Mengapa
Partisipasi Pemilu di Luar Negeri Rendah?
Ardi Winangun ; Penggiat Komunitas
Penulis Lapak Isu
|
OKEZONENEWS,
08 April 2014
Dengan
alasan-alasan tertentu, maka Pemilu Legislatif 2014 telah diselenggarakan
bagi para WNI yang berada di luar negeri. Dari pelaksanaan Pemilu untuk Dapil
luar negeri itu, meski terbilang sukses dan lancar, namun tingkat partisipasi
pemilih tidak menggembirakan. Di Hong Kong misalnya, dari 102 ribu orang yang
terdaftar sebagai pemilih, yang menggunakan haknya ternyata hanya 5.000
orang.
Dengan
mengacu proses pelaksanaan di Hong Kong, maka pihak KPU harus secepat mungkin
mengevaluasi kinerjanya agar Pemilu Presiden 2014 di negara di mana WNI jumlahnya
mencapai ribuan orang tersebut harus lebih bisa sukses dengan tingkat
partisipasi yang tinggi.
Negara
yang jumlah WNI terdaftar dalam DPT mencapai ribuan itu ada di Malaysia, Arab
Saudi, dan Singapura. Para WNI berada di negara-negara itu kebanyakan adalah
para pekerja rumah tangga, buruh bangunan, pekerja perkebunan, pekerja restoran,
dan sedikit yang menjadi mahasiswa dan pekerja profesional.
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan mengapa tingkat partisipasi Pemilu
Legislatif di luar negeri rendah. Faktornya adalah, pertama, jauhnya
informasi tentang Pemilu buat para WNI yang bekerja sebagai pekerja rumah
tangga, restoran, pekerja perkebunan dan bangunan. Pekerjaan yang demikian
adalah sebuah pekerjaan yang jauh dari hiruk-pikuk lalu-lalang informasi
berita. Rutinitas mereka, mulai pagi bekerja sampai siang bahkan sampai malam,
selanjutnya mereka lelah lalu istirahat.
Kelelahan
itu membuat mereka tidak peduli dengan hal-hal di luar rutinitas mereka. Lain
halnya dengan para WNI di luar negeri yang bekerja di sektor profesional
terpandang atau mahasiswa. Mereka lebih banyak punya waktu untuk mengakses
informasi. Sebenarnya KPU telah memberi sosialisasi kepada para TKW dan TKI
kapan Pemilu Legislatif dilaksanakan. Namun karena faktor rutinitas bekerja,
membuat mereka kurang peduli dengan Pemilu.
Kedua,
selain faktor rutinitas kerja, faktor majikan dan juragan TKI dan TKW sangat
berpengaruh pada tingkat partisipasi Pemilu. Pikiran para juragan dan majikan
adalah para TKI dan TKW harus bekerja dengan baik dan patuh pada aturan
kerja. Bila majikan dan juragan berpikir kapitalis maka mereka akan
dieksploitasi setiap hari sehingga para TKI dan TKW itu tidak diperkenankan
keluar dari lingkup pekerjaannya.
Misalnya,
pada hari Minggu, para TKI dan TKW yang berkerja di restoran oleh majikan
atau juragannya tidak diizinkan meninggalkan pekerjaan. Sebab pada hari
Minggu restoran ramai pengunjung. Penulis pernah menemukan banyak TKW bekerja
di restoran seperti di Bukit Bintang, Larkin Johor Bharu, Nilam Negeri Sembilan,
Pasar Rakyat, di Malaysia; atau Orchard di Singapura. Demikian pula yang
bekerja di perkebunan, tidak diizinkan keluar karena perkebunannya sedang
panen.
Untuk
itu, KPU, kedutaan besar, dan konsulat jenderal dalam mensosialisasikan
Pemilu tidak hanya kepada para TKI dan TKW, namun juga harus kepada majikan
dan juragan mereka. Kedutaan besar atau konsulat jenderal harus mampu menjalin
kerja sama dengan pemerintah setempat untuk memberitahukan kepada para
majikan dan juragan TKI dan TKW untuk memberi izin pada hari yang sudah ditentukan
kepada para WNI guna pergi ke TPS untuk menggunakan suaranya dalam Pemilu.
Sebab peristiwa itu penting bagi masa depannya. Bila komunikasi antara
majikan dan juragan dengan penyelenggara Pemilu terjalin baik, maka para majikan
dan juragan itu akan paham dan mendorong para TKI dan TKW untuk pergi
nyoblos.
Ketiga,
Dapil luar negeri bagi partai politik dan caleg bisa jadi dianggap penting
dan tidak penting. Penting sebab jumlah mereka cukup banyak. Di Malaysia saja
bisa jadi sampai 2 juta WNI, demikian pula di Arab Saudi. Namun karena di
luar negeri membuat partai dan caleg berpikir ulang untuk melakukan kampanye.
Sebab bila melakukan kampanye di sana, selain adanya aturan di negeri orang
yang cukup ketat dalam berpolitik, pasti juga memerlukan biaya yang mahal.
Bayangkan
kalau mau kampanye di Malaysia, mungkin harus dilaksanakan dari Kelantan
sampai Sabah. Kalau di Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Berapa ringgit
uang harus dikeluarkan? Tak adanya sosialisasi dari partai dan caleg yang
massif itulah maka membuat para WNI di sana bingung siapa caleg dan partai
yang akan dicoblos. Tak adanya janji-janji partai itulah yang juga bisa
membuat para TKI dan TKW enggan ke TPS.
Keempat,
bila pemilih di Indonesia diguyur dengan kaos, uang, sembako, makan-minum
gratis, dan bantuan karikatif lainnya oleh para caleg, hal demikian tidak
dialami para pemilih yang ada di luar negeri. Padahal nasib mereka yang
berada di Malaysia, Arab Saudi, Singapura, Hong Kong, dan di beberapa negara
lainnya sama dengan yang ada di Indonesia.
Guyuran
kaos, uang, sembako, makan-minum gratis, dan bantuan karikatif lainnya sangat
berpengaruh pada tingkat partisipasi pemilih. Bila para caleg memperlakukan
hal yang sama kepada para TKW dan TKI, bisa jadi mereka tergerak untuk datang
ke TPS.
Hal
demikianlah yang menjadi tantangan bagi KPU, Kementerian Luar Negeri, partai
politik, dan caleg untuk meningkatkan partisipasi pemilihan di luar negeri
secara luber dan jurdil. Tentu harus dipikirkan cara-cara yang lebih mudah,
manusiawi, dan tidak mengganggu hubungan kerja mereka dengan majikan atau
juragan serta tak mengganggu studi bila mereka mahasiswa atau pelajar agar
saudara-saudara kita yang mencari rezeki dan ilmu di negeri orang bisa ikut
berpartisipasi dalam Pemilu. Suara mereka tetap perlu dipungut sebab suara
mereka juga menentukan masa depannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar