Rabu, 22 Juni 2016

Kelanjutan Proyek Infrastruktur dan Keraguan Pembiayaannya

Kelanjutan Proyek Infrastruktur dan

Keraguan Pembiayaannya

A Tony Prasetiantono ;   Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada
                                              MEDIA INDONESIA, 13 Juni 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PRESIDEN Joko Widodo memerintahkan agar proyek-proyek infrastruktur yang strategis yang selama ini terbengkalai (mangkrak) harus segera dilanjutkan (Media Indonesia, 10/6). Pernyataan itu tentu saja menyentak dan melegakan. Kita semua menanti realisasi proyek-proyek tersebut, yang memang sangat diperlukan untuk mendorong efisiensi nasional, terutama dari sisi biaya logistik, biaya distribusi, dan seterusnya.
Namun, kita tidak pernah tahu kapan semua itu bisa terwujud?

Di sisi lain, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa pemerintah saat ini sedang kesulitan fiskal.

Menteri Keuangan sedang terbirit-birit untuk menutup kebutuhan belanja fiskal, yang tidak bisa ditutup dengan penerimaan negara. Langkah penting amnesti pajak yang diharapkan sudah mulai dilakukan sesudah Lebaran nanti pun belum menjamin APBN kita selamat. Lalu bagaimana prospek infrastruktur mangkrak tersebut?

Saya kebetulan mengikuti beberapa diskusi tentang pembangunan bandara baru Yogyakarta di Kulon Progo yang sangat diperlukan karena bandara lama sudah terlalu ketinggalan zaman dan tidak mampu menampung ledakan penumpang hingga saat ini di atas 6 juta orang per tahun. Pada diskusi tahun lalu yang diinisasi Bank Indonesia (BI), Gubernur BI Agus Martowardojo beserta beberapa stakeholders dengan yakin mengatakan bahwa pembangunan bandara harus diakselerasi.
Karena kebutuhan yang amat mendesak, pembangunan bandara ini harus segera dimulai (ground breaking) pada 2016. Syukur bila bisa dilakukan pada pertengahan tahun. Ini lebih cepat setahun daripada rencana semula.

Namun, ketika awal Juni 2016 saya diundang diskusi bersama Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo dan Dirut Angkasa Pura I Sulistyo Wimbo Gardjito, ternyata situasi masih jalan di tempat. Bupati Hasto sudah sangat tidak sabar dan berharap agar ground breaking segera dilakukan.
Namun, itu tampaknya hanya seperti wishful thinking karena faktanya pembebasan lahan belum beres. Inilah ganjalan yang paling klasik.
Bahkan, Dirut Angkasa Pura I mengungkapkan anggaran pembebasan lahan yang tiga tahun silam ditetapkan Rp1,2 triliun sudah tidak relevan lagi. Angkanya sudah berlipat tiga menjadi Rp3,7 triliun.

Dengan kata lain, pelaksanaan pembangunan bandara tidak bisa cuma sulit dipercepat, tapi juga sudah keburu diterjang masalah baru, yakni biaya pembebasan lahan yang meroket. Padahal, bandara baru Yogyakarta ini juga mendapat perhatian khusus dari Presiden Jokowi dan Menteri BUMN Rini Soemarno sehingga diprioritaskan. Namun, faktanya tetap lambat juga.

Jadi penyumbat

Ini bukan cerita baru. Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng dulu biayanya diperkirakan 'hanya' Rp4,7 triliun. Namun, berita terakhir, biayanya diperkirakan mendekati Rp7 triliun. Itu pun dengan catatan bahwa terminal baru ini belum disertai dengan penambahan landas pacu (runway) yang biayanya pasti melesat kencang karena harus membebaskan tanah milik warga di sekitar bandara.
Mungkin biaya runway di Cengkareng tidak akan kalah besarnya dengan biasa lahan bandara di Kulon Progo, sama-sama mahal dan fantastis.

Presiden Jokowi bermaksud melanjutkan beberapa proyek strategis yang mangkrak, seperti PLTU Batang (Jawa Tengah) senilai Rp56,7 triliun, lima tol senilai Rp48,8 triliun. Lima tol itu meliputi Manado-Bitung (Sulawesi Utara) 39 kilometer, Balikpapan-Samarinda (Kalimantan Timur) 99 kilometer, Malang-Pandaan (Jawa Timur) 37 kilometer, dan Terbanggi Besar-Kayu Agung (Sumatera) 180 kilometer.

Belum lagi proyek light rail transit (LRT) di Jakarta, Palembang, dan Bandung. Ini semua ingin dilakukan serbacepat karena ada urgensi penyelenggaraan Asian Games di Jakarta dan Palembang, misalnya.

Niat Presiden Jokowi tersebut mendapat apresiasi di luar negeri.
Koran terkemuka The Wall Street Journal (18 April 2016), misalnya, di halaman depan memuji hasrat besar Indonesia untuk melakukan pembangunan besar-besaran. Mereka menganggap itu akan menjadi momentum penting bagi perekonomian Indonesia untuk menarik banyak investor asing dan menjadikan proses produksi menjadi lebih efisien.

Tiongkok ialah contoh terbaik bagaimana sebuah negara berkembang 'ngebut' untuk tumbuh cepat, bahkan double digit selama periode 2001-2008, karena mereka membangun secara masif infrastruktur. Saya pikir Presiden Jokowi sudah berada di jalur yang benar dalam hal ini. Infrastruktur sudah lama menjadi penyumbat (bottleneck) pencapaian ekonomi yang lebih tinggi. Jika sumbatan ini bisa diterobos, pertumbuhan ekonomi kita bisa dihela lebih cepat.

Namun, kita harus berhati-hati dalam mengelolanya. Brasil tampaknya menjadi negara berkembang terdepan di Amerika Latin yang ingin melakukan hal ini, mengikuti jejak Tiongkok. Jika Tiongkok pernah menjadi tuan rumah Olimpiade dan Asian Games, Brasil pun juga menjadi tuan rumah Piala Dunia (2014) dan Olimpiade (Agustus 2016).

Menjadi penyelenggara kegiatan internasional seperti itu bisa dijadikan momentum untuk membangun banyak fasilitas dan infrastruktur. Namun, pengalaman Brasil ternyata beda dengan Tiongkok. Brasil kini sedang terjerembap masalah fiskal. Defisit fiskalnya pada 2015 mencapai 10,6% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), atau jauh dari ambang batas aman 2%-3%. Amat mungkin mereka juga sembrono membiayai defisit APBN-nya dengan mencetak uang (printing money). Akibatnya, inflasi mencapai di atas 10%.

Tantangan besar

Pada 2016 saat mestinya Brasil berpesta sebagai tuan rumah Olimpiade, yang terjadi justru petaka fiskal, yang malah membuat Presiden Dilma Rousseff dilengserkan dari kursinya. Ini sebuah ironi besar. Sebuah negara tuan rumah Olimpiade justru malah sibuk bertikai urusan politik pelengseran Presiden.

Indonesia tentu saja tidak seperti itu. Namun, gairah membangun infrastruktur secara besar-besaran kini menghadapi tantangan besar dari sisi penerimaan APBN. Tahun lalu APBN kita defisit 2,5%. Tahun ini pemerintah memutuskan untuk memangkas belanja Rp50 triliun. Saya yakin memang masih ada pos-pos belanja yang bisa dipangkas, seperti rapat-rapat dan perjalanan yang bisa dihemat. Namun, tetap menjadi pertanyaan besar, apakah semua hal itu cukup untuk mengongkosi APBN kita?

Berdasarkan kendala yang ada, dua hal yang harus dilakukan pemerintah ialah memangkas pengeluaran yang masih bisa dilakukan dan pemerintah harus memeriksa lagi anggaran apa yang masih bisa dijadwalkan lagi.

Memang tidak mudah untuk memangkas anggaran-anggraan tersebut. Saya bisa membayangkan betapa gusarnya Presiden Jokowi yang ingin segera mengejar ketertinggalan infrastruktur (listrik, bandara, pelabuhan, jalan tol, dan jalan raya yang memecah isolasi kota-kota pegunungan di Papua). Namun, hambatan terbesarnya ialah pembiayaan dan pernik-pernik teknis di lapangan.

Melesatnya harga tanah untuk bandara baru di Yogyakarta ketika pemerintah sedang asyik merancang pembangunannya merupakan contoh bahwa ternyata pemerintah belum juga berhasil mengatasi isu pembebasan lahan. Padahal, kita sesungguhnya sudah mempunyai peranti hukum yang menaunginya, yakni UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Dengan UU ini, proses negosiasi harga ada tenggatnya, tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.
Sesudah tenggat dilalui, bisa dilakukan eksekusi pada titik harga berapakah terjadi kesepakatan. Kita tunggu saja apakah UU ini benar-benar dapat efektif mengawal eksekusi pembebasan lahan di lapangan, ataukah masih sebatas 'wacana'.

Dengan segala niat baik berupa hasrat membangun infrastruktur besar-besaran yang sangat kita apresiasi, Presiden Jokowi dan tim kabinetnya harus terus mewaspadai dan menentukan proyek apa yang paling mendapatkan prioritas tertinggi dan mana yang berada di urutan berikutnya. Kendala dana dan teknis di lapangan menjadi hal yang harus diperhitungkan.

Terlebih lagi kita harus ingat kondisi perekonomian kita tidaklah sebaik yang kita semula bayangkan. Penurunan harga minyak memang menguntungkan kita. Namun, dampak transmisi dan multiplier effect yang membuat lesu ke hampir seluruh sektor perekonomian, seperti yang kini terjadi, sesungguhnya di luar ekspektasi pemerintahan Presiden Jokowi.
Karena itu, mau tidak mau kita harus pandai menyesuaikan diri pula dengan situasi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar