Kerja Kemanusiaan tidak Butuh Pengakuan
Titik Firawati ;
Staf Pengajar di Departemen
Ilmu Hubungan Internasional UGM dan Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik
UGM
|
MEDIA INDONESIA,
06 Juni 2016
SESEORANG bisa besar karena melakukan hal-hal
besar. Melibatkan penjahat dalam transformasi sosial melalui pendidikan
cermin seorang pembesar. Sementara itu, seseorang bisa kerdil karena sibuk
dengan hal-hal kecil. Salah satu potret betapa sikap kita kerdil ialah
pascaperistiwa pembebasan anak buah kapal (ABK) Tunda Brahma 12 dan Tongkang
Anand 12 dari tangan Abu Sayyaf.
Sepuluh ABK yang disandera Abu Sayyaf telah
dibebaskan pada 1 Mei 2016 yang menyekap mereka sejak 26 Maret 2016. Awak
buah kapal beserta keluarga haru bahagia. Tim Kemanusiaan Surya Paloh di
bawah kepemimpinan Ahmad Baedowi pun ikut lega.Tim ini independen dari Tim
Kivlan Zen yang sama-sama bergerak atas pengetahuan dan dukungan otoritas
dari pemerintah.
Namun demikian, perasaan haru dan lega bagi
Tim Baedowi yang terlibat langsung, hingga proses berunding yang menegangkan
dan melelahkan itu berakhir dengan pembebasan sandera menyisakan catatan yang
tidak mengenakkan, yaitu mengenai sikap sejumlah kalangan terhadap
keberhasilan negosiasi yang dinilai kontraproduktif.
Penilaian publik yang tidak berbasis fakta
dan, bukannya mengapresiasi, malah mempertanyakan kesuksesan Tim Baedowi
tidak dewasa. Pun, sikap masing-masing pihak yang mewartakan keberhasilan
sendiri di bawah hingar-bingar sorotan media massa telah melupakan esensi dari
norma intervensi kemanusiaan do no harm.
Norma ini dipopulerkan sarjana Amerika Serikat, Mary B Anderson.
Salah satu norma yang betul-betul harus
dipegang, menurut Anderson, ialah sensitivitas kita terhadap makna tersirat
dari perilaku kita di dalam mengintervensi persoalan kemanusiaan karena
publisitas. Berdasarkan pengalamannya, misalnya, publisitas dapat
meningkatkan komitmen kelompok kombatan melakukan kekejaman karena merasa
`dipojokkan', setelah mengetahui organisasi-organisasi kemanusiaan memampang potret
korban perang yang dianggap terlalu berlebihan untuk mendatangkan simpati
calon donor.
Bagi Abu Sayyaf, yang karena terorlah mereka
digdaya, publisitas bagaikan pucuk dicita ulam tiba. Citra atau reputasi
`kejam' terbukti mendatangkan keuntungan ekonomi bagi Abu Sayyaf yang
berkolaborasi dengan sindikat penculikan untuk uang tebusan (kidnapfor-ransom syndicates atau
disingkat KFRS/Eduardo F Ugarte 2008) di wilayah Basilan, Sulu, dan
Tawi-Tawi.
KFRS bisa melibatkan politisi, pebisnis, dan
preman yang kesemuanya orang lokal serta mantan anggota polisi dan tentara
Filipina selain Abu Sayyaf sendiri. Mereka saling mendukung satu sama lain
selama proses penculikan mengingat sumber daya yang dimiliki masing-masing
terbatas. Sumber daya Abu Sayyaf yang dimanfaatkan sindikat ini, yaitu
reputasinya yang kejam--memenggal korban penculikan atau tentara Filipina
yang berhasil dilumpuhkan-sehingga dapat menaikkan posisi tawarnya dalam
proses negosiasi untuk mendapatkan uang tebusan.
Sekiranya sudah bisa dibayangkan apa yang bisa
dimanfaatkan KFRS, khususnya pencitraan Abu Sayyaf, ketika media massa dan
mereka sibuk bekerja sama mewartakan siapa yang paling berjasa dalam
pembebasan 10 ABK 1 Mei 2016. Dengan kata lain, ketidakdewasaan kita
mengelola konflik kepentingan, disadari atau tidak, dapat berkontribusi
melanggengkan rantai kekerasan di wilayah Basilan, Sulu, dan Tawi-Tawi dan
juga di kawasan Asia Tenggara.
Dalam situasi ekonomi yang serbaterbatas, KFRS
menjanjikan uang tunai dalam jumlah banyak mudah didapat sehingga tidak harus
menunggu hasil panen yang membutuhkan waktu bertahun-tahun.Hal ini mungkin
terjadi karena aksi konkret negara dalam pembangunan ekonomi setelah
kemerdekaan tidak optimal. Mindanao Selatan termasuk daerah miskin sampai
sekarang. KFRS yang beroperasi di sana merupakan gejala kemiskinan yang mudah
dilihat, tetapi sulit ditangani. Faktor kemampuan negara yang tidak optimal
melahirkan sindikat kejahatan yang kemu dian diperburuk dengan faktor lain,
seperti kolaborasi antara media massa Indonesia dan pihak-pihak yang
mendambakan sensasi dan jasa. Dengan demikian, rantai kekerasan akan terus
berlangsung.
Perlu diketahui di ketiga wilayah tersebut
tidak ba nyak sumber ekonomi yang mengandung nilai tambah sehingga
betul-betul dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Mereka rerata hidup
dari berkebun (kelapa dan kelapa sawit) dan menangkap ikan di laut secara
tradisional.
Budaya kekerasan pun telah diperkenalkan dari
generasi ke generasi hingga cucu. Hal yang lumrah bagi anak remaja di sana,
contohnya, memegang senapan AK-47 atau memenggal kepala tentara yang sudah
tewas. Abu Sayyaf (pecahan dari Moro National Liberation Front/MNLF) tidak
tunggal dan, secara genealogis, antarfaksi memiliki hubungan darah.
Hubungan
kekerabatan di dalam Abu Sayyaf dijadikan sebagai pintu masuk Tim Bapak
Baedowi untuk memulai negosiasi. Apa saja perilaku berkonflik yang tidak
dewasa yang ditunjukkan setelah proses negosiasi pembebasan sandera?
Bias seleksi
Beberapa narasumber media massa nasional yang
sempat terlibat dalam proses negosiasi (di luar tim kemanusiaan pimpinan
Baedowi), menceritakan dengan gamblang apa yang sudah terjadi selama proses
perundingan. Kegamblangan tidak selalu detail dan apa adanya. Justru cerita
detail dan apa adanya adalah kunci pemberitaan yang adil, tidak terbatas pada
informasi tertentu yang dirasa menguntungkannya saja yang disampaikan kepada
publik. Rasa khawatir merugi harus dilampaui demi prinsip cover both sides.
Media massa adalah corong kebenaran, bukan
corong pihak-pihak tertentu yang merasa berkepentingan atas cerita
keberhasilan pembebasan sandera. Menjadi corong pihak-pihak tertentu
menggambarkan bagaimana media dan pihak-pihak ter sebut berkolaborasi untuk
mengabarkan berita yang benar menurut versi mereka, tidak menurut fakta yang
ada. Dengan begitu, media berkontribusi dalam menghasilkan kebenaran parsial
yang tentu saja tidak mendidik publik.
Seseorang yang peduli terhadap kerja
kemanusiaan tidak membutuhkan pengakuan siapa yang paling berjasa. Justru
pengakuanlah yang bisa merugikan dirinya dan, sebagaimana disinggung di atas,
makna kemanusiaan itu sendiri. Dua aktivis kemanusiaan yang terlibat
langsung, Ahmad Baedowi dan Samsu Rizal Panggabean, bersedia membantu dengan
menegaskan jauh-jauh hari bahwa kerahasiaan merupakan prasyarat utama demi
misi kemanusiaan. Namun demikian, yang terjadi pascapembebasan 10 ABK
bertentangan dengan norma intervensi kemanusiaan. Karena banyak energi dan
pikiran dicurahkan untuk pengakuan, apresiasi kerja keras orang lain pun tak
lagi dihiraukan.
Seseorang bisa besar karena melakukan hal-hal
besar. Sementara itu, seseorang bisa kerdil karena sibuk dengan hal-hal
kecil. Menahan fakta yang dapat merugikan pihaknya, mengabarkan berita yang
tidak berbasis fakta, haus pengakuan, atau miskin apresiasi merupakan contoh
perilaku berkonflik yang tidak dewasa. Untuk menjadi pembesar, kita lakukan
hal-hal besar.
Tawaran negosiasi Tim Baedowi untuk menyekolahkan anak
MNLF/Abu Sayyaf dan Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Indonesia
diterima penyandera. Rencana tiga puluh anak MNLF/Abu Sayyaf dan MILF belajar
di Sekolah Sukma Bangsa Aceh akan segera direalisasikan dalam waktu dekat.
Dengan begitu, harapannya, rantai kekerasan di wilayah bangsa Moro dapat
dihentikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar