Jakarta
International School
Ahmad Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma,
Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 21 April 2014
“The best school-based violence prevention programs seek to do
more than reach the individual child. They instead try to change the total
school environment, to create a safe community that lives by a credo of
non-violence.” Willam De Jong (2006)
KASUS kekerasan yang
menimpa sejumlah anak TK diJakarta International School (JIS) menjadi
pembuktian lemahnya peran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
dalam mengawasi sekolahsekolah berbasis internasional. Bukan hanya penting
untuk mengevaluasi keberadaan seluruh sekolah berbasis internasional yang ada
di Indonesia, melainkan juga penting untuk meningkatkan basis kesadaran
masyarakat tentang peran dan keterlibatan orangtua serta semua pihak dalam
proses pendidikan anak-anak mereka. Prinsip-prinsip keselamatan anak di
sekolah harus dielaborasi secara bersama antara pemerintah, orangtua, guru,
dan manajemen sekolah.
Dengan praktik tak ada
kekerasan di lembaga pendidikan, kredo tentang asas nirkeke rasan ini
merupakan disiplin serius yang ingin ditegakkan oleh setiap orang yang
terlibat di dunia pendidikan, mengingat konflik dan pertentangan pendapat
merupakan hal alami dan tak bisa dihindari oleh setiap manusia.
Peristiwa
kekerasan yang terjadi di kampus JIS, misalnya, membuat kita seolah tak
percaya, mengapa manajemen sekolah menjadi sedemikian tertutup dalam konteks
ini? Salah satu yang harus kita evaluasi selain posisi budaya nirkekerasan
ialah peranan pengembangan kurikulum (curriculum
development).
Kesepakatan tentang
penanganan konflik dan kekerasan di lembaga pendidikan bukan saja penting untuk
dimasukkan ke struktur kurikulum secara formal, melainkan juga bisa
diskemakan ke dalam statuta yang mengatur segala urusan konflik secara jelas
berdasarkan struktur lembaga pendidikan masing-masing.
Membangun komitmen
pendidikan damai, dengan demikian, ialah kata kunci yang harus dilakukan oleh
seluruh pemangku kepentingan pendidikan dalam rangka merancang bangunan
resolusi konflik yang memadai di lingkungan pendidikan agar anak-anak kita
terhindar dari semua perilaku kasar dan keras di kemudian hari, seperti yang
kita lihat hari-hari terakhir ini.
Diskriminasi
Mengapa kita perlu
mengevaluasi eksistensi sekolah internasional yang ada di Indonesia? Pertama,
tentu saja kita ingin memastikan bahwa sistem pendidikan kita juga memiliki
kualitas yang baik sehingga keberadaan sekolah semacam JIS harus tunduk pada
norma dan aturan yang berlaku di Indonesia. Alih-alih keberadaan sekolah
internasional malah akan menumbuhkan asas diskriminasi di tengah masyarakat
kita yang sangat majemuk ini.
Kedua, keberadaan sekolah
internasional juga harus disupervisi secara ketat dan berkelanjutan, karena
mayoritas siswa yang bersekolah di sana ialah anak-anak Indonesia juga.
Karena itu, sebuah tim yang memiliki kewenangan penuh dalam mengevaluasi
sistem dan mekanisme proses belajar-mengajar di sekolah internasional harus
dibentuk.
Jika kita berkaca pada
sejarah sekolah internasional, bahkan di Amerika sendiri, kisruh serupa juga
pernah terjadi ketika pada 2006 sebuah sekolah St Clair IB (International Baccalaureate) Program di
Los Angeles mengatakan bahwa program IB berorientasi sebagai anti-Amerika dan
anti-Kristen. Karena program IB sedari awal ditujukan untuk anak-anak
diplomat yang bekerja di luar negeri, desain kurikulumnya kadang-kadang
menafikan kurikulum lokal sehingga muncul desakan untuk menutup program IB
tersebut. Di dunia saat ini program IB telah menyusupi lebih dari 1.700
sekolah, dan bahkan di Amerika sekalipun jenis program ini masih ada yang
menolaknya.
Pertanyaan kritis yang
muncul dari kasus ini ialah, jangan-jangan sekolah-sekolah internasional yang
ada di Indonesia semata-mata juga akan mengikuti model atau teori
pengembangan cara program IB yang terkadang melupakan lokalitas.
Jika mengikuti teori dan
model globalisasi pendidikan yang diajukan Yin Cheong Cheng dalam Fostering Local Knowledge and Wisdom in
Globalized Education: Multiple Theories (2002), setidaknya ada enam model
teori globalisasi pendidikan, yaitu 1) theory
of tree, 2) theory of crystal,
3) theory of birdcage, 4) theory of DNA, 5) theory of fungus, dan 6) theory
of amoeba. Tiap-tiap teori mengasumsikan tentang pentingnya
mempertimbangkan local wisdom
sebelum sebuah kebijakan tentang sekolah internasional diberlakukan.
Kritisi kebijakan
Identifikasi teori-teori
ini ke dalam struktur lokal/daerah seharusnya dipertimbangkan dalam
mengembangkan model pendidikan dengan standar internasional. Jika pada aspek
teoretis identifikasinya menunjukkan peluang yang bagus, pilihan model tak
akan terlalu rumit karena telah disesuaikan dengan kondisi aktual sebuah
daerah.
Salah satu hal yang
menarik dari pendekatan di atas, misalnya, bagaimana jika kebijakan soal
sekolah internasional di Indonesia diwajibkan untuk mengadopsi teori sangkar
burung (theory of birdcage), yaitu
membuka diri terhadap globalisasi, tetapi dalam waktu yang bersamaan juga
berusaha menyaring pengaruh-pengaruh negatifnya. Dalam teori ini, ideologi
dan norma-norma sosial menjadi sumber dasar bagi desain kurikulum dan seluruh
kegiatan pendidikan dengan lokus lokal dalam memanfaatkan global knowledge.
Dengan asumsi dari teori
ini kemudian otoritas lokal kependidikan kita dapat menentukan tujuan dari
sekolah internasional dengan target untuk menghasilkan seseorang yang
berpandangan global, tetapi tetap menghargai kearifan lokal dan knowledge yang ada.
Kontroversi soal sekolah
internasional yang seolah tertutup ketika ada masalah ataupun tidak,
akhir-akhir ini jelas sekali menunjukkan ketidakmatangan kebijakan yang asal
jadi, tanpa assessment dan identifikasi problem yang komprehensif.
Akhirnya yang terjadi
ialah hanya debat kusir para ahli yang tak berujung, juga hanya berbuah
keputusan atau kebijakan baru yang, bisa jadi, malah akan membuat operator
pendidikan di sekolah menjadi tambah bingung dan limbung. Yang akan merugi
tentu saja anak didik dan para orangtua yang tidak sadar sedang dipermainkan
sebuah keputusan/kebijakan yang salah bagi masa depan putra-putri mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar