Selasa, 22 April 2014

Jakarta International School

Jakarta International School

Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 21 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
“The best school-based violence prevention programs seek to do more than reach the individual child. They instead try to change the total school environment, to create a safe community that lives by a credo of non-violence.” Willam De Jong (2006)

KASUS kekerasan yang menimpa sejumlah anak TK diJakarta International School (JIS) menjadi pembuktian lemahnya peran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam mengawasi sekolahsekolah berbasis internasional. Bukan hanya penting untuk mengevaluasi keberadaan seluruh sekolah berbasis internasional yang ada di Indonesia, melainkan juga penting untuk meningkatkan basis kesadaran masyarakat tentang peran dan keterlibatan orangtua serta semua pihak dalam proses pendidikan anak-anak mereka. Prinsip-prinsip keselamatan anak di sekolah harus dielaborasi secara bersama antara pemerintah, orangtua, guru, dan manajemen sekolah.

Dengan praktik tak ada kekerasan di lembaga pendidikan, kredo tentang asas nirkeke rasan ini merupakan disiplin serius yang ingin ditegakkan oleh setiap orang yang terlibat di dunia pendidikan, mengingat konflik dan pertentangan pendapat merupakan hal alami dan tak bisa dihindari oleh setiap manusia. 

Peristiwa kekerasan yang terjadi di kampus JIS, misalnya, membuat kita seolah tak percaya, mengapa manajemen sekolah menjadi sedemikian tertutup dalam konteks ini? Salah satu yang harus kita evaluasi selain posisi budaya nirkekerasan ialah peranan pengembangan kurikulum (curriculum development).

Kesepakatan tentang penanganan konflik dan kekerasan di lembaga pendidikan bukan saja penting untuk dimasukkan ke struktur kurikulum secara formal, melainkan juga bisa diskemakan ke dalam statuta yang mengatur segala urusan konflik secara jelas berdasarkan struktur lembaga pendidikan masing-masing. 

Membangun komitmen pendidikan damai, dengan demikian, ialah kata kunci yang harus dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan pendidikan dalam rangka merancang bangunan resolusi konflik yang memadai di lingkungan pendidikan agar anak-anak kita terhindar dari semua perilaku kasar dan keras di kemudian hari, seperti yang kita lihat hari-hari terakhir ini.

Diskriminasi

Mengapa kita perlu mengevaluasi eksistensi sekolah internasional yang ada di Indonesia? Pertama, tentu saja kita ingin memastikan bahwa sistem pendidikan kita juga memiliki kualitas yang baik sehingga keberadaan sekolah semacam JIS harus tunduk pada norma dan aturan yang berlaku di Indonesia. Alih-alih keberadaan sekolah internasional malah akan menumbuhkan asas diskriminasi di tengah masyarakat kita yang sangat majemuk ini.

Kedua, keberadaan sekolah internasional juga harus disupervisi secara ketat dan berkelanjutan, karena mayoritas siswa yang bersekolah di sana ialah anak-anak Indonesia juga. Karena itu, sebuah tim yang memiliki kewenangan penuh dalam mengevaluasi sistem dan mekanisme proses belajar-mengajar di sekolah internasional harus dibentuk.

Jika kita berkaca pada sejarah sekolah internasional, bahkan di Amerika sendiri, kisruh serupa juga pernah terjadi ketika pada 2006 sebuah sekolah St Clair IB (International Baccalaureate) Program di Los Angeles mengatakan bahwa program IB berorientasi sebagai anti-Amerika dan anti-Kristen. Karena program IB sedari awal ditujukan untuk anak-anak diplomat yang bekerja di luar negeri, desain kurikulumnya kadang-kadang menafikan kurikulum lokal sehingga muncul desakan untuk menutup program IB tersebut. Di dunia saat ini program IB telah menyusupi lebih dari 1.700 sekolah, dan bahkan di Amerika sekalipun jenis program ini masih ada yang menolaknya.

Pertanyaan kritis yang muncul dari kasus ini ialah, jangan-jangan sekolah-sekolah internasional yang ada di Indonesia semata-mata juga akan mengikuti model atau teori pengembangan cara program IB yang terkadang melupakan lokalitas.

Jika mengikuti teori dan model globalisasi pendidikan yang diajukan Yin Cheong Cheng dalam Fostering Local Knowledge and Wisdom in Globalized Education: Multiple Theories (2002), setidaknya ada enam model teori globalisasi pendidikan, yaitu 1) theory of tree, 2) theory of crystal, 3) theory of birdcage, 4) theory of DNA, 5) theory of fungus, dan 6) theory of amoeba. Tiap-tiap teori mengasumsikan tentang pentingnya mempertimbangkan local wisdom sebelum sebuah kebijakan tentang sekolah internasional diberlakukan.

Kritisi kebijakan

Identifikasi teori-teori ini ke dalam struktur lokal/daerah seharusnya dipertimbangkan dalam mengembangkan model pendidikan dengan standar internasional. Jika pada aspek teoretis identifikasinya menunjukkan peluang yang bagus, pilihan model tak akan terlalu rumit karena telah disesuaikan dengan kondisi aktual sebuah daerah.

Salah satu hal yang menarik dari pendekatan di atas, misalnya, bagaimana jika kebijakan soal sekolah internasional di Indonesia diwajibkan untuk mengadopsi teori sangkar burung (theory of birdcage), yaitu membuka diri terhadap globalisasi, tetapi dalam waktu yang bersamaan juga berusaha menyaring pengaruh-pengaruh negatifnya. Dalam teori ini, ideologi dan norma-norma sosial menjadi sumber dasar bagi desain kurikulum dan seluruh kegiatan pendidikan dengan lokus lokal dalam memanfaatkan global knowledge.

Dengan asumsi dari teori ini kemudian otoritas lokal kependidikan kita dapat menentukan tujuan dari sekolah internasional dengan target untuk menghasilkan seseorang yang berpandangan global, tetapi tetap menghargai kearifan lokal dan knowledge yang ada.

Kontroversi soal sekolah internasional yang seolah tertutup ketika ada masalah ataupun tidak, akhir-akhir ini jelas sekali menunjukkan ketidakmatangan kebijakan yang asal jadi, tanpa assessment dan identifikasi problem yang komprehensif.

Akhirnya yang terjadi ialah hanya debat kusir para ahli yang tak berujung, juga hanya berbuah keputusan atau kebijakan baru yang, bisa jadi, malah akan membuat operator pendidikan di sekolah menjadi tambah bingung dan limbung. Yang akan merugi tentu saja anak didik dan para orangtua yang tidak sadar sedang dipermainkan sebuah keputusan/kebijakan yang salah bagi masa depan putra-putri mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar