Hukum
bagi Rakyat Kecil
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa
45, Makassar
|
KORAN
SINDO, 20 Maret 2015
Fenomena
penegakan hukum yang menjadi pusat perhatian publik saat ini adalah proses
peradilan Nenek Asyani di Situbondo, Jawa Timur, dan Kakek (Mbah) Harso
Taruno di Pengadilan Negeri (PN) Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta.
Kedua
peristiwa itu kian memperkuat realitas tentang hukum yang “tajam ke bawah,
tumpul ke atas”. Istilah yang pertama kali diungkap Prof Moh Mahfud MD,
mantan ketua Mahkamah Konstitusi bermakna, bahwa hukum hanya berlaku keras
terhadap rakyat kecil tetapi tidak berdaya terhadap petinggi negara dan orang
berduit.
Realitas
itu tidak hanya didiskusikan di kalangan akademisi, bahkan telah menjadi
pembicaraan di warung-warung kopi. Hampir semua kalangan merasa miris
terhadap penegakan hukum yang memilahmilah orang, tetapi pada saat yang bersamaan
menunjukkan sebaliknya.
Asas
hukum bahwa “semua orang diperlakukan sama di depan hukum” yang dipatenkan
dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, justru tidak diindahkan oleh aparat penegak
hukum. Fakta itu terurai secara telanjang, Nenek Asyani, 63, dijadikan
pesakitan di pengadilan di PN Situbondo.
Asyani
didakwa mencuri 38 papan kayu jati dari kawasan hutan produksi di
Jatibanteng, Situbondo, Jawa Timur. Tetapi dalam sidang terungkap bahwa kayu
jati itu miliknya sendiri, kemudian ditangguhkan penahanannya sejak 18 Maret
2015 oleh majelis hakim.
Hukum Kelas Gedongan
Yang
ditemukan dalam kasus itu begitu cepatnya proses hukum berjalaan terhadap
orangorang kecil. Boleh jadi karena tidak punya kekuatan finansial dan akses
kekuasaan, sehingga yang bisa membantunya hanyalah pemberitaan media massa
dan opini publik. Sangat berbeda jika penyelenggara negara dan aparat hukum
yang terjerat korupsi, penanganannya sangat lamban.
Bukan
hanya karena ada faktor kekuatan politis yang membentenginya, melainkan juga
menciptakan penundaan proses hukum dengan segala celah pembalikan opini di
ruang publik. Penanganan kasus korupsi yang dilakukan oleh institusi yang
memiliki kewenangan besar dan dipercaya rakyat sekelas Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), juga bisa dibelokkan.
Caranya,
memanfaatkan celah hukum acara (hukum formil) yang sebetulnya tidak boleh
ditafsirkan melampaui (menyimpang) dari ketentuan yang sudah jelas dan tegas.
Bagi yang bertahta di kelas hukum gedongan, sebetulnya KPK tidak pernah
gentar. Publik melihat bagaimana KPK menjerat tiga menteri aktif pada masa
pemerintahan lalu, dua ketua umum partai politik, serta puluhan anggota DPR
dan kepala daerah.
Meski
sudah dirintis KPK, ketajaman pedang keadilan hukum kembali tak mampu atau
dibuat lumpuh sehingga gagal menembus bangunan rumah kelas gedongan.
Ketegasan, keberanian, dan profesionalitas yang diukir dalam sejarah KPK,
tentu tidak akan begitu gampang dilumpuhkan sekiranya yang bersoal
orang-orang kecil.
Realitas
hukum yang hanya tajam ke bawah di tengah era keterbukaan sangatlah
memprihatinkan. Hendak dibawa ke mana penegakan hukum di tengah pengakuan
bahwa demokrasi Indonesia mendapat pujian dunia internasional.
Sangat
menarik analisis Prof Moh Mahfud MD di harian ini (14/3/2015) bahwa demokrasi
yang dibangun sejak reformasi yang seharusnya semakin membaik, seperti
diteorikan Blake danMartin (2006) atau Hellman (2008) akan berimbas pada
efektivitas pemberantasan korupsi, ternyata dalam realitas tidak berlaku di
negeri ini.
Malah,
demokrasi Indonesia kebablasan lantaran tidak efektif melawan korupsi. Maka
benar apa yang disebut William Liddle, bahwa demokrasi telah menjadi alat
korupsi lantaran korupsi justru dilakukan melalui mekanisme demokrasi.
Koreksi dan masukan berbagai pengamat agar keberlangsungan pedang hukum yang
tumpul ke atas segera diakhiri, sepertinya tertatihtatih melangkah di lorong
gelap.
Proses
hukum tak berdaya menghadapi orang berpunya dan memiliki alur hubungan dengan
elite kekuasaan, termasuk otoritas hukum. Jika ada yang berani mengusik
dengan bicara sembarangan atau tepatnya mengkritik, siapsiaplah menghadapi
tuntutan hukum.
Restorative Justice
Seperti
kasus yang ditimpakan kepada Nenek Asyani dan Kakek Harso Taruno, koreksi
terhadap realitas proses hukum yang begitu tajam, boleh jadi hanya disikapi
sebatas respons dan simpati.
Memang
muncul sikap keberpihakan berbagai kalangan pemerhati keadilan dan hak asasi
manusia, tetapi penerapan asas “semua orang sama di depan hukum” lebih banyak
dianggap angin lalu oleh otoritas penegakan hukum. Tak henti-hentinya
digelorakan agar wajah penegakan hukum tidak seharusnya melukai rasa keadilan
masyarakat (keadilan substantif).
Tetapi
realitas berkata lain, lebih banyak elite kekuasaan dan petinggi penegak
hukum bersikap defensif, tidak berani berpihak pada rakyat kebanyakan.
Seolah-olah rakyat kecil hanyalah sekadar objek penegakan hukum seperti pada
hukum rimba di hutan belantara.
Kasus
Nenek Minah yang dituduh mencuri tiga biji kakao sehingga harus duduk di
kursi pesakitan, adalah contoh yang patut dijadikan pelajaran, meskipun
dengan alasan penegakan hukum. Kenapa aparat hukum sejak penyidikan tidak
berani melakukan pendekatan “restorative
justice“ terhadap beragam kasus ringan yang ditimpakan kepada rakyat
kecil seperti pada Nenek Asyani?
Restorative justice
adalah pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan
dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana dan korban. Tidak selalu harus
berpedoman pada hukum normatif semata (hukum materiil), terutama pada tindak
pidana ringan yang ancaman pidananya juga ringan.
Sekiranya
pelaku dan korban pencurian bisa dibawa ke ruang keadilan restoratif, maka
polisi bisa menghentikan penyidikan, tidak harus sampai ke pengadilan. Hukum
acara seharusnya tidak selalu digunakan untuk memproses rakyat kecil yang
melakukan kriminal kecil dengan berbalut demi penegakan hukum.
Tetapi
anehnya, justru akan dimandulkan dengan berbagai penafsiran jika kelas
gedongan yang bermasalah. Ukuran keberhasilan penegakan hukum tidak boleh
hanya mengacu pada banyaknya jumlah perkara yang diselesaikan, tetapi juga
seberapa besar kualitasnya.
Apalagi
pada proses peradilan pidana konvensional dikenal restitusi atau ganti rugi
terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas yaitu
pemulihan hubungan antara korban dan pelaku. Hal itu bisa didasarkan atas
kesepakatan bersama antara korban dan pelaku.
Konsep
restorative justice memberi kesempatan bagi korban menghitung kerugiannya,
sedangkan pelaku memberikan ganti rugi. Maka itu, realitas hukum “tajam ke
bawah, tumpul ke atas” tidak harus mengalahkan penegakan hukum dalam mencari
keadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar