti kita permisif, atau bahkan
menyerah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar