Negara
Kesejahteraan dengan “Soft Power”
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan
dan Kenegaraan
|
KOMPAS,
15 April 2014
DENGAN perolehan suara sekitar 7 persen, menurut
versi hitung cepat, Partai Nasional Demokrat meraih hasil fenomenal sebagai
partai pendatang baru. Yang lebih menarik, di sela-sela kerumunan partai
spanduk yang tidak menawarkan visi perubahan, partai ini tampil dengan
politik gagasan seakan menggemakan kembali apa yang pernah diingatkan Bung
Karno: ”Sebuah partai harus dipimpin
oleh ide, menghikmati ide, memikul ide, dan membumikan ide”.
Politik
gagasan yang dilambaikan di setiap kibaran bendera partai ini secara ikonik
dirumuskan dengan slogan ”gerakan
restorasi”. Visi restorasi ini berisi konsepsi tentang usaha memulihkan
kembali kondisi bangsa agar bisa merasa lebih sehat, lebih kuat, dan lebih
bersemangat setelah mengalami kelemahan, kemurungan, dan keputusasaan dengan
cara menjangkarkan kembali pilihan kebijakan dan pembangunan pada nilai-nilai
luhur bangsa.
Di
bidang politik, implikasi dari visi restorasi menuntut usaha menghidupkan
kembali hakikat demokrasi permusyawaratan. Cara termudah dengan melihat
posisi sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan dalam Pancasila. Letaknya diapit sila Persatuan
Indonesia dan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Ketiga
sila itu saling mensyaratkan dan saling memperkuat. Pada satu sayap,
demokrasi mensyaratkan persatuan (integrasi) nasional yang kuat karena tanpa
adanya integrasi nasional, menjalankan pemerintahan demokratis ibarat
membangun istana pasir yang mudah jatuh oleh konflik kebangsaan. Sebaliknya,
demokrasi yang baik harus mampu memperkuat persatuan nasional. Pada sayap
lain, demokrasi yang baik harus mampu menghadirkan keadilan dan kesejahteraan
sosial. Sebaliknya, keadilan sosial akan memperkuat perkembangan demokrasi.
Dalam
memperkuat persatuan nasional, demokrasi permusyawaratan dirancang untuk
mewujudkan negara kekeluargaan (semua untuk semua) yang mampu mengatasi paham
perseorangan dan golongan. Dalam mewujudkan keadilan sosial, demokrasi
permusyawaratan dirancang untuk menghadirkan negara sosial (negara
kesejahteraan), bukan negara liberal yang hanya bertindak sebagai ”penjaga
malam”.
Usaha
memperkuat ”negara kekeluargaan” pasca Pemilu 2014 membutuhkan usaha
restorasi dalam sistem perwakilan, haluan kebijakan dasar pembangunan, dan
otonomi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam
demokrasi permusyawaratan yang diperhatikan bukan hanya aspek keterpilihan,
melainkan juga aspek keterwakilan. Lembaga perwakilan kedaulatan rakyat harus
mampu mewakili hak individu, hak golongan fungsional dan marjinal, serta
keragaman-keluasan wilayah Nusantara yang terangkum dalam lembaga Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Kebijakan
dasar pembangunan sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dirumuskan
bersama dalam MPR. Otonomi daerah dijalankan dalam kerangka semangat
persatuan nasional. Sejauh ini, meski konstitusi hasil amandemen menyatakan
bentuk NKRI tidak dapat diubah, secara de
facto urat nadi NKRI sudah robek dengan menyisakan retakan dalam
konektivitas antara pemerintahan pusat dan daerah, bahkan di antara daerah
tingkat dua dalam satu provinsi, yang tak terbayangkan dalam negara federal.
Dalam
merealisasikan keadilan sosial, demokrasi permusyawaratan menghendaki
perwujudan negara kesejahteraan. Dalam pemikiran para pendiri bangsa, negara
kesejahteraan dimaksud adalah suatu bentuk pemerintahan demokratis yang
menegaskan, negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat, bahwa
pemerintah harus mengatur pembagian kekayaan negara agar tidak ada rakyat
yang kelaparan, tidak ada rakyat yang menemui ajalnya karena tidak memperoleh
jaminan sosial. Dalam negara kesejahteraan Indonesia, yang dituntut oleh
etika politik bukan penghapusan hak milik pribadi, melainkan hak milik
pribadi memiliki fungsi sosial dan negara bertanggung jawab atas
kesejahteraan umum.
Meski
demikian, cara negara mewujudkan kesejahteraan sosial itu tidak bisa
disandarkan pada kekuatan perangkat keras (hard power) yang bersifat represif dan top-down. Usaha kesejahteraan yang dipertukarkan dengan
pembungkaman hak-hak politik demokratis melahirkan piramida kurban manusia
yang menistakan nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan.
Pilihan
ke depan adalah usaha mewujudkan negara kesejahteraan dengan kekuatan
perangkat lunak (soft power)
melalui pelayan publik penuh welas asih seraya menyertakan partisipasi publik
secara bottom-up.
Pelayan
publik sebagai penentu kebahagiaan rakyat ditunjukkan oleh survei di 50
negara seperti dilaporkan Geoff Mulgan (2008). ”Pengaruh kualitas pelayanan pemerintah terhadap kebahagiaan hidup
jauh melampaui efek yang ditimbulkan oleh pendidikan, pendapatan, dan
kesehatan”.
Usaha
demokrasi membawa kebahagiaan menuntut penjelmaan ”negara-pelayan”, yang mengandung empat jenis responsibilitas,
yakni perlindungan, kesejahteraan, pengetahuan, dan keadilan-perdamaian.
Semua itu secara visioner telah dirumuskan para pendiri bangsa dalam tugas
negara seperti tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Jalan
demokrasi Indonesia menuju kebahagiaan masih teramat panjang. Namun, seperti
kata Lao Tzu, ”Perjalanan ribuan
kilometer dimulai langkah pertama.” Langkah pertama itu adalah memilih
pemimpin nasional yang mendekati prasyarat itu pada pemilihan presiden yang
akan datang. ●
|
Saat
berhadapan dengan negara-negara di luar ASEAN, organisasi ini ingin dilihat
sebagai koheren. Namun, di antara negara ASEAN paling jauh yang ingin
dilakukan adalah membangun komunitas, tetapi tidak pernah menyatakan akan
terintegrasi seperti Uni Eropa.
Itu
sebabnya prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing masih
akan terus dipegang. Prinsip itu menimbulkan konsekuensi setiap negara bebas
melakukan perjanjian ekonomi serta perdagangan bilateral dan multilateral di
luar ASEAN. Saat ini terdapat 23 perjanjian bilateral antara negara-negara
anggota dan negara di luar ASEAN. Perjanjian bilateral atau multilateral
dengan kekuatan regional atau kawasan akan mengurangi upaya untuk mewujudkan
inisiatif dalam kerangka ASEAN.
Indonesia
dapat mengambil posisi sebagai pemimpin ASEAN jika memiliki rangka desain
kebijakan luar negeri dan tak bersikap reaktif. Selain itu, harus ada
dukungan dari partai politik di parlemen dan pucuk pemerintahan yang memiliki
visi. Hal ini hanya dapat terwujud jika ada kepemimpinan puncak yang mampu
menyatukan semua pemangku kepentingan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar