Rabu, 16 April 2014

Solusi Pangan Dahlan Iskan

Solusi Pangan Dahlan Iskan

MT Felix Sitorus  ;   Praktisi Agrobisnis, Doktor Sosiologi Perdesaan IPB
JAWA POS, 15 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
SIMPULAN Budi Dharmawan dalam Manufacturing Hope (MH) 122 Dahlan Iskan (JP 7/4/2014) sungguh pesimistis dan tendensius. Katanya, petani padi tidak akan bisa kaya karena harganya pasti ditekan pemerintah.

Memang benar, mayoritas petani gurem (di bawah 0,25 ha) di Jawa serbamiskin. Tapi, gegabah jika penetapan harga gabah/beras dari pemerintah dituduh sebagai penyebabnya.

Kemiskinan petani padi bersifat struktural dan kompleks. Karena itu, perlu solusi struktural pula. Alih-alih memberikan solusi, Budi malah lebih memilih petani buah tropis di atas gunung untuk dibina.

Berbeda daripada Budi, jauh hari Dahlan sebenarnya sudah menyampaikan solusi "modernisasi paripurna" untuk membesarkan pertanian pangan khususnya padi (MH 15, JP 27/2/2012). Dengan solusi itu, Dahlan membayangkan pertanian padi sepenuhnya berbasis mekanisasi.

Tapi, apa sejatinya arti modernisasi paripurna itu? Bagaimana pula ia dapat dijalankan sebagai solusi untuk membesarkan pertanian dan petani pangan?

Modernisasi Paripurna

Saat mengoperasikan combine harvester di persawahan Patalan, Bantul, dua tahun lalu (25/2/2012), yang dibayangkan Dahlan tentang modernisasi paripurna agaknya sebatas mekanisasi penuh, mulai dari pengolahan tanah sampai penanganan hasil panen. Modernisasi paripurna tidaklah sebatas itu. Lebih daripada sekadar urusan alat/mesin pertanian (alsintan), ia mencakup juga teknologi budidaya dan manajemen usaha tani.

Dalam pertanian padi, unsur dasar teknologi budidaya adalah benih unggul. Lalu, ada pupuk dan pestisida untuk mendukung potensi benih itu.

Pengetahuan dan keterampilan manajemen bisnis kemudian meracik dan menerapkan unsur-unsur teknologi modern untuk meningkatkan efisiensi proses produksi. Targetnya biaya rendah, tapi produktivitas tinggi, misalnya GKP 8,0 ton/ha, sehingga laba tinggi.

Bandingkan dengan kinerja petani gurem yang dibicarakan Budi. Produktivitas sawahnya maksimal 5,0 ton/ha atau 1,25 ton/0,25 ha atau senilai Rp 5.625.000 pada harga gabah Rp 4.500/kg. Setelah dipotong biaya produksi, yang tersisa tinggal "angka kemiskinan".

Kementerian Pertanian tidak bisa dipersalahkan atas masalah ini. Tapi, ada pihak yang layak digugat, yaitu Kementerian BUMN. Pertanyaan gugatan: mengapa kekuatan modal BUMN klaster pangan tidak dipakai untuk mengendalikan modernisasi paripurna pertanian sehingga kedaulatan pangan dan petani tercapai sekaligus?

Solusi PIHC

Gugatan di atas menuntut pembalikan orientasi modal BUMN dalam modernisasi pertanian. Bukan lagi berorientasi pada laba semata yang justru melemahkan petani, tapi memfasilitasi modernisasi yang saling menguntungkan dengan petani.

Dahlan Iskan sebenarnya sudah menjawab gugatan ini. Dia memajukan solusi pembentukan holding BUMN pangan pada 2012. Idenya adalah menggabung PT Pertani (pengelola gabah), PT Bulog (pengelola beras), PT Sang Hyang Seri (produksi benih), PT Pupuk Indonesia (pengadaan pupuk), dan PT Berdikari (peternakan) di bawah holding PT Pangan Nusantara. Target waktu realisasinya akhir 2014 (Koran Tempo, 29/8/2012).

Untuk alasan nasionalisme, solusi holding BUMN pangan itu saya sebut di sini "Pangan Indonesia Holding Company" (PIHC).

Intinya, dengan PIHC, Dahlan menginginkan terbentuknya BUMN pangan raksasa di Indonesia sebagai pilar penyangga kedaulatan dan ketahanan pangan nasional. Dia menilai, karena terpisah-pisah, BUMN pangan kita rapuh dan lemah (Republika, 29/8/2013).

Mungkinkah solusi PIHC mengusung modernisasi paripurna yang mengukuhkan kedaulatan pangan sekaligus menguatkan petani? Jawabannya, lihat kinerja program Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) BUMN sejak 2011.

Program GP3K dijalankan oleh Konsorsium BUMN yang beranggota PT Pertani, PT Sang Hyang Seri, PT Pupuk Indonesia, PT Bulog, dan PT Perhutani. Karena itu, konsorsium ini dapat disebut prototipe PIHC.

Program GP3K-BUMN memfasilitasi modernisasi pertanian pangan dengan pinjaman modal dalam bentuk benih, pupuk, pestisida, dan biaya tenaga kerja dengan skema bayar-panen (yarnen), disertai bimbingan manajemen dan budidaya untuk menjamin keberhasilan.

Sukses GP3K 2011 itu mendorong Kementerian BUMN meningkatkan target luas areal pada 2012 dan 2013. Untuk 2013, MH 43 (JP 19/9/2012) Pak Dahlan menyampaikan target areal 3,2 juta ha. Diprediksi kenaikan produksi 1,5 ton/ha, naik dari 5,5 ke 7,0 ton/ha, sehingga diperoleh kenaikan produksi beras nasional 1,5 juta ton.

Kini ada indikasi bahwa harapan (hope) terbentuknya PIHC sebagai solusi pangan dari Dahlan, selaku menteri BUMN, akan menjadi kenyataan walaupun strukturnya tidak seperti dipikirkan semula. Sejak September 2013, PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani secara teknis operasional sudah menjadi "anak perusahaan" PT Pupuk Indonesia. Dari lima BUMN yang semula direncanakan sebagai anggota grup PIHC, tinggal PT Bulog dan PT Berdikari yang masih tetap berdiri sendiri.

Transformasi Pupuk Indonesia menjadi Pangan Indonesia pada tataran operasional adalah pekerjaan rumah direksi PT Pupuk Indonesia. Pada tataran kebijakan, ia adalah utang Dahlan selaku menteri BUMN yang harus dilunasi sebelum pemerintahan KIB II berakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar