Pendidikan Minus Pembelajaran
Saifur Rohman ;
Pengajar Program Doktor Ilmu
Pendidikan
di Universitas Negeri Jakarta
|
KOMPAS, 15 Juni
2016
Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Anies Baswedan meluncurkan program
Guru Pembelajar di Jakarta, 21 Mei 2016. Hal itu merupakan buntut
kelanjutan dari tes kompetensi yang
melibatkan 4.949.110 guru di seluruh Indonesia, 9-27 November 2015.
Hasil tes yang disebut
dengan uji kompetensi guru (UKG) tersebut telah memberikan data tentang
jumlah guru yang perlu mengikuti program Guru Pembelajar agar kompetensi guru
mengalami peningkatan secara berkesinambungan.
Gagasan itu bisa
dibaca sebagai pola pikir berikut: ketimbang membenahi kurikulum seperti
pemerintah sebelumnya, pemerintah lebih tertarik meningkatkan kualitas guru.
Persoalannya, di
antara sekian banyak unsur pendukung penyelenggaraan pendidikan, seberapa
mendesak program itu dilakukan? Bila program tersebut dimaksudkan sebagai
desain penyelenggaraan pendidikan yang lestari, apa kelemahan mendasar yang
perlu dibenahi?
Tuntutan kultural
Pola pikir bahwa guru
menjadi peran sentral dalam penyelenggaraan pendidikan itu terlihat dalam
politik pendidikan yang dituangkan dalam sistem perundang-undangan. Bila
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dirasa
hanya pengaturan abstrak, peran penting guru tampak nyata dalam UU No 14/2005
tentang Guru dan Dosen.
Ketika ditelusuri
lebih jauh, dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No
16/2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru diperoleh
empat unsur, yakni pedagogis, profesional, pribadi, dan sosial. Maksudnya,
guru dituntut menguasai materi yang diajarkan (profesional), teknik-teknik
pengajaran kepada peserta didik (pedagogis), sikap mental yang positif
(pribadi), dan memiliki tindakan yang luhur (sosial).
Hal itu merupakan
cerminan dari tuntutan sosial tentang guru sebagai model pribadi bagi peserta
didik. Secara kultural, tuntutan itu sekurang-kurangnya juga ditunjukkan
melalui akronim "digugu dan ditiru", pepatah "guru kencing
berdiri, murid kencing berlari", hingga karya seni suara berupa
"Umar Bakri".
Secara formal, guru
dicetak melalui institusi keguruan lembaga pendidikan tenaga kependidikan
(LPTK) dan dilengkapi pendidikan profesi. Perkembangan teknologi mestinya
tidak seketika mengubah seluruh tuntutan secara kultural.
Karena itu, bila
tuntutan tersebut direfleksikan terhadap peningkatan kualitas guru, terdapat
empat kelemahan mendasar. Pertama, materi tes kompetensi guru hanya mengacu
pada dua unsur, yakni kemampuan pedagogis dan profesional. Sebagai tindak
lanjut, materi kedua aspek itu kemudian disiapkan dalam program Guru
Pembelajar. Program tersebut berisi tentang materi ajar pendidikan dasar dan
menengah yang dibagi menjadi dua bagian besar, yakni materi pengajaran dan
materi ilmu pengetahuan. Materi ini diringkas dalam bentuk modul yang dibaca
oleh para guru yang tidak lolos tes kompetensi. Lama waktu pelatihan guru
mulai dari 60 hingga 100 jam pelajaran dengan model pembelajaran di luar dan
di dalam kelas.
Kedua, materi
pelatihan yang diringkas dalam bentuk modul tidak memadai. Hal itu bertitik
tolak dari kenyataan bahwa modul tersebut diandaikan sebagai "buku
pintar" guru yang mencakup segala kebutuhan pembelajaran. Faktanya,
modul hanya berisi kutipan-kutipan dari sumber-sumber yang terbatas. Hal itu
karena penulisan materi pembelajaran dilakukan dalam waktu yang sempit dan
hanya berisi kumpulan kutipan dari buku-buku seadanya.
Ketiga, program Guru
Pembelajar bukanlah pengembangan ilmu, tetapi pembakuan ilmu. Sebagai contoh,
materi ilmu pengetahuan yang diajarkan dalam waktu sekitar satu minggu
tersebut bukan lagi melibatkan nalar untuk mencapai temuan baru dalam ilmu.
Sebaliknya, hal itu merupakan ekstraksi dari tradisi ilmu pengetahuan selama
ini. Ketika guru diminta membaca ringkasan tersebut, yang terjadi adalah
hafalan-hafalan materi.
Runtuhnya hakikat guru
Keempat, oleh karena
program Guru Pembelajar adalah sebuah klinik untuk meningkatkan dua
kompetensi saja, maka program tersebut sebetulnya tidak berarti banyak. Sebab
program tersebut tidak memberikan pemahaman yang menyeluruh tentang hakikat
keguruan, yakni mendidik, mengajar, dan melatih sebagaimana diutarakan Ki
Hadjar Dewantara.
Kelima, program
peningkatan dua kompetensi guru tidak mendesak dilakukan di tengah
kasus-kasus pendidikan yang memerlukan penanganan segera, seperti rusaknya
infrastruktur, minimnya sarana dan prasarana sekolah. Bukti, tiga siswa kelas
VB luka berat dan 11 siswa luka ringan akibat tertimpa atap gedung Sekolah
Dasar Negeri Turitempel Demak, Jawa Tengah (2/6/2016). Saat kejadian mereka
sedang mengerjakan soal ujian kenaikan kelas sekita pukul 07.30. Pihak
sekolah menyatakan bahwa kondisi gedung sudah lama dilaporkan ke pemerintah, tetapi
belum mendapatkan respons.
Sebaliknya, program
yang menitikberatkan pada peningkatan kapabilitas materi keilmuan masa kini
justru perlu dievaluasi kembali. Sebab, suka atau tidak, praktik pembelajaran
di sekolah tidak memberikan daya kritis terhadap perbaikan situasi lingkungan
di luar sekolah.
Bukti, seorang anak
yang mencapai nilai di atas kualifikasi minimal ternyata menjadi penjahat di
luar sekolah. Kasus pembunuhan Eno Farihah (19), karyawati PT Polyta Global
Mandiri pada Kamis, 12 Mei lalu adalah bukti paling menonjol. Korban
ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan. Hasil penelusuran polisi telah
menangkap tiga pelaku. Salah satu tersangkanya adalah RA, siswa SMP berusia
15 tahun dan memiliki prestasi secara akademik. Kasus-kasus lain menunjukkan adanya perbandingan terbalik
antara prestasi sekolah dan prestasi sosial.
Tidak sulit menyatakan
bahwa kerusakan justru terjadi pada sendi-sendi paling dasar dalam proyek
pendidikan kita. Pemerintahan Joko Widodo sebetulnya masih memiliki
kesempatan untuk meningkatkan kualitas guru melalui pembenahan mentalitas,
ideologi, hingga semangat pembelajaran. Yang sungguh-sungguh terjadi,
pembenahan cara dan materi mengajar dilakukan, tetapi kemerosotan sikap mental pengajar
diabaikan. Kita membutuhkan guru yang tidak sekadar pintar, tetapi ikhlas
mengajar siswa yang berakar pada nilai-nilai kebangsaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar