Selasa, 22 April 2014

Advokasi Antikekerasan di Sekolah

Advokasi Antikekerasan di Sekolah

Khairil Azhar  ;   Konsultan sekolah di Jakarta
MEDIA INDONESIA, 21 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
KEKERASAN pelajar, baik di sekolah maupun sepulang sekolah, tetap menjadi fenomena yang meresahkan sampai saat ini. Sebagai orangtua, berita-berita terkait atau bahkan kejadian yang dialami secara pribadi atau oleh anak-anak kita menumbuhkan trauma yang tak mudah dipupuskan.

Di sekolah, terutama ketika guru atau orang dewasa lainnya tidak ada di tempat kejadian, perkelahian pelajar dan bullying amat rentan terjadi. Kekerasan jauh lebih potensial lagi ketika di banyak sekolah perbandingan jumlah pelajar dan guru (orang dewasa) yang tidak seimbang, dengan rasio normalnya ialah 10 berbanding 1.

Lebih dari satu dasawarsa, dalam menyikapi fenomena keke rasan pelajar ini, para ahli pendidikan, politikus, dan pejabat negara yang secara langsung atau tidak langsung bersentuhan dengan pendidikan berbicara mengenai pendidikan karakter. Dengan model-model yang masih berparadigma ‘indoktrinasi’ dan secara pedagogis masih konvensional, berbagai seminar dan lokakarya dirancang dan dilaksanakan. Bahkan secara nasional, terdapat kebijakan dan kurikulum dengan skema pembiayaan yang mahal.

Hasilnya, sampai Maret 2014, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sudah menerima laporan 19 kasus bullying yang terjadi di lingkungan sekolah. Jumlah itu tentu belum termasuk kasuskasus yang tidak dilaporkan, terjadi di luar sekolah dan di daerah-daerah tempat tingkat kesadaran orangtua dan masyarakat masih rendah.

Sepanjang Januari-Oktober 2013, 19 pelajar terbunuh dalam 228 tawuran di seluruh Indonesia dan puluhan lainnya luka-luka. Namun, jumlah itu baru berdasarkan data yang dihimpun dari rumah sakit yang menerima korban. Jika dibandingkan dengan 2012, kasus tawuran mengalami peningkatan signifikan, dengan hanya dilaporkan 128 kasus dan jumlah korban yang lebih sedikit.

Pendekatan struktural

Di Jakarta dan sekitarnya, sebagai contoh, sekolah-sekolah dengan sejarah kekerasan yang berulang mengambil berbagai kebijakan struktural. Dalam lingkup sekolah terdapat semacam satuan tugas (satgas) yang terdiri atas para guru dan karyawan, yang bertanggung jawab memonitor perilaku dan kegiatan siswa. Sekolah-sekolah tertentu juga bekerja sama langsung dengan kepolisian setempat, tidak saja untuk mengawasi siswa, tetapi juga terlibat dalam kegiatankegiatan bersama yang konstruktif.

Dalam konteks kependidikan, terdapat lembaga-lembaga internal sekolah yang ditujukan untuk menyibukkan siswa sehingga energi mereka tersalurkan dalam kegiatan-kegiatan yang positif. Kita bisa mencatat adanya lembaga kerohanian, kelompok-kelompok ilmiah, organisasi yang memfasilitasi kegiatan-kegiatan yang lebih fisis, atau grup-grup seni. Sayangnya, struktur-struktur yang sudah dibuat tidaklah efektif. Satgas yang bertugas mengawasi siswa pada umumnya bermasalah terkait dengan kedisiplinan, yang meliputi ketidakhadiran, sikap permisif, dan menganggap remeh persoalan dan potensi kekerasan.

Pendekatan struktural dengan mengadakan berbagai lembaga dan kegiatan kesiswaan, meskipun sejauh ini dinilai sebagai cara yang efektif oleh berbagai kalangan, juga masih memiliki cacat yang riskan. Persoalannya terutama terkait dengan konsistensi, variasi, dan substansi kegiatan.

Dengan melihat tingkat kehadiran peserta dalam ke giatan, umpamanya, biasanya terdapat kecenderungan penurunan kehadiran kalau tidak fluktuatif. Secara pedagogis, kegiatan-kegiatan kesiswaan acap kali monoton, gagal mempertahankan motivasi peserta, dan tidak menyentuh kebutuhan real atau ekspektasi mereka.

Di sisi lain, kendala yang menyebabkan pendekatan struktural itu tidak maksimal dan di banyak sekolah bahkan tidak berjalan ialah kelemahan atau kekurangan fungsi pengawasan. Selain fungsi internal seperti peran pimpinan sekolah, yang amat disayangkan sering kali sangat birokratis dan paternalistis, fungsi kontrol dari orangtua murid dan komunitas lingkungan sekolah lemah atau bahkan tidak ada sama sekali.

Pendekatan kebijakan

Dalam satu dasawarsa terakhir, “pendidikan karakter” menjadi salah satu frame yang laris. Puncaknya ialah ketika kurikulum 2013 diluncurkan, karakter-karakter yang diasumsikan “asli Indonesia” diintegrasikan ke dalam muatan kurikulum dan pembelajaran “wajib” berbasiskan karakter yang relevan. Terkait dengan pendidikan antikekerasan di sekolah, pembelajaran karakter-karakter yang terdapat dalam kurikulum diandaikan akan menyelesaikan sebagian persoalan. Secara pedagogis, siswa akan belajar tentang dan berlatih mempraktikkan seluruh karakter dalam ranah kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotorik (tindakan) terutama dalam konteks pembelajaran formal.

Seperti implementasi kurikulum-kurikulum sebelumnya, pemerintah membuat kebi jakan de ngan SENO skema pembiayaan yang besar terkait dengan pelatihan kompetensi guru dan tenaga kependidikan serta pengadaan buku-buku teks penunjang. Sebelum menikmati manfaat sebenarnya, dalam bulan-bulan menjelang tahun pelajaran baru ini, banyak sekolah yang harus merelakan guru dan karyawan mereka mengikuti pelatihan, rapat, atau seminar terkait.

Di tingkat sekolah, kebijakan-kebijakan terkait dengan pendidikan antikekerasan cukup beragam. Dengan menarik sebuah garis kontinum, terdapat kebijakan-kebijakan yang sangat konvensional di satu ujung dan kebijakankebijakan yang sangat inovatif di ujung lainnya. Peraturan-peraturan sekolah, baik yang dibuat berdasarkan asumsiasumsi umum terkait kebutuhan sekolah maupun atas dasar kebutuhan-kebutuhan khusus, mudah ditemukan di titik-titik strategis di hampir semua sekolah. 

Yang lebih inovatif dan maju, tentu saja, terdapat sekolah-sekolah yang sudah membuat standar operasional prosedur (SOP) atau bahkan statuta bagi program tertentu. Baik bagi siswa maupun guru, juga bisa ditemukan bahwa kebijakan-kebijakan yang dibuat sudah menggunakan paradigma seperti reward and punishment.

Kebijakan-kebijakan tersebut dibuat dalam bentuk ukuran prestasi dan penghargaan secara publik, baik atas kinerja individual ataupun kelompok. Di sekolah-sekolah yang lebih maju, implementasi paradigma love and affection--yakni pendidikan berbasis cinta-kasih dengan fokus pada pemba ngunan motivasi in trinsik--bahkan sudah diupayakan.

Saat pendekatan kebijakan itu dicermati, pertamatama terdapat persoalan besar pada tataran implementasi kurikulum. Muatan kurikulum di Indonesia, dengan jumlah yang besar dan tingkat kerumitan yang lebih tinggi bahkan jika dibandingkan dengan negara maju sekalipun, justru membuat proses pembelajaran bermuara pada kesepakatan diam-diam akan prinsip “apa adanya”. Artinya, alih-alih siswa akan belajar sampai taraf yang mampu memberi mereka perspektif antikekerasan karena adanya peningkatan kualitas penalaran atau akuisisi pengetahuan yang relevan, mereka terjebak dalam rutinitas persekolahan, ketidaktahuan, dan kesadaran semu.

Kedua, seperti halnya pendekatan struktural, efektivitas pendekatan kebijakan sering kali terkendala dengan persoalan kedisiplinan dan konsistensi. Terkait dengan mekanisme kontrol, seperti penegakan aturan dan keberlakuan prosedur, sekolahsekolah dengan kualitas struktural yang buruk amat mudah kedodoran.

Alternatif

Dengan melihat peta pendidikan saat ini, kebijakankebijakan struktural yang diambil negara atau dibuat pihak sekolah cenderung bersifat administratif, fungsi kontrol sosial menjadi amat signifikan. Yang cukup menggembirakan, peluang bagi komunitas nonstruktural untuk memengaruhi kebijakan sekolah--sebagai lembaga penyelenggara pendidikan--saat ini terbuka lebih lebar.

Lembaga-lembaga seperti komite sekolah yang selama ini lebih sering dituntut untuk membantu sekolah terkait dengan bantuan finansial atau sarana-prasarana mesti menjadi lembaga pengawasan yang lebih cerdas. Hal yang sama juga bisa dilakukan terkait dengan komunitas di lingkungan sekolah, termasuk lembaga swadaya masyarakat terkait dengan pendidikan.

Ketika kontrol sosial terhadap sekolah bisa berjalan, terutama dalam memastikan struktur dan berbagai kebijakan yang dibuat bisa berjalan secara konsisten, kekerasan pelajar akan lebih mudah dicegah. Dalam berbagai kasus, adanya jarak struktural antara sekolah dan masyarakat menyebabkan sekolah cenderung berjalan sendiri dan ketika terjadi kasus kekerasan, yang muncul ialah orientasi saling menyalahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar