Solusi
Pangan Dahlan Iskan
MT Felix Sitorus ; Praktisi Agrobisnis, Doktor Sosiologi Perdesaan IPB
|
JAWA
POS, 15 April 2014
SIMPULAN
Budi Dharmawan dalam Manufacturing Hope
(MH) 122 Dahlan Iskan (JP 7/4/2014) sungguh pesimistis dan tendensius.
Katanya, petani padi tidak akan bisa kaya karena harganya pasti ditekan
pemerintah.
Memang
benar, mayoritas petani gurem (di bawah 0,25 ha) di Jawa serbamiskin. Tapi,
gegabah jika penetapan harga gabah/beras dari pemerintah dituduh sebagai
penyebabnya.
Kemiskinan
petani padi bersifat struktural dan kompleks. Karena itu, perlu solusi
struktural pula. Alih-alih memberikan solusi, Budi malah lebih memilih petani
buah tropis di atas gunung untuk dibina.
Berbeda
daripada Budi, jauh hari Dahlan sebenarnya sudah menyampaikan solusi "modernisasi paripurna"
untuk membesarkan pertanian pangan khususnya padi (MH 15, JP 27/2/2012).
Dengan solusi itu, Dahlan membayangkan pertanian padi sepenuhnya berbasis
mekanisasi.
Tapi,
apa sejatinya arti modernisasi paripurna itu? Bagaimana pula ia dapat
dijalankan sebagai solusi untuk membesarkan pertanian dan petani pangan?
Modernisasi Paripurna
Saat
mengoperasikan combine harvester di
persawahan Patalan, Bantul, dua tahun lalu (25/2/2012), yang dibayangkan
Dahlan tentang modernisasi paripurna agaknya sebatas mekanisasi penuh, mulai
dari pengolahan tanah sampai penanganan hasil panen. Modernisasi paripurna
tidaklah sebatas itu. Lebih daripada sekadar urusan alat/mesin pertanian
(alsintan), ia mencakup juga teknologi budidaya dan manajemen usaha tani.
Dalam
pertanian padi, unsur dasar teknologi budidaya adalah benih unggul. Lalu, ada
pupuk dan pestisida untuk mendukung potensi benih itu.
Pengetahuan
dan keterampilan manajemen bisnis kemudian meracik dan menerapkan unsur-unsur
teknologi modern untuk meningkatkan efisiensi proses produksi. Targetnya
biaya rendah, tapi produktivitas tinggi, misalnya GKP 8,0 ton/ha, sehingga
laba tinggi.
Bandingkan
dengan kinerja petani gurem yang dibicarakan Budi. Produktivitas sawahnya
maksimal 5,0 ton/ha atau 1,25 ton/0,25 ha atau senilai Rp 5.625.000 pada
harga gabah Rp 4.500/kg. Setelah dipotong biaya produksi, yang tersisa
tinggal "angka kemiskinan".
Kementerian
Pertanian tidak bisa dipersalahkan atas masalah ini. Tapi, ada pihak yang
layak digugat, yaitu Kementerian BUMN. Pertanyaan gugatan: mengapa kekuatan
modal BUMN klaster pangan tidak dipakai untuk mengendalikan modernisasi
paripurna pertanian sehingga kedaulatan pangan dan petani tercapai sekaligus?
Solusi PIHC
Gugatan
di atas menuntut pembalikan orientasi modal BUMN dalam modernisasi pertanian.
Bukan lagi berorientasi pada laba semata yang justru melemahkan petani, tapi
memfasilitasi modernisasi yang saling menguntungkan dengan petani.
Dahlan
Iskan sebenarnya sudah menjawab gugatan ini. Dia memajukan solusi pembentukan
holding BUMN pangan pada 2012. Idenya adalah menggabung PT Pertani (pengelola
gabah), PT Bulog (pengelola beras), PT Sang Hyang Seri (produksi benih), PT
Pupuk Indonesia (pengadaan pupuk), dan PT Berdikari (peternakan) di bawah
holding PT Pangan Nusantara. Target waktu realisasinya akhir 2014 (Koran Tempo, 29/8/2012).
Untuk
alasan nasionalisme, solusi holding
BUMN pangan itu saya sebut di sini "Pangan
Indonesia Holding Company" (PIHC).
Intinya,
dengan PIHC, Dahlan menginginkan terbentuknya BUMN pangan raksasa di
Indonesia sebagai pilar penyangga kedaulatan dan ketahanan pangan nasional.
Dia menilai, karena terpisah-pisah, BUMN pangan kita rapuh dan lemah (Republika, 29/8/2013).
Mungkinkah
solusi PIHC mengusung modernisasi paripurna yang mengukuhkan kedaulatan
pangan sekaligus menguatkan petani? Jawabannya, lihat kinerja program Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis
Korporasi (GP3K) BUMN sejak 2011.
Program
GP3K dijalankan oleh Konsorsium BUMN yang beranggota PT Pertani, PT Sang
Hyang Seri, PT Pupuk Indonesia, PT Bulog, dan PT Perhutani. Karena itu,
konsorsium ini dapat disebut prototipe PIHC.
Program
GP3K-BUMN memfasilitasi modernisasi pertanian pangan dengan pinjaman modal
dalam bentuk benih, pupuk, pestisida, dan biaya tenaga kerja dengan skema
bayar-panen (yarnen), disertai bimbingan manajemen dan budidaya untuk
menjamin keberhasilan.
Sukses
GP3K 2011 itu mendorong Kementerian BUMN meningkatkan target luas areal pada
2012 dan 2013. Untuk 2013, MH 43 (JP 19/9/2012) Pak Dahlan menyampaikan
target areal 3,2 juta ha. Diprediksi kenaikan produksi 1,5 ton/ha, naik dari
5,5 ke 7,0 ton/ha, sehingga diperoleh kenaikan produksi beras nasional 1,5
juta ton.
Kini ada
indikasi bahwa harapan (hope) terbentuknya PIHC sebagai solusi pangan dari
Dahlan, selaku menteri BUMN, akan menjadi kenyataan walaupun strukturnya
tidak seperti dipikirkan semula. Sejak September 2013, PT Sang Hyang Seri dan
PT Pertani secara teknis operasional sudah menjadi "anak
perusahaan" PT Pupuk Indonesia. Dari lima BUMN yang semula direncanakan
sebagai anggota grup PIHC, tinggal PT Bulog dan PT Berdikari yang masih tetap
berdiri sendiri.
Transformasi
Pupuk Indonesia menjadi Pangan Indonesia pada tataran operasional adalah
pekerjaan rumah direksi PT Pupuk Indonesia. Pada tataran kebijakan, ia adalah
utang Dahlan selaku menteri BUMN yang harus dilunasi sebelum pemerintahan KIB
II berakhir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar