4000
Peacekeepers : Pilihan atau Keniscayaan?
Agus Harimurti Yudhoyono ; Mayor infanteri,
Dosen Universitas Pertahanan Indonesia, UN Peacekeeper di
Lebanon (2006-2007)
|
JAWA
POS, 15 April 2014
MINGGU
lalu, saat meresmikan Pusat Perdamaian dan Keamanan Indonesia atau Indonesia Peace and Security Center
(IPSC) di Sentul, Jawa Barat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengutarakan
visi strategis terkait dengan kontribusi Indonesia dalam perdamaian dan
keamanan dunia. "Kita ingin
menambah jumlah peacekeepers kita sampai dengan 4.000 personel."
Tapi, dia mengingatkan bahwa penambahan jumlah saja tidak cukup. Dibutuhkan
berbagai upaya dalam rangka menyiapkan personel-personel terbaik, TNI maupun
Polri, untuk mampu mengemban berbagai misi perdamaian di masa depan, yang
dipastikan semakin kompleks dan penuh dengan ketidakpastian.
Mengapa
4.000 peacekeeper? Angka tersebut dipandang cukup realistis sebagai sasaran
kuantitatif peningkatan kontribusi Indonesia
Saat ini
sekitar 1.800 personel TNI dan Polri menggunakan helm biru di sejumlah misi,
di Lebanon, Kongo, Sudan, Liberia, Sahara Barat, dan Haiti. Jumlah tersebut
menempatkan Indonesia pada urutan ke-17 dalam daftar 20 Negara Kontributor
Terbesar Pasukan Perdamaian Dunia. Sebagai ilustrasi, dengan 8.200 personel,
Pakistan menjadi negara kontributor terbesar. Berikutnya Bangladesh dan
India. Masing-masing menyumbangkan lebih dari 7.000 personel. Jika kita dapat
menambah 2.200 personel lagi, Indonesia akan naik ke peringkat ke-8 dunia,
tepat di belakang Nepal, yang hari ini menyumbangkan 4.500 peacekeepers.
Diskusi
tentang gagasan penambahan jumlah personel dalam operasi perdamaian tersebut
berkembang tidak hanya di tubuh TNI maupun Polri, tapi juga di sejumlah
lembaga eksekutif terkait, parlemen, media massa, jejaring sosial, maupun
ruang-ruang publik lainnya. Dalam prosesnya tentu muncul sikap pro dan kontra
yang dibarengi dengan berbagai alasan. Tidak sedikit yang mendukung visi
4.000 peacekeepers. Kelompok ini merujuk pada amanah konstitusi dan
mengangkat sentimen idealis seputar solidaritas, semangat kepahlawanan, dan
kehormatan bangsa. Kelompok lain beranggapan bahwa pengiriman pasukan Garuda,
apalagi penambahan jumlah personel, merupakan sesuatu yang unnecessary.
Secara
pragmatis, sebenarnya paling tidak ada dua hal yang mendasari kepentingan
Indonesia dalam misi perdamaian dunia. Pertama, partisipasi aktif kita
merupakan bukti konkret bahwa Indonesia saat ini telah menjadi kekuatan
regional dan salah satu "global
player" yang bertanggung jawab. Melalui politik luar negeri bebas dan
aktifnya, tentu Indonesia mengedepankan diplomasi dan sejumlah format "soft power" lainnya.
Kontribusi dalam peacekeeping mission adalah salah satunya, bahkan dalam
konteks hubungan internasional kerap diyakini sebagai bentuk diplomasi yang
paling efektif.
Kedua,
pengiriman pasukan perdamaian dunia merupakan tantangan, sekaligus peluang
tersendiri bagi institusi TNI dan Polri. Patut disyukuri, walaupun masih
terdapat sejumlah tantangan keamanan dalam negeri, wajah Indonesia saat ini
sangat berbeda daripada era-era sebelumnya, ketika Aceh masih membara dan
konflik-konflik komunal berbasis SARA serta aksi terorisme masih terjadi di
berbagai wilayah tanah air.
Terhadap
kekhawatiran pihak tertentu terkait dengan kebutuhan anggaran yang besar
dalam rangka mendukung operasi perdamaian dunia, sebenarnya yang menarik
adalah bahwa PBB mengatur sistem reimbursement.
Negara kontributor peacekeeper akan
mendapatkan penggantian terhadap biaya yang telah dikeluarkan untuk memenuhi
kebutuhan penyiapan, pengiriman, dan operasionalisasi pasukan termasuk
alutsista dan dukungan logistik lainnya. Artinya, tentu negara harus memiliki
kesiapan anggaran (APBN) untuk dukungan awal sampai dengan dana reimbursement PBB dapat dicairkan
melalui mekanisme yang transparan dan akuntabel. Memahami skema tersebut
dapat dikatakan tidak ada kerugian bagi Indonesia untuk meningkatkan
kontribusinya dalam perdamaian dunia, termasuk menambah jumlah peacekeepers
sampai dengan 4.000 personel.
Sejak
2011 Indonesia telah memiliki Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian (PMPP). Luas
areal dan kelengkapan fasilitas latihan yang tersedia di dalamnya tidak hanya
menjadikan lembaga ini sebagai salah satu peacekeeping center yang terbesar,
tapi juga yang terbaik di dunia. Pembangunan kompleks ini bernilai strategis.
Pertama, inisiatif ini merupakan bukti nyata bahwa Indonesia sangat serius
dalam upaya-upaya perdamaian dunia. Kedua, untuk yang pertama, Indonesia yang
sebenarnya sudah aktif mengirim pasukan Garuda sejak tahun 1957 memiliki
institusi yang didedikasikan secara khusus untuk menangani penyiapan
personel yang akan ditugaskan ke berbagai zona konflik di dunia.
Di PMPP,
para prajurit akan dilengkapi dengan berbagai kecakapan, antara lain
penguasaan terhadap bahasa dan budaya lokal, diplomasi dan negosiasi, serta
pemahaman terhadap prinsip-prinsip HAM dan hukum humaniter. Yang yuga penting
adalah keterampilan di dalam mengaplikasikan doktrin peacekeeping. Doktrin ini tentu berbeda dengan doktrin
pertempuran militer konvensional. Dalam doktrin bertempur, prajurit
dihadapkan dengan musuh, ia harus memilih antara kill or to be killed. Dalam dunia peacekeeping, kita tidak
berhadapan dengan musuh. Tugas pokok kita adalah menjadi penengah di antara
aktor-aktor yang bertikai, sekaligus mencegah segala bentuk pelanggaran
terhadap kesepakatan damai yang dicapai sebelumnya. Tugas semacam ini bukan
tanpa risiko. Bahkan, kadang situasinya menjadi lebih kompleks. Berada di
tengah-tengah dua kekuatan yang saling menyerang, sedangkan otoritas untuk
menggunakan senjata bagi peacekeepers
sangat dibatasi.
Dengan
semakin baik kita menyiapkan pasukan perdamaian dunia, Indonesia akan
memantapkan reputasinya sebagai bangsa yang benar-benar cinta damai. Reputasi
semacam ini menjadi sangat penting dan relevan dalam konteks hubungan
antarbangsa di abad ke-21. Bukan hanya sebagai wujud implementasi dari
pilihan politik luar negeri kita, yaitu bebas dan aktif serta million of friends and zero enemy,
kontribusi yang semakin besar di PBB, termasuk peran yang semakin aktif dalam
memediasi konflik-konflik di kawasan Asia Tenggara, merupakan keniscayaan
bagi Indonesia. Semua komitmen nyata tersebut akan menjadikan bangsa kita
lebih memiliki pengaruh, lebih dihormati, dan lebih disegani di dunia
internasional. Siapa yang tidak mau? ●
|
Saat
berhadapan dengan negara-negara di luar ASEAN, organisasi ini ingin dilihat
sebagai koheren. Namun, di antara negara ASEAN paling jauh yang ingin
dilakukan adalah membangun komunitas, tetapi tidak pernah menyatakan akan
terintegrasi seperti Uni Eropa.
Itu
sebabnya prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing masih
akan terus dipegang. Prinsip itu menimbulkan konsekuensi setiap negara bebas
melakukan perjanjian ekonomi serta perdagangan bilateral dan multilateral di
luar ASEAN. Saat ini terdapat 23 perjanjian bilateral antara negara-negara
anggota dan negara di luar ASEAN. Perjanjian bilateral atau multilateral
dengan kekuatan regional atau kawasan akan mengurangi upaya untuk mewujudkan
inisiatif dalam kerangka ASEAN.
Indonesia
dapat mengambil posisi sebagai pemimpin ASEAN jika memiliki rangka desain
kebijakan luar negeri dan tak bersikap reaktif. Selain itu, harus ada
dukungan dari partai politik di parlemen dan pucuk pemerintahan yang memiliki
visi. Hal ini hanya dapat terwujud jika ada kepemimpinan puncak yang mampu
menyatukan semua pemangku kepentingan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar