Advokasi
Antikekerasan di Sekolah
Khairil Azhar ;
Konsultan sekolah di Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 21 April 2014
KEKERASAN pelajar, baik di
sekolah maupun sepulang sekolah, tetap menjadi fenomena yang meresahkan
sampai saat ini. Sebagai orangtua, berita-berita terkait atau bahkan kejadian
yang dialami secara pribadi atau oleh anak-anak kita menumbuhkan trauma yang
tak mudah dipupuskan.
Di sekolah, terutama
ketika guru atau orang dewasa lainnya tidak ada di tempat kejadian,
perkelahian pelajar dan bullying amat rentan terjadi. Kekerasan jauh lebih
potensial lagi ketika di banyak sekolah perbandingan jumlah pelajar dan guru
(orang dewasa) yang tidak seimbang, dengan rasio normalnya ialah 10
berbanding 1.
Lebih dari satu dasawarsa,
dalam menyikapi fenomena keke rasan pelajar ini, para ahli pendidikan,
politikus, dan pejabat negara yang secara langsung atau tidak langsung
bersentuhan dengan pendidikan berbicara mengenai pendidikan karakter. Dengan
model-model yang masih berparadigma ‘indoktrinasi’ dan secara pedagogis
masih konvensional, berbagai seminar dan lokakarya dirancang dan
dilaksanakan. Bahkan secara nasional, terdapat kebijakan dan kurikulum dengan
skema pembiayaan yang mahal.
Hasilnya, sampai Maret
2014, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sudah menerima laporan 19
kasus bullying yang terjadi di lingkungan sekolah. Jumlah itu tentu belum
termasuk kasuskasus yang tidak dilaporkan, terjadi di luar sekolah dan di daerah-daerah
tempat tingkat kesadaran orangtua dan masyarakat masih rendah.
Sepanjang Januari-Oktober
2013, 19 pelajar terbunuh dalam 228 tawuran di seluruh Indonesia dan puluhan
lainnya luka-luka. Namun, jumlah itu baru berdasarkan data yang dihimpun dari
rumah sakit yang menerima korban. Jika dibandingkan dengan 2012, kasus
tawuran mengalami peningkatan signifikan, dengan hanya dilaporkan 128 kasus
dan jumlah korban yang lebih sedikit.
Pendekatan struktural
Di Jakarta dan sekitarnya,
sebagai contoh, sekolah-sekolah dengan sejarah kekerasan yang berulang
mengambil berbagai kebijakan struktural. Dalam lingkup sekolah terdapat
semacam satuan tugas (satgas) yang terdiri atas para guru dan karyawan, yang
bertanggung jawab memonitor perilaku dan kegiatan siswa. Sekolah-sekolah
tertentu juga bekerja sama langsung dengan kepolisian setempat, tidak saja
untuk mengawasi siswa, tetapi juga terlibat dalam kegiatankegiatan bersama
yang konstruktif.
Dalam konteks
kependidikan, terdapat lembaga-lembaga internal sekolah yang ditujukan untuk
menyibukkan siswa sehingga energi mereka tersalurkan dalam kegiatan-kegiatan
yang positif. Kita bisa mencatat adanya lembaga kerohanian, kelompok-kelompok
ilmiah, organisasi yang memfasilitasi kegiatan-kegiatan yang lebih fisis,
atau grup-grup seni. Sayangnya, struktur-struktur yang sudah dibuat tidaklah
efektif. Satgas yang bertugas mengawasi siswa pada umumnya bermasalah terkait
dengan kedisiplinan, yang meliputi ketidakhadiran, sikap permisif, dan
menganggap remeh persoalan dan potensi kekerasan.
Pendekatan struktural
dengan mengadakan berbagai lembaga dan kegiatan kesiswaan, meskipun sejauh
ini dinilai sebagai cara yang efektif oleh berbagai kalangan, juga masih
memiliki cacat yang riskan. Persoalannya terutama terkait dengan konsistensi,
variasi, dan substansi kegiatan.
Dengan melihat tingkat
kehadiran peserta dalam ke giatan, umpamanya, biasanya terdapat kecenderungan
penurunan kehadiran kalau tidak fluktuatif. Secara pedagogis,
kegiatan-kegiatan kesiswaan acap kali monoton, gagal mempertahankan motivasi
peserta, dan tidak menyentuh kebutuhan real atau ekspektasi mereka.
Di sisi lain, kendala yang
menyebabkan pendekatan struktural itu tidak maksimal dan di banyak sekolah
bahkan tidak berjalan ialah kelemahan atau kekurangan fungsi pengawasan.
Selain fungsi internal seperti peran pimpinan sekolah, yang amat disayangkan
sering kali sangat birokratis dan paternalistis, fungsi kontrol dari orangtua
murid dan komunitas lingkungan sekolah lemah atau bahkan tidak ada sama
sekali.
Pendekatan kebijakan
Dalam satu dasawarsa terakhir,
“pendidikan karakter” menjadi salah satu frame
yang laris. Puncaknya ialah ketika kurikulum 2013 diluncurkan,
karakter-karakter yang diasumsikan “asli Indonesia” diintegrasikan ke dalam
muatan kurikulum dan pembelajaran “wajib” berbasiskan karakter yang relevan.
Terkait dengan pendidikan antikekerasan di sekolah, pembelajaran
karakter-karakter yang terdapat dalam kurikulum diandaikan akan menyelesaikan
sebagian persoalan. Secara pedagogis, siswa akan belajar tentang dan berlatih
mempraktikkan seluruh karakter dalam ranah kognitif (pengetahuan), afektif
(sikap) dan psikomotorik (tindakan) terutama dalam konteks pembelajaran
formal.
Seperti implementasi
kurikulum-kurikulum sebelumnya, pemerintah membuat kebi jakan de ngan SENO
skema pembiayaan yang besar terkait dengan pelatihan kompetensi guru dan
tenaga kependidikan serta pengadaan buku-buku teks penunjang. Sebelum
menikmati manfaat sebenarnya, dalam bulan-bulan menjelang tahun pelajaran
baru ini, banyak sekolah yang harus merelakan guru dan karyawan mereka
mengikuti pelatihan, rapat, atau seminar terkait.
Di tingkat sekolah,
kebijakan-kebijakan terkait dengan pendidikan antikekerasan cukup beragam.
Dengan menarik sebuah garis kontinum, terdapat kebijakan-kebijakan yang
sangat konvensional di satu ujung dan kebijakankebijakan yang sangat inovatif
di ujung lainnya. Peraturan-peraturan sekolah, baik yang dibuat berdasarkan
asumsiasumsi umum terkait kebutuhan sekolah maupun atas dasar
kebutuhan-kebutuhan khusus, mudah ditemukan di titik-titik strategis di
hampir semua sekolah.
Yang lebih inovatif dan maju, tentu saja, terdapat sekolah-sekolah yang sudah membuat standar operasional prosedur (SOP) atau bahkan statuta bagi program tertentu. Baik bagi siswa maupun guru, juga bisa ditemukan bahwa kebijakan-kebijakan yang dibuat sudah menggunakan paradigma seperti reward and punishment.
Kebijakan-kebijakan tersebut
dibuat dalam bentuk ukuran prestasi dan penghargaan secara publik, baik atas
kinerja individual ataupun kelompok. Di sekolah-sekolah yang lebih maju,
implementasi paradigma love and
affection--yakni pendidikan berbasis cinta-kasih dengan fokus pada pemba
ngunan motivasi in trinsik--bahkan sudah diupayakan.
Saat pendekatan kebijakan
itu dicermati, pertamatama terdapat persoalan besar pada tataran implementasi
kurikulum. Muatan kurikulum di Indonesia, dengan jumlah yang besar dan
tingkat kerumitan yang lebih tinggi bahkan jika dibandingkan dengan negara
maju sekalipun, justru membuat proses pembelajaran bermuara pada kesepakatan
diam-diam akan prinsip “apa adanya”. Artinya, alih-alih siswa akan belajar
sampai taraf yang mampu memberi mereka perspektif antikekerasan karena adanya
peningkatan kualitas penalaran atau akuisisi pengetahuan yang relevan, mereka
terjebak dalam rutinitas persekolahan, ketidaktahuan, dan kesadaran semu.
Kedua, seperti halnya
pendekatan struktural, efektivitas pendekatan kebijakan sering kali
terkendala dengan persoalan kedisiplinan dan konsistensi. Terkait dengan
mekanisme kontrol, seperti penegakan aturan dan keberlakuan prosedur,
sekolahsekolah dengan kualitas struktural yang buruk amat mudah kedodoran.
Alternatif
Dengan melihat peta
pendidikan saat ini, kebijakankebijakan struktural yang diambil negara atau
dibuat pihak sekolah cenderung bersifat administratif, fungsi kontrol sosial
menjadi amat signifikan. Yang cukup menggembirakan, peluang bagi komunitas
nonstruktural untuk memengaruhi kebijakan sekolah--sebagai lembaga
penyelenggara pendidikan--saat ini terbuka lebih lebar.
Lembaga-lembaga seperti
komite sekolah yang selama ini lebih sering dituntut untuk membantu sekolah
terkait dengan bantuan finansial atau sarana-prasarana mesti menjadi lembaga
pengawasan yang lebih cerdas. Hal yang sama juga bisa dilakukan terkait
dengan komunitas di lingkungan sekolah, termasuk lembaga swadaya masyarakat
terkait dengan pendidikan.
Ketika kontrol sosial
terhadap sekolah bisa berjalan, terutama dalam memastikan struktur dan
berbagai kebijakan yang dibuat bisa berjalan secara konsisten, kekerasan
pelajar akan lebih mudah dicegah. Dalam berbagai kasus, adanya jarak
struktural antara sekolah dan masyarakat menyebabkan sekolah cenderung
berjalan sendiri dan ketika terjadi kasus kekerasan, yang muncul ialah
orientasi saling menyalahkan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar