Jumat, 10 Juni 2016

Kerja Kemanusiaan tidak Butuh Pengakuan

Kerja Kemanusiaan tidak Butuh Pengakuan

Titik Firawati ;   Staf Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM dan Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik UGM
                                              MEDIA INDONESIA, 06 Juni 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SESEORANG bisa besar karena melakukan hal-hal besar. Melibatkan penjahat dalam transformasi sosial melalui pendidikan cermin seorang pembesar. Sementara itu, seseorang bisa kerdil karena sibuk dengan hal-hal kecil. Salah satu potret betapa sikap kita kerdil ialah pascaperistiwa pembebasan anak buah kapal (ABK) Tunda Brahma 12 dan Tongkang Anand 12 dari tangan Abu Sayyaf.

Sepuluh ABK yang disandera Abu Sayyaf telah dibebaskan pada 1 Mei 2016 yang menyekap mereka sejak 26 Maret 2016. Awak buah kapal beserta keluarga haru bahagia. Tim Kemanusiaan Surya Paloh di bawah kepemimpinan Ahmad Baedowi pun ikut lega.Tim ini independen dari Tim Kivlan Zen yang sama-sama bergerak atas pengetahuan dan dukungan otoritas dari pemerintah.

Namun demikian, perasaan haru dan lega bagi Tim Baedowi yang terlibat langsung, hingga proses berunding yang menegangkan dan melelahkan itu berakhir dengan pembebasan sandera menyisakan catatan yang tidak mengenakkan, yaitu mengenai sikap sejumlah kalangan terhadap keberhasilan negosiasi yang dinilai kontraproduktif.

Penilaian publik yang tidak berbasis fakta dan, bukannya mengapresiasi, malah mempertanyakan kesuksesan Tim Baedowi tidak dewasa. Pun, sikap masing-masing pihak yang mewartakan keberhasilan sendiri di bawah hingar-bingar sorotan media massa telah melupakan esensi dari norma intervensi kemanusiaan do no harm. Norma ini dipopulerkan sarjana Amerika Serikat, Mary B Anderson.

Salah satu norma yang betul-betul harus dipegang, menurut Anderson, ialah sensitivitas kita terhadap makna tersirat dari perilaku kita di dalam mengintervensi persoalan kemanusiaan karena publisitas. Berdasarkan pengalamannya, misalnya, publisitas dapat meningkatkan komitmen kelompok kombatan melakukan kekejaman karena merasa `dipojokkan', setelah mengetahui organisasi-organisasi kemanusiaan memampang potret korban perang yang dianggap terlalu berlebihan untuk mendatangkan simpati calon donor.

Bagi Abu Sayyaf, yang karena terorlah mereka digdaya, publisitas bagaikan pucuk dicita ulam tiba. Citra atau reputasi `kejam' terbukti mendatangkan keuntungan ekonomi bagi Abu Sayyaf yang berkolaborasi dengan sindikat penculikan untuk uang tebusan (kidnapfor-ransom syndicates atau disingkat KFRS/Eduardo F Ugarte 2008) di wilayah Basilan, Sulu, dan Tawi-Tawi.

KFRS bisa melibatkan politisi, pebisnis, dan preman yang kesemuanya orang lokal serta mantan anggota polisi dan tentara Filipina selain Abu Sayyaf sendiri. Mereka saling mendukung satu sama lain selama proses penculikan mengingat sumber daya yang dimiliki masing-masing terbatas. Sumber daya Abu Sayyaf yang dimanfaatkan sindikat ini, yaitu reputasinya yang kejam--memenggal korban penculikan atau tentara Filipina yang berhasil dilumpuhkan-sehingga dapat menaikkan posisi tawarnya dalam proses negosiasi untuk mendapatkan uang tebusan.

Sekiranya sudah bisa dibayangkan apa yang bisa dimanfaatkan KFRS, khususnya pencitraan Abu Sayyaf, ketika media massa dan mereka sibuk bekerja sama mewartakan siapa yang paling berjasa dalam pembebasan 10 ABK 1 Mei 2016. Dengan kata lain, ketidakdewasaan kita mengelola konflik kepentingan, disadari atau tidak, dapat berkontribusi melanggengkan rantai kekerasan di wilayah Basilan, Sulu, dan Tawi-Tawi dan juga di kawasan Asia Tenggara.

Dalam situasi ekonomi yang serbaterbatas, KFRS menjanjikan uang tunai dalam jumlah banyak mudah didapat sehingga tidak harus menunggu hasil panen yang membutuhkan waktu bertahun-tahun.Hal ini mungkin terjadi karena aksi konkret negara dalam pembangunan ekonomi setelah kemerdekaan tidak optimal. Mindanao Selatan termasuk daerah miskin sampai sekarang. KFRS yang beroperasi di sana merupakan gejala kemiskinan yang mudah dilihat, tetapi sulit ditangani. Faktor kemampuan negara yang tidak optimal melahirkan sindikat kejahatan yang kemu dian diperburuk dengan faktor lain, seperti kolaborasi antara media massa Indonesia dan pihak-pihak yang mendambakan sensasi dan jasa. Dengan demikian, rantai kekerasan akan terus berlangsung.

Perlu diketahui di ketiga wilayah tersebut tidak ba nyak sumber ekonomi yang mengandung nilai tambah sehingga betul-betul dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Mereka rerata hidup dari berkebun (kelapa dan kelapa sawit) dan menangkap ikan di laut secara tradisional.

Budaya kekerasan pun telah diperkenalkan dari generasi ke generasi hingga cucu. Hal yang lumrah bagi anak remaja di sana, contohnya, memegang senapan AK-47 atau memenggal kepala tentara yang sudah tewas. Abu Sayyaf (pecahan dari Moro National Liberation Front/MNLF) tidak tunggal dan, secara genealogis, antarfaksi memiliki hubungan darah. 

Hubungan kekerabatan di dalam Abu Sayyaf dijadikan sebagai pintu masuk Tim Bapak Baedowi untuk memulai negosiasi. Apa saja perilaku berkonflik yang tidak dewasa yang ditunjukkan setelah proses negosiasi pembebasan sandera?

Bias seleksi

Beberapa narasumber media massa nasional yang sempat terlibat dalam proses negosiasi (di luar tim kemanusiaan pimpinan Baedowi), menceritakan dengan gamblang apa yang sudah terjadi selama proses perundingan. Kegamblangan tidak selalu detail dan apa adanya. Justru cerita detail dan apa adanya adalah kunci pemberitaan yang adil, tidak terbatas pada informasi tertentu yang dirasa menguntungkannya saja yang disampaikan kepada publik. Rasa khawatir merugi harus dilampaui demi prinsip cover both sides.

Media massa adalah corong kebenaran, bukan corong pihak-pihak tertentu yang merasa berkepentingan atas cerita keberhasilan pembebasan sandera. Menjadi corong pihak-pihak tertentu menggambarkan bagaimana media dan pihak-pihak ter sebut berkolaborasi untuk mengabarkan berita yang benar menurut versi mereka, tidak menurut fakta yang ada. Dengan begitu, media berkontribusi dalam menghasilkan kebenaran parsial yang tentu saja tidak mendidik publik.

Seseorang yang peduli terhadap kerja kemanusiaan tidak membutuhkan pengakuan siapa yang paling berjasa. Justru pengakuanlah yang bisa merugikan dirinya dan, sebagaimana disinggung di atas, makna kemanusiaan itu sendiri. Dua aktivis kemanusiaan yang terlibat langsung, Ahmad Baedowi dan Samsu Rizal Panggabean, bersedia membantu dengan menegaskan jauh-jauh hari bahwa kerahasiaan merupakan prasyarat utama demi misi kemanusiaan. Namun demikian, yang terjadi pascapembebasan 10 ABK bertentangan dengan norma intervensi kemanusiaan. Karena banyak energi dan pikiran dicurahkan untuk pengakuan, apresiasi kerja keras orang lain pun tak lagi dihiraukan.

Seseorang bisa besar karena melakukan hal-hal besar. Sementara itu, seseorang bisa kerdil karena sibuk dengan hal-hal kecil. Menahan fakta yang dapat merugikan pihaknya, mengabarkan berita yang tidak berbasis fakta, haus pengakuan, atau miskin apresiasi merupakan contoh perilaku berkonflik yang tidak dewasa. Untuk menjadi pembesar, kita lakukan hal-hal besar. 

Tawaran negosiasi Tim Baedowi untuk menyekolahkan anak MNLF/Abu Sayyaf dan Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Indonesia diterima penyandera. Rencana tiga puluh anak MNLF/Abu Sayyaf dan MILF belajar di Sekolah Sukma Bangsa Aceh akan segera direalisasikan dalam waktu dekat. Dengan begitu, harapannya, rantai kekerasan di wilayah bangsa Moro dapat dihentikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar