Kamis, 16 Juni 2016

Jokowi, Ramadan, dan Harga Pangan

Jokowi, Ramadan, dan Harga Pangan

Khudori ;   Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat;
Penulis Buku ”Ironi Negeri Beras”; Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
                                                   KORAN SINDO, 06 Juni 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tahun ini merupakan Ramadan kedua Presiden Jokowi memimpin negeri ini. Tidak ingin terjebak rutinitas dan kelaziman kenaikan harga, tahun ini Presiden Jokowi ingin harga kebutuhan pokok tidak naik.

Sebaliknya, harga harus turun. ”Kita ubah rutinitas. Tahun ini kita jungkir-balikkan harga (pangan) menjadi turun, terutama daging sapi, beras dan minyak goreng,” kata Jokowi, 26 April 2016. Presiden ingin harga daging sapi tidak lebih Rp80.000/kg. Harga beras juga harus turun karena saat ini panen raya.

Sebulan berlalu, tanda-tanda penurunan harga belum terjadi. Sebaliknya, harga justru berlomba naik. Akhirnya seperti sebuah kelaziman, menjelang Ramadan kembali ditandai kenaikan harga-harga, terutama pangan. Presiden Jokowi mesti mengulang lagi perintahnya sebulan kemudian. ”Caranya saya tak mau tahu, saya minta sebelum Lebaran harga daging harus di bawah Rp80.000/kg,” ujar Jokowi dalam Konvensi Nasional Indonesia Berkemajuan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 23 Mei 2016.

Hingga perintah kedua Presiden Jokowi, harga daging sapi masih bertahan tinggi: Rp120.000/kg. Harga yang tinggi terjadi merata di sejumlah daerah, termasuk daerah produsen. Tentu bukan pekerjaan mudah menekan harga menjadi Rp80.000/kg karena sebentar lagi bakal memasuki bulan puasa dan disusul Lebaran. Apalagi perilaku masyarakat terbilang aneh: saat bulan puasa konsumsi meningkat, bukan sebaliknya. Bisa dipastikan harga-harga pangan akan terus meroket dan inflasi bakal terkerek tinggi.

Menarik untuk menelusuri jejak kenaikan harga yang tercermin dalam inflasi selama Ramadan. Pada 2005 Ramadan jatuh pada Oktober, kemudian 2008 (September), 2011 (Agustus), dan 2012-2015 (Juli). Pada 2005 inflasi saat Ramadan mencapai rekor tinggi: 8,7%. Ini terjadi karena saat itu pemerintah menaikkan harga BBM hanya empat hari menjelang Ramadan. Setelah itu, pada 2008 inflasi Ramadan 0,97%; 2011 (0,93%); 2012 (0,7%); 2013 (3,29%); serta pada 2014 dan 2015 (0,93%). Terlihat bahwa inflasi Ramadan selalu tinggi.

Dalam beberapa tahun terakhir bahkan tak pernah di bawah 0,7%. Di sisi lain, untuk menekan harga daging sapi pemerintah masih saja memakai cara-cara lama: men-sweeping pedagang sapi dan feedloter (perusahaan penggemukan sapi), menerbitkan izin impor buat BUMN (PT Berdikari) dan operasi pasar. Tidak ada terobosan baru. Seolah-olah dengan semua itu masalah sudah selesai. Kalaupun ada yang baru, tidak lain adalah hadirnya Tim Ketersediaan dan Stabilisasi Harga di Kementerian Perdagangan.

Tim ini dibentuk April 2016. Mengandalkan tim jelas tidak cukup. Tim ini merupakan mandat dari Perpres Nomor 71/2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok dan Barang Penting (Bapokting). Kebutuhan pokok ada 11 barang, sebagian besar pangan: beras, kedelai bahan baku tahu/tempe, cabai, bawang merah, gula, minyak goreng, tepung terigu, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, ikan segar (bandeng, kembung, dan tongkol/tuna/cakalang).

Sedangkan barang penting mencakup tujuh: benih (padi, jagung, kedelai), pupuk, gas elpiji 3 kg, tripleks, semen, besi baja konstruksi, dan baja ringan. Tim bertugas memberi masukan kepada mendag dalam menetapkan kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik, dan ekspor/impor. Pasal 4 Perpres 71 menyebutkan, untuk pengendalian ketersediaan bapokting mendag menetapkan harga acuan dan harga pembelian pemerintah pusat untuk sebagian atau seluruh bapokting.

Pasal 5 mengatur, dalam kondisi tertentu yang bisa mengganggu kegiatan perdagangan nasional, pemerintah pusat wajib menjamin pasokan dan stabilisasi harga bapokting. Kondisi tertentu yang dimaksud adalah saat terjadi gangguan pasokan dan/atau kondisi harga bapokting berada di atas harga acuan atau di bawah harga acuan. Kebijakan harga khusus bisa diterapkan pada hari-hari besar keagamaan, harga eceran tertinggi untuk operasi pasar dan harga subsidi untuk sebagian atau seluruh bapokting.

Masalahnya, sampai kini mendag belum menetapkan harga acuan (harga saat hari besar keagamaan, harga eceran tertinggi dan harga subsidi) untuk sebagian atau seluruh bapokting. Terakhir mendag mengeluarkan Permendag No 21/2016 tentang Harga Acuan Pembelian Jagung di Tingkat Petani oleh Bulog. Yang diatur harga pembelian, bukan harga acuan. Bagaimana mungkin menstabilkan harga tanpa harga acuan?

Yang tak kalah penting, bagaimana mungkin bisa menstabilkan harga bila instrumen terpenting, yakni stok/cadangan, tidak menjadi domain penting dalam Perpres 71? Alih-alih menurunkan harga, harga bapokting bisa dijaga tak bergerak (naik/turun) secara liar sudah luar biasa. Instrumen stok/cadangan diatur secara khusus di Peraturan Pemerintah No 17/2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi. Di PP itu cadangan pangan terbagi tiga level: pusat, daerah, dan desa.

Di Pasal 3 PP No 17/2015 diatur, cadangan hanya ada pada pangan pokok tertentu. Jenis pangan pokok tertentu ini harus ditetapkan Presiden dan jumlah cadangan ditetapkan kepala Lembaga Pangan. Sayangnya, sampai saat ini Presiden belum menetapkan jenis pangan pokok tertentu itu. Lembaga Pangan yang jadi mandat Pasal 126-129 UU Pangan No 18/2012 bahkan belum dibentuk hingga kini.

Membenahi logistik, jalur distribusi, administrasi pergudangan dan menggenjot produksi memang penting. Tapi, itu tak cukup membuat instabilitas harga pangan tidak jadi rutinitas. Perlu dua langkah pelengkap. Pertama, Presiden segera menetapkan jenis pangan pokok tertentu yang diatur cadangannya berikut instrumen stabilisasi turunannya.

Kedua, segera menunaikan pembentukan lembaga pangan. Kemudian kepala lembaga ini menetapkan jumlah cadangan pangan pokok tertentu. Bulog bisa menjadi tangan kanan lembaga ini dalam pengelolaan cadangan dan stabilisasi harga. Lewat ini pengendalian harga pangan, dan inflasi—tak hanya Ramadan—bisa ditunaikan lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar