Menunggu
Kesatria Konstitusi
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan, Sastrawan
|
KOMPAS,
21 April 2014
Rendra pernah bilang, rakyat
tidak membutuhkan ratu adil, tetapi hukum yang adil. Pernyataan ini
menghardik cara berpikir mesianistik yang lebih dekat dengan mitologi dan
”klenik”, dua fakta mental yang tetap hidup dalam kebudayaan bangsa kita.
Penyair dan dramawan itu lebih
melihat nasib rakyat sebagai problem struktural dan sistemik dibanding
problem budaya spiritual. Menjadikan hukum sebagai panglima menjadi cara
strategis untuk mengatasi persoalan dibanding berharap kepada figur sentral. Hukum sebagai panglima
meniscayakan keadaban yang memungkinkan terwujudnya keadilan dan rasa
keadilan publik.
Para penyelenggara negara bukan
lagi sebagai pemilik dan pengendali hukum, yang selalu memborong kebenaran
sepihak, melainkan hamba/penegak hukum
yang bertugas mulia mewujudkan cita-cita konstitusi. Namun, dalam sejarah pengelolaan
negara, bangsa ini belum pernah merasakan nikmatnya hasil pelaksanaan hukum
sebagai panglima.
Meskipun negeri ini selalu
dimaknai sebagai negara hukum, belum ada praktik kekuasaan setiap rezim yang
menjadikan hukum sebagai panglima. Soekarno lebih suka menjadikan politik
sebagai panglima. Soeharto lebih enjoy menjadikan ekonomi sebagai panglima
dengan langgam kapitalisme (yang dikontrol) negara.
Rezim-rezim pasca Soeharto
sekadar menjadi resonansi kebijakan ekonomi kekuasaan Orde Baru. Hanya
aksentuasinya saja yang berbeda: kapitalisme liberal yang memanjakan pasar
bebas. Ini berjalan tanpa pengawalan hukum secara ideal atau mendekati ideal.
Jika dicermati, setiap rezim
yang datang dan berkuasa selalu menciptakan hubungan yang berjarak antara
praktik penyelenggaraan negara dan hukum sebagai panglima.
Padahal, negara ini mengambil
model negara modern berbasis demokrasi. Lazimnya demokrasi selalu menyertakan
penegakan hukum sebagai syarat penting selain kompetensi, transparansi, dan
kesetaraan (politik, ekonomi, sosial, dan budaya).
Akibatnya, demokrasi hanya
menjadi label dan prosedur kekuasaan tanpa substansi: kedaulatan di tangan
rakyat.
Demokrasi hanya menjadi milik
kelompok tertentu yang menguasai kapital. Demokrasi ”wani piro”
(transaksional) pun berjalan secara dominan. Berbagai dekadensi dalam praktik
penyelenggaraan negara pun tak bisa dihindari.
Korupsi menjadi anutan tunggal
para penyelenggara negara. Semua ini menunjukkan, tanpa hukum sebagai
panglima, kekuasaan berbasis demokrasi cenderung brutal. Tak ada kepastian
hukum. Tak ada keadilan.
Modus eksistensi
Apakah Pemilu 2014 mampu
melahirkan wakil rakyat partai yang mampu melahirkan sistem berupa legislasi
berkualitas dan berpihak kepada kepentingan rakyat? Juga, apakah akan lahir
presiden dan wakil presiden yang mampu menciptakan dan menjalankan regulasi
sesuai amanat konstitusi? Itulah dua pertanyaan genting yang hidup dalam
benak rakyat.
Kita berharap para caleg dan
capres-cawapres mampu menangkap dan menerjemahkan kegelisahan yang terkandung
dalam pertanyaan rakyat itu.
Pemberian suara rakyat harus
dimaknai sebagai kepercayaan, pesan moral, dan aspirasi politik yang harus
diwujudkan oleh caleg dan capres dalam peran legislatif dan eksekutif mereka.
Rakyat tidak membebani Anda
semua untuk menjadi ratu adil. Tugas itu terlalu tinggi dan berat. Rakyat hanya ingin Anda semua
bisa menjadi penyelenggara negara yang baik, berani menempuh langkah etis,
dan mampu melahirkan karya besar berupa legislasi, regulasi, dan kebijakan
politik tata kelola kekuasaan.
Tolong, singkirkan impian untuk
mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan cara mengeksploitasi kekuasaan.
Sekali dalam hidup Anda semua, jadilah kesatria konstitusi, yang berani
bertarung secara total menciptakan kesejahteraan rakyat.
Ada tokoh yang dapat
menginspirasi Anda semua, misalnya Presiden Venezuela Hugo Chavez
(1954-2013).
Sepanjang masa kepemimpinannya,
Hugo telah menerapkan konstitusi baru, mendirikan dewan demokrasi
partisipasi, menasionalisasi sejumlah industri penting, meningkatkan anggaran
kesehatan dan pendidikan, dan mengurangi tingkat kemiskinan secara
besar-besaran.
Tentu Anda semua sudah memahami
modus eksistensi ala Erich Fromm, yakni ”memiliki” dan ”menjadi”. Rakyat
berharap Anda semua memilih modus eksistensi ”menjadi”, yakni menjadi
negarawan, bukan sekadar politikus.
Rakyat berharap, tanpa menjadi
ratu adil pun Anda semua mampu mengakhiri mimpi buruk bangsa ini. Namun,
tidak dengan janji dan pencitraan, tetapi dengan kemampuan, integritas,
komitmen, dan dedikasi.
Tolong, sekali dalam hidup
beranilah Anda semua menjadi manusia baik yang memiliki kesalehan sosial,
politik, ekonomi, dan budaya. Sudah lama buku sejarah bangsa ini menganggur,
tidak mencatat munculnya tokoh besar.
Catatan sejarah yang bagus
merupakan salah satu penanda tingginya peradaban bangsa. Anda semua pasti tak
mau membiarkan bangsa ini absen dalam membangun kebudayaan dan peradaban,
hanya karena para penyelenggaranya sibuk memperkaya diri dan tenggelam dalam
hedonisme.
Anda semua punya kapasitas untuk
menjadi pribadi-pribadi asketis ala para begawan atau brahmana. Suatu ketika,
anak cucu kita akan menemukan Anda semua sebagai tuan rumah sejarah bangsa. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar