Urgensi Indonesia Ratifikasi FCTC
Hikmahanto Juwana ;
Guru Besar Hukum Internasional
UI, Jakarta
|
KOMPAS, 01 Juni 2016
Konvensi Kerangka
Kerja untuk Pengendalian Tembakau (Framework
Convention on Tobacco Control/FCTC) merupakan perjanjian internasional
yang dirancang Organisasi Kesehatan Dunia untuk membentuk aturan global atas
pengendalian tembakau. Tujuannya untuk melindungi generasi masa kini dan
mendatang dari dampak kesehatan, ekonomi, sosial, dan lingkungan yang
diakibatkan konsumsi dan paparan asap rokok.
Apakah bila Indonesia
meratifikasi FCTC akan mengurangi jumlah perokok dan perokok potensial?
Tidak serta merta
Harus diakui jumlah
perokok aktif di Indonesia masih besar. Penulis sadar bahaya konsumsi rokok
bagi kesehatan dan bagi generasi muda. Namun, apakah realita ini akan berubah
dengan pemerintahmeratifikasi FCTC?
Tulisan ini
mengargumentasikan bahwa ratifikasi FCTC tidak serta merta membuat jumlah
perokok semakin berkurang. Justru akan mengakibatkan Indonesia bergantung secara
signifikan terhadap impor tembakau.
Ada paling tidak empat
alasan mengapa ratifikasi FCTC merupakan mitos untuk menekan jumlah perokok.
Pertama, FCTC sebenarnya tidak ditujukan untuk mengurangi jumlah perokok di
suatu negara. FCTC sebagaimana diungkap dalam mukadimahnya bertujuan untuk
(mengendalikan) produksi tembakau, yang dimulai dari hulu atau pertanian
tembakau sampai dengan produk jadi atau rokoknya.
Pengendalian produksi
tembakau cenderung memunculkan kartel. Ini mengingat kuota tembakau yang dapat
dihasilkan di suatu negara akan diatur. Bila di suatu negara jumlah perokok
tidak sebanding dengan produksi tembakau yang dihasilkan ini akan berakibat
pada negara tersebut mengimpor daun tembakau atau rokok yang telah jadi.
Bagi Indonesia ini
merepotkan bila jumlah perokok tidak mampu ditekan, tetapi produksi daun
tembakau berdasarkan FCTC telah dikurangi secara signifikan.
Kedua, meratifikasi
suatu perjanjian internasional tidak berarti norma yang ada dalam perjanjian
internasional tersebut dapat langsung diberlakukan dalam hukum nasional.
Norma dalam perjanjian internasional harus ditransformasikan ke dalam hukum
nasional.
Di Indonesia melakukan
transformasi norma dalam perjanjian internasional ke dalam legislasi nasional
bukanlah perkara mudah. Semisal, Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention Against
Corruption) telah diratifikasi oleh Indonesia sejak tahun 2006, hingga
saat ini masih belum terakomodasi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Bila norma dalam
perjanjian internasional belum ditransformasikan ke dalam legislasi nasional,
tidak mungkin ketentuan tersebut digunakan dalam proses hukum. Perlu
diketahui norma dalam perjanjian internasional tidak mengatur sanksi bagi
subyek dalam hukum nasional.Memang ada pengecualiannya, yaitu yang berkaitan
dengan kejahatan internasional.
Ketiga, bila
pemerintah meratifikasi FCTC, bukannya tidak mungkin ada komponen masyarakat
yang membawa produk hukum untuk meratifikasi diujimaterikan. Ini pernah
terjadi pada undang-undang yang mengesahkan Piagam ASEAN.
Terlebih lagi
mengingat industri tembakau memiliki dampak ekonomi dan sosial yang
signifikan dari hulu hingga hilir industri. Total tenaga kerja yang terserap
baik dari sisi pertanian maupun industri mencapai lebih dari 6 juta orang.
Selain itu, industri hasil tembakau merupakan penyumbang pajak ketiga
terbesar di Indonesia, mencapai Rp 173,9 triliun di tahun 2015.
Terakhir, meratifikasi
FCTC berarti Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat harus siap untuk
”diintervensi” dalam pengambilan kebijakan. Perjanjian internasional kerap
dimanfaatkan oleh negara tertentu untuk melakukan ”intervensi” atas
kedaulatan dari negara lain. Namun, intervensi ini tidak melanggar hukum
internasional karena dilakukan secara sukarela oleh negara yang meratifikasi.
Di samping itu,
perjanjian internasional menjadi kompromi kepentingan antarnegara. Dalam
konteks FCTC tentu ada negara yang terbebani dengan produksi tembakau dari
negara lain dan ada pula negara yang memiliki kapasitas besar dalam memproduksi
tembakau di mana jutaan orang menggantungkan penghidupannya pada komoditas
tersebut.
Kepentingan mana yang
lebih terakomodasi, ini sangat bergantung siapa yang merancang draf FCTC
sejak awal. Bila yang merancang adalah negara-negara yang terbebani oleh
produksi dari negara yang lain, warna itulah yang membentuk FCTC.
Sudah dapat dipastikan
Indonesia sebagai negara penghasil tembakau bukanlah negara yang sejak awal
merancang FCTC. Karena itu, kepentingan Indonesia tidak akan terwakili.
Interdep
Agar efektif bila
Indonesia meratifikasi FCTC, proses harus melewati mekanisme antarkementerian
(interdep). Kementerian tentu mempunyai pandangan berbeda satu sama lain.
Dari perspektif Kementerian Kesehatan, FCTC diharapkan dapat menekan jumlah
perokok. Namun, perspektif Kementerian Ketenagakerjaan tentu tidak sama.
Kekhawatirannya adalah apakah FCTC akan menciutkan ratusan ribu lapangan
pekerjaan.
Demikian pula dari
Kementerian Perindustrian yang tentunya mengharapkan industri tembakau terus
berkembang, tidak hanya untuk konsumsi dalam negeri, tetapi juga untuk pasar
ekspor. Begitupun Kementerian Perdagangan. Apabila tembakau menjadi andalan
komoditas perdagangan Indonesia, ini harus tetap dipertahankan. Sementera
Kementerian Keuangan melihat dari perspektif pemasukan bagi APBN.
Karena itu, berbagai
sektor ini harus didengar apa yang menjadi perhatiannya. Pemerintah,
khususnya Presiden, harus mempertimbangkan secara saksama berbagai risiko
bila akhirnya Indonesia akan meratifikasi FCTC.
Namun, bila ternyata pemerintah
menyatakan belum waktunya bagi Indonesia untuk meratifikasi FCTC ini bukan
berarti pemerintah membiarkan jumlah perokok terus meningkat, terutama di
kalangan generasi muda. Perlu diingat bahwa Indonesia telah memiliki
peraturan pengendalian tembakau yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109
Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif.
Jika diperhatikan
beberapa ketentuan di dalam PP tersebut sebenarnya lebih ketat dibandingkan
dengan apa yang diatur dalam FCTC. Untuk itu, pemerintah sebaiknya fokus
dalam menerapkan dan menegakkan PP No 109/2012. Tidak serta merta peraturan
internasional lebih efektif dalam mengatur pengendalian tembakau.
Jika kemudian
Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menerapkan aturannya sendiri dan tidak
meratifikasi FCTC, langkah Indonesia sama dengan yang dilakukan Amerika
Serikat, Swiss, Kuba, Argentina, dan lain-lain. Kesemua negara tersebut
secara gamblang menolak diintervensi dalam mengatur industri tembakau di
negaranya masing-masing.
Intinya, sekadar
meratifikasi FCTC saja tidak akan memberikan dampak terhadap apa yang diatur.
Untuk melihat efektivitas hukum, hukum tidak seharusnya direduksi menjadi
aturan. Ada dimensi lain yang penting untuk diperhatikan agar hukum dapat
efektif bekerja, yaitu keandalan dari para aparat penegak hukum dan sikap
masyarakat terhadap hukum (budaya hukum). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar