Rabu, 16 April 2014

4000 Peacekeepers : Pilihan atau Keniscayaan?

4000 Peacekeepers : Pilihan atau Keniscayaan?

Agus Harimurti Yudhoyono  ;   Mayor infanteri,
Dosen Universitas Pertahanan Indonesia, UN Peacekeeper di Lebanon (2006-2007)
JAWA POS, 15 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
MINGGU lalu, saat meresmikan Pusat Perdamaian dan Keamanan Indonesia atau Indonesia Peace and Security Center (IPSC) di Sentul, Jawa Barat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengutarakan visi strategis terkait dengan kontribusi Indonesia dalam perdamaian dan keamanan dunia. "Kita ingin menambah jumlah peacekeepers kita sampai dengan 4.000 personel." Tapi, dia mengingatkan bahwa penambahan jumlah saja tidak cukup. Dibutuhkan berbagai upaya dalam rangka menyiapkan personel-personel terbaik, TNI maupun Polri, untuk mampu mengemban berbagai misi perdamaian di masa depan, yang dipastikan semakin kompleks dan penuh dengan ketidakpastian.

Mengapa 4.000 peacekeeper? Angka tersebut dipandang cukup realistis sebagai sasaran kuantitatif peningkatan kontribusi Indonesia

Saat ini sekitar 1.800 personel TNI dan Polri menggunakan helm biru di sejumlah misi, di Lebanon, Kongo, Sudan, Liberia, Sahara Barat, dan Haiti. Jumlah tersebut menempatkan Indonesia pada urutan ke-17 dalam daftar 20 Negara Kontributor Terbesar Pasukan Perdamaian Dunia. Sebagai ilustrasi, dengan 8.200 personel, Pakistan menjadi negara kontributor terbesar. Berikutnya Bangladesh dan India. Masing-masing menyumbangkan lebih dari 7.000 personel. Jika kita dapat menambah 2.200 personel lagi, Indonesia akan naik ke peringkat ke-8 dunia, tepat di belakang Nepal, yang hari ini menyumbangkan 4.500 peacekeepers.

Diskusi tentang gagasan penambahan jumlah personel dalam operasi perdamaian tersebut berkembang tidak hanya di tubuh TNI maupun Polri, tapi juga di sejumlah lembaga eksekutif terkait, parlemen, media massa, jejaring sosial, maupun ruang-ruang publik lainnya. Dalam prosesnya tentu muncul sikap pro dan kontra yang dibarengi dengan berbagai alasan. Tidak sedikit yang mendukung visi 4.000 peacekeepers. Kelompok ini merujuk pada amanah konstitusi dan mengangkat sentimen idealis seputar solidaritas, semangat kepahlawanan, dan kehormatan bangsa. Kelompok lain beranggapan bahwa pengiriman pasukan Garuda, apalagi penambahan jumlah personel, merupakan sesuatu yang unnecessary.

Secara pragmatis, sebenarnya paling tidak ada dua hal yang mendasari kepentingan Indonesia dalam misi perdamaian dunia. Pertama, partisipasi aktif kita merupakan bukti konkret bahwa Indonesia saat ini telah menjadi kekuatan regional dan salah satu "global player" yang bertanggung jawab. Melalui politik luar negeri bebas dan aktifnya, tentu Indonesia mengedepankan diplomasi dan sejumlah format "soft power" lainnya. Kontribusi dalam peacekeeping mission adalah salah satunya, bahkan dalam konteks hubungan internasional kerap diyakini sebagai bentuk diplomasi yang paling efektif.

Kedua, pengiriman pasukan perdamaian dunia merupakan tantangan, sekaligus peluang tersendiri bagi institusi TNI dan Polri. Patut disyukuri, walaupun masih terdapat sejumlah tantangan keamanan dalam negeri, wajah Indonesia saat ini sangat berbeda daripada era-era sebelumnya, ketika Aceh masih membara dan konflik-konflik komunal berbasis SARA serta aksi terorisme masih terjadi di berbagai wilayah tanah air.

Terhadap kekhawatiran pihak tertentu terkait dengan kebutuhan anggaran yang besar dalam rangka mendukung operasi perdamaian dunia, sebenarnya yang menarik adalah bahwa PBB mengatur sistem reimbursement. Negara kontributor peacekeeper akan mendapatkan penggantian terhadap biaya yang telah dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan penyiapan, pengiriman, dan operasionalisasi pasukan termasuk alutsista dan dukungan logistik lainnya. Artinya, tentu negara harus memiliki kesiapan anggaran (APBN) untuk dukungan awal sampai dengan dana reimbursement PBB dapat dicairkan melalui mekanisme yang transparan dan akuntabel. Memahami skema tersebut dapat dikatakan tidak ada kerugian bagi Indonesia untuk meningkatkan kontribusinya dalam perdamaian dunia, termasuk menambah jumlah peacekeepers sampai dengan 4.000 personel.

Sejak 2011 Indonesia telah memiliki Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian (PMPP). Luas areal dan kelengkapan fasilitas latihan yang tersedia di dalamnya tidak hanya menjadikan lembaga ini sebagai salah satu peacekeeping center yang terbesar, tapi juga yang terbaik di dunia. Pembangunan kompleks ini bernilai strategis. Pertama, inisiatif ini merupakan bukti nyata bahwa Indonesia sangat serius dalam upaya-upaya perdamaian dunia. Kedua, untuk yang pertama, Indonesia yang sebenarnya sudah aktif mengirim pasukan Garuda sejak tahun 1957 memiliki institusi yang didedikasikan secara khusus untuk menangani pe­nyiapan personel yang akan ditugaskan ke berbagai zona konflik di dunia.

Di PMPP, para prajurit akan dilengkapi dengan berbagai kecakapan, antara lain penguasaan terhadap bahasa dan budaya lokal, diplomasi dan negosiasi, serta pemahaman terhadap prinsip-prinsip HAM dan hukum humaniter. Yang yuga penting adalah keterampilan di dalam mengaplikasikan doktrin peacekeeping. Doktrin ini tentu berbeda dengan doktrin pertempuran militer konvensional. Dalam doktrin bertempur, prajurit dihadapkan dengan musuh, ia harus memilih antara kill or to be killed. Dalam dunia peacekeeping, kita tidak berhadapan dengan musuh. Tugas pokok kita adalah menjadi penengah di antara aktor-aktor yang bertikai, sekaligus mencegah segala bentuk pelanggaran terhadap kesepakatan damai yang dicapai sebelumnya. Tugas semacam ini bukan tanpa risiko. Bahkan, kadang situasinya menjadi lebih kompleks. Berada di tengah-tengah dua kekuatan yang saling menyerang, sedangkan otoritas untuk menggunakan senjata bagi peacekeepers sangat dibatasi.

Dengan semakin baik kita menyiapkan pasukan perdamaian dunia, Indonesia akan memantapkan reputasinya sebagai bangsa yang benar-benar cinta damai. Reputasi semacam ini menjadi sangat penting dan relevan dalam konteks hubungan antarbangsa di abad ke-21. Bukan hanya sebagai wujud implementasi dari pilihan politik luar negeri kita, yaitu bebas dan aktif serta million of friends and zero enemy, kontribusi yang semakin besar di PBB, termasuk peran yang semakin aktif dalam memediasi konflik-konflik di kawasan Asia Tenggara, merupakan keniscayaan bagi Indonesia. Semua komitmen nyata tersebut akan menjadikan bangsa kita lebih memiliki pengaruh, lebih dihormati, dan lebih disegani di dunia internasional. Siapa yang tidak mau?

> w � r 8�� ���

R\ � " m 8�� ��� ont-weight:bold'>Pada dasarnya pemerintahan negara-negara anggota ASEAN bersifat elitis. ASEAN juga melihat ke dalam sebagai organisasi dengan identitas ganda, yaitu ketika berhadapan dengan dunia di luar ASEAN dan ketika saling berhadapan di antara sesama anggota ASEAN.


Saat berhadapan dengan negara-negara di luar ASEAN, organisasi ini ingin dilihat sebagai koheren. Namun, di antara negara ASEAN paling jauh yang ingin dilakukan adalah membangun komunitas, tetapi tidak pernah menyatakan akan terintegrasi seperti Uni Eropa.

Itu sebabnya prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing masih akan terus dipegang. Prinsip itu menimbulkan konsekuensi setiap negara bebas melakukan perjanjian ekonomi serta perdagangan bilateral dan multilateral di luar ASEAN. Saat ini terdapat 23 perjanjian bilateral antara negara-negara anggota dan negara di luar ASEAN. Perjanjian bilateral atau multilateral dengan kekuatan regional atau kawasan akan mengurangi upaya untuk mewujudkan inisiatif dalam kerangka ASEAN.

Indonesia dapat mengambil posisi sebagai pemimpin ASEAN jika memiliki rangka desain kebijakan luar negeri dan tak bersikap reaktif. Selain itu, harus ada dukungan dari partai politik di parlemen dan pucuk pemerintahan yang memiliki visi. Hal ini hanya dapat terwujud jika ada kepemimpinan puncak yang mampu menyatukan semua pemangku kepentingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar